Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 30 Agustus 2020

RESENSI BUKU: Bukan Kuburan Kata-kata (ALEXANDER ROBERT NAINGGOLAN)


Sampul buku kumpulan puisi Binhad Nurrohmat (Diva Press, 2020)

Judul Buku: Nisan Annemarie (puisi)

Penulis: Binhad Nurrohmat

Penerbit: Diva Press, Yogyakarta

Tahun: April 2020

Tebal  xxii + 198 halaman

ISBN: 978-602-391-918-5

luka ngucap dalam badan/kau telah membawaku/ke atas bukit, ke atas karang, ke atas gunung, ke bintang-bintang/lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku/untuk kuburmu alina//untuk kuburmu alina/aku menggali-gali dalam diri/raja dalam darah mengaliri sungai-sungai/mengibarkan bendera hitam/menyeka matahari/membujuk bulan/teguk tangismu alina//sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur/laut pergi ke sungai membawa kubur-kubur/sungai pergi ke akar, ke pohon, ke bunga-bunga/membawa kuburmu alina ("Perjalanan Kubur" – Sutardji Calzoum Bachri)

Kubur(an) barangkali sebuah tempat yang kerap menyisakan sejumlah misteri, enigma, atau dipenuhi dengan keganjilan. Sebagai peristirahatan terakhir setiap insan, menyisakan gema dengan auranya tersendiri. Sebagaimana juga takdir, metamorfosis kematian—yang berujung pada kuburan menyimpan sejumlah amsal dan riwayat.

Kuburan mungkin hanya seonggok benda mati, yang hanya berisi nama, tanggal lahir dan kematian. Namun, justru aura setiap individu yang pernah bersinggungan atau katakanlah hanya sekadar mendengarnya dari sejarah turut terlibat dan masuk. Aura yang senantiasa hidup di dalam kepala, sepanjang perjalanan hidup, setiap hal yang bersentuhan dengan almarhum.

Dan tak mengherankan pula, jika sejumlah puisi bergulat dengan tema besar ini: kematian. Beberapa penyair menuliskan sejumlah puisi ihwal kematian, dengan tertib dan tenang. Bahkan beberapa di antaranya menjadikan semacam refleksi bagi diri sendiri. Binhad Nurrohmat adalah satunya.

Penyair yang lahir di Lampung dan kini menetap di Jombang, Jawa Timurm ini memang berusaha membuka tafsiran yang lain dalam puisi-puisi anyarnya. Setelah sebelumnya mengangkat tema-tema ihwal kehidupan kosmopolitan dengan lingkup kota besar yang penuh gemerlap (rendezvous) melalui buku puisi Kuda Ranjang (2004) dan Bau Betina (2007). Namun, di tahun-tahun belakangan ini, ia bergulat dengan sejumlah puisi ihwal kematian, kuburan, ataupun nisan.

Namun, di tahun-tahun belakangan ini, ia bergulat dengan sejumlah puisi ihwal kematian, kuburan, ataupun nisan.

Betapa puisi-puisinya bergeser untuk memotret sudut lain, ia mengambil tema besar sebagai muara dari kehidupan itu sendiri: kematian. Setelah buku puisi Kuburan Imperium(2019), ia kembali menerbitkan Nisan Annemarie, kumpulan puisi teranyar—dengan 171 puisi—yang membawa kesegaran kata-kata dalam puisinya.

Binhad membawa tema-tema ganjil dari banyak hal, yang mungkin tak tersentuh oleh banyak orang. Ia membawakan ruang baru dari sejumlah kematian, nisan, ataupun kuburan. Dan Binhad mengolahnya dengan tertib dan tenang, sejumlah diksinya terasa landai, namun sesekali menukik kepada substansi kehidupan. Ia menciptakan perenungan dengan pergelutannya yang tak pernah tuntas.

Nuansa sunyi dan murung yang turut melingkupi sebagian besar puisinya seakan ingin memberikan sebuah atmosfer bagi kehidupan. Ia berjarak dari segala aktivitas dan ketiadaan, namun membuat tafsir dan perenungan yang penuh dengan lanskap. Kata-katanya bergerak dan menyingkap setiap sudut, bahkan turut pula mendedahkan asal mula manusia itu sendiri.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Papan nisan di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, Selasa (12/6/2020).

Satu hal yang menjadi penanda bagi puisi-puisi Binhad ialah dirinya begitu konsisten untuk tetap menuliskannya dengan marjin rata kanan. Di pelbagai puisinya, ia juga tertib untuk menuliskannya menjadi 4 bait, 3 bait, atau 2 bait dalam satu puisi.

Dan Binhad berujar tentang keasingan dari kematian: Kepada siapa kematian berkata/saat jasad dingin terbujur asing./Lahir di dunia bersanding nama/lalu mati bernisan batu anonim// ("Kepada Kuburan Anonim", hlm 63) atau dalam puisi "Pulang dari Kuburan Abdurrahman", hlm 73:Tiada di kubur bunyi ketukan mesin ketik/ memanggil peniup takdir. Apakah ziarah/ seperti kupu lepas dari kepompong kosong.// Malaikat tak berkidung dan kelopak bunga/ rebah pada tanah yang diam. Lonceng asing/ berdentangan tak membangunkan apa pun.//

Diksi "bernisan batu anonim", "kepompong kosong", "lonceng asing" (yang) berdentangan, lebih merebut suasana syahdu, penuh dengan melankoli. Keasingan yang tumbuh saat berziarah, maut yang terasa begitu dekat, dan napas kematian merupakan bagian yang sesungguhnya telah hadir dan tercatat. Bahkan saat kelahiran bermula. Kematian—dengan segala ihwal yang melingkupinya—turut hadir dan mendedahkan pesona misteri bersamanya.

Kematian—dengan segala ihwal yang melingkupinya—turut hadir dan mendedahkan pesona misteri bersamanya.

Ada sebuah lingkup kesunyian yang secara perlahan dibangun. Menggugah sebuah kesadaran diri. Semacam partikel yang terus mengapung, perpaduan antara keputusasaan dan kegairahan seseorang dalam mewarnai sebuah kehidupan.

Dunia yang hiruk-pikuk memang selalu mendedahkan ruang tersendiri, menepikan kita, dan memaksa kita kerap terperosok ke dalamnya. Sebuah ruangan tertutup, yang dipenuhi dimensi-dimensi, memaksa untuk mengetuk—berharap ada tangan yang membukanya. Meskipun kematian yang disuguhkan tidak sepenuhnya cengeng dan larat.

Buku ini terdiri atas tiga bagian. Sejumlah puisi hadir dengan gaya ungkap yang baru, meskipun terasa begitu tenang. Binhad mendedahkannya dengan sejumlah riwayat tentang kematian, juga hal ihwal bagaimana mendiang yang dikenal kebanyakan orang. Ia mengungkap kuburan, dari sisi yang berlainan: Abdurrahman, Kiai Amin Sepuh, Kiai Asyari, Nyai Ageng Pinatih, Fatimah, Munir, Baudelaire, Amangkurat, Hemingway, Walter Benjamin, Helena Petrovna, Annemarie Schimmel, Nikolai Gogol, Van Gogh, Jeihan, dan sebagainya.

Annemarie Schimmel, seorang professor (ustazah), pakar sufisme dari Jerman, sebagaimana yang dikukuhkan sebagai judul buku kumpulan puisi ini. Dari Wikipedia disebutkan bahwa Annemarie, yang meninggal di Bonn pada tahun 2003, minta dibacakan Al Fatihah sebelum meninggal. Pun kata-kata yang terpahat di nisannya dalam bahasa Parsi dan Jerman yang berarti: "Sesungguhnya manusia itu tertidur, dan ketika mereka mati, maka mereka terbangun."

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Bentuk makam Inggris di Jitra, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu, Kamis (25/7/2019).

Binhad mencatat dalam puisinya:Manusia di dunia sejenak tidur belaka/dan tersibak mata sejak tiba kematian.// Takdir membuat masa depan tak ada/ setelah semua diguratkan di belakang// Puisi ini ditutup dengan bait: Lewat kalimat kasat mendiang berucap/ pada nisan dari masa lalu yang terpahat.//Langit bertitah kepada yang kelak lindap/ sedari hayat di dunia haya lelap sesaat// ("Nisan Annemarie", hlm 142-143)

Nisan kata-kata

Setidaknya, kuburan merupakan sebuah tanda. Semacam nisan kata-kata, yang kembali menyeruakkan sejumlah ingatan ihwal perbuatan seseorang semasa hidup. Sebuah wujud penghormatan sekaligus penanda. Penanda, yang pernah diungkapkan oleh WS Rendra dalam puisinya, sebagai aktualisasi rasa hormat dan cinta, meskipun lebih lanjut disebutkan: di akhirat, di mana istriku berada, suatu kuburan tak ada maknanya.

Buku ini semacam rindu kepada kehidupan itu sendiri, memecahkan kebekuan pada hal-hal yang terasing atau mungkin dilupakan. Binhad menulis: Di cerukan tanah lapang atau tersembunyi/nama-nama sunyi seperti rupa orang asing./ Waktu di masa nanti senyap atau bersaksi/ menjelma takdir yang hadir atau berpaling// ("Muasal Kuburan Massal", hlm 97)

Buku ini semacam rindu kepada kehidupan itu sendiri, memecahkan kebekuan pada hal-hal yang terasing atau mungkin dilupakan.

Dengan kata lain, kematian merupakan pelajaran yang paling berharga, merupakan titik akhir dari kehidupan itu sendiri. Ia merupakan final dari apa yang pernah diperbuat, apa yang pernah diperjuangkan, sebagaimana yang pernah diungkapkan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, "Cukuplah maut (kematian) sebagai pelajaran bagimu."

(Alexander Robert Nainggolan, Penyair dan Bekerja di Unit Pengelola Penanaman Modal dan PTSP Jakarta Barat)

Kompas, 30 Agustus 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger