Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 13 Agustus 2020

MEDIA SOSIAL: Media Sosial dan Solidaritas Mikro (BUDIAWAN)


KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Paskalis Rony (28) dari Nyemiclub.Id menyerahkan pesanan ke salah satu pelanggannya di kawasan Jalan Majapahit, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pandemi Covid-19 telah membuat banyak masyarakat di Nusa Tenggara Barat kehilangan pekerjaan sehingga harus mencari alternatif untuk bertahan hidup. Salah satunya berbisnis kuliner.

Berbagai platform media sosial telah menjadi ruang terbentuknya beragam komunitas virtual. Komunitas virtual itu sendiri muncul entah atas dasar ikatan pada suatu identitas yang sama, atau ikatan pada kepentingan/minat yang sama.

Salah satu komunitas virtual yang terbentuk atas dasar ikatan pada identitas yang sama adalah grup Whatsapp (WA) berbasis lingkungan tempat tinggal. Identifikasi sebagai sesama warga kampung yang sama, bahkan lingkungan rukun tetangga (RT) yang sama, menjadi salah satu dasar terbentuknya grup WA.

Grup WA semacam itu biasanya menjadi ruang untuk membicarakan hal-hal yang terkait dengan berbagai kepentingan bersama di lingkungan tersebut, misalnya tentang urusan keamanan dan kebersihan lingkungan, agenda pertemuan bapak-bapak atau ibu-ibu baik yang rutin ataupun insidental, dan informasi tentang warga yang sakit atau meninggal.

Akan tetapi, dalam kondisi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sekitar setengah tahun ini, sebagian anggota memanfaatkan ruang media sosial itu untuk berjualan, khususnya barang konsumsi kebutuhan sehari-hari, seperti makanan.

Sebenarnya ini satu bentuk "penyimpangan" dari tujuan semula dibentuknya grup WA itu. Akan tetapi, baik admin maupun para anggota grup yang lain memaklumi hal ini karena anggota yang berjualan makanan itu adalah mereka yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan tempat mereka bekerja.

Sebenarnya ini satu bentuk "penyimpangan" dari tujuan semula dibentuknya grup WA itu.

Bahkan para anggota yang lain—yang secara ekonomi relatif kurang terdampak dari pandemi Covid-19—mendukung usaha bertahan hidup para anggota yang berjualan tersebut, dengan hampir secara rutin membeli/memesan makanan yang dijajakan itu. Dalam satu minggu, di sebuah grup WA warga RT dan saya menjadi anggotanya, uang yang dibelanjakan pun bisa mencapai sekitar Rp 2 juta.

Di grup WA itu ada dua anggota yang secara rutin berjualan makanan. Apabila dalam satu pekan masing-masing beromzet, katakanlah Rp 1 juta,  dalam satu bulan masing-masing beromzet sekitar Rp 4 juta. Taruhlah keuntungannya sekitar 40 persen, maka penghasilan masing-masing mencapai Rp 1,6 juta.

Ini memang masih di bawah upah minimum regional (UMR) Kota Yogyakarta. Akan tetapi, hal ini masih lebih baik daripada tidak berpenghasilan sama sekali. Artinya, dalam situasi krisis dan kehilangan pekerjaan, mereka masih bisa bertahan hidup dengan memanfaatkan ruang media sosial untuk berjualan secara kecil-kecilan.

DOKUMENTASI PANITIA

Whatsapp Business (WAB) menjadi salah satu platform media sosial yang menawarkan fitur untuk berbisnis. Berbeda dengan WA biasa untuk berkomunikasi, WAB dapat digunakan untuk mengatur bisnis layaknya tampilan sebuah kantor atau toko, Selasa (21/7/2020).

Poin penting yang ingin saya sampaikan dari kasus di sebuah grup WA warga RT itu adalah bahwa media sosial bisa merupakan sebuah ruang terbentuknya suatu solidaritas mikro. Para anggota yang relatif masih bernasib baik bersikap solider kepada anggota lain yang kurang bernasib baik dalam lingkungan unit ketetanggaan yang kecil. Sikap solider itu ditunjukkan dengan membeli makanan yang ditawarkan tersebut.

Sebenarnya bisa saja mereka memesan/membeli makanan melalui aplikasi Go-Food, atau langsung ke warung makan terdekat yang menawarkan lebih banyak pilihan. Akan tetapi, karena digerakkan oleh niat untuk membantu anggota yang terdampak langsung krisis ekonomi itu, mereka memilih untuk memesan/membeli kepada sesama anggota grup WA.

Selain itu, harga yang dipatok pun kurang lebih sama dengan harga di warung makan, dan jelas lebih murah daripada memesan melalui aplikasi Go-Food. Makanan yang dipesan pun juga diantar ke rumah sesuai dengan hari dan waktu yang dijanjikan, dan bebas ongkos kirim. Artinya, pemesan mendapatkan kemudahan. Jadi sebetulnya di situ ada hubungan resiprokal. Yang kelihatan membantu pun sebenarnya juga terbantu. Artinya, solidaritas itu terbentuk dalam pertukaran sosial.

Sikap solider itu ditunjukkan dengan membeli makanan yang ditawarkan tersebut.

Sikap solider yang kemudian mendorong solidaritas mikro itu sebenarnya merupakan satu bentuk kapital sosial, di mana di dalamnya rasa saling percaya, harapan, dan resiprositas semakin terpupuk. Karena antaranggota grup boleh dikatakan saling mengenal, trust relatif mudah dibangun. Para anggota yang berjualan pun memiliki harapan bahwa anggota-anggota yang lain akan dan terus akan mendukung upaya mereka untuk bertahan hidup. Di situ, mereka tertantang untuk memelihara trustyang telah mereka peroleh.

Terbentuknya solidaritas mikro ini pada gilirannya akan memperkuat kohesi sosial, di mana keterikatan pada komunitas itu atau perasaan sebagai bagian dari komunitas itu semakin menguat. Kesemuanya itu pada gilirannya akan membentuk semacam ketahanan sosial, di mana sikap solider itu menjadi kunci bagi terpeliharanya integrasi sosial.

Dalam konteks inilah media sosial, khususnya grup WA, alih-alih menjadi pemecah belah warga, justru menjadi pemersatu warga. Hal ini hanya mungkin karena, antara lain, wacana-wacana yang dibangun di ruang media sosial itu adalah wacana-wacana kemanusiaan yang konkret, riil, dan kasatmata, yang mengundang sikap solider. Mungkin akan lain ceritanya jika wacana-wacana yang dibangung di situ bersifat contested dan menyentuh sentimen-sentimen primordial.

Di situ mereka tertantang untuk memelihara trust yang telah mereka peroleh.

(Budiawan, Dosen Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM)

Kompas, 9 Agustus 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger