Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 14 September 2020

Jakob Oetama, Pelopor Pers Menyejukkan (ATMAKUSUMAH ASTRAATMADJA)


KOMPAS/AGUS SUSANTO

Atmakusumah Astraatmadja

Jakob Oetama merupakan pelopor dunia pers dari masa sebelum berkembangnya media daring, digital, atau siber di negeri ini yang paling akhir meninggalkan kita. Almarhum juga dikenal sebagai pelopor media pers bernada "sejuk", menyejukkan, yang bersama-sama Petrus Kanisius Ojong membangun perusahaan pers cetak terbesar yang pertama di Indonesia. "Kesejukan hatinya" tecermin dalam gaya pemberitaan dan kolom opini surat kabar harianKompas yang lebih mengembangkan tujuan edukatif dan menjauhi sikap provokatif.

Pendiri dan Pemimpin Umum Kompasitu menempatkan profesi pengelola media pers seperti ini: "Ya, memang saya sering menggambarkan kita ini ibarat memasukkan kaki ke sungai, lalu terantuk batu. Kita bisa bersikap, tendang batu itu. Tetapi, kalau batu itu besar, mungkin kaki saya yang patah. Tetapi, kita bisa juga mengambil sikap: 'Oh, ada batu! Ah, saya mundur.' Bukan mundur-mundur terus, tetapi belok lewat yang tidak ada batu. Ini melelahkan karena kita kadang tidak sabar. Juga kadang ada konflik karena kita beranggapan bahwa yang menjadi pertaruhan itu besar."

Jakob, yang pernah menjabat pemimpin redaksi, mengemukakan pandangan itu dalam tulisannya berjudul "Menunjang Keterbukaan" yang dimuat Kompas pada 7 Januari 1978. Namun, disampaikannya pula dalam tulisan ini: "Karena itu, saya sering berkata kepada sejawat dan bawahan saya, yang penting jangan selalu merasa puas. Tetapi, perlu mempersoalkan terus. Sebab, kalau sudah dihinggapi rasa puas, dia bukan lagi wartawan. Paling banter hanya berfungsi sebagai juru informasi. Juru penerang. Wartawan lebih dari sekadar juru penerang. Keadaan yang ada memang kita terima, tetapi sebagai bekal realitas yang kita perjuangkan terus, kita luaskan terus."

KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Peraih Nobel Ekonomi, Joseph S Tiglitz (tengah), berbincang dengan dua tokoh pers, Fikri Jufri (kanan) dan Jakob Oetama, dalam acara diskusi dan peluncuran buku Making Globalization Workdi Hotel Four Seasons, Jakarta, Selasa (14/8/2007).

Jakob menilai penting persyaratan pendidikan akademis untuk memperoleh wartawan profesional, yang mampu meliput dan menulis berita, selain bervisi. Wartawan yang diidamkannya adalah "yang mampu melihat peristiwa dalam kerangka kontekstual, bukan melihat peristiwa secara telanjang". Kemampuan seperti itu, dalam pandangannya, pada tingkat minimal diharapkan dimiliki mereka yang bergelar sarjana.

Jakob menilai penting persyaratan pendidikan akademis untuk memperoleh wartawan profesional.

Jakob dan Mochtar Lubis

Para pengamat perkembangan pers lazim mempertentangkan sikap Jakob yang "lembut" dengan sikap kritis Mochtar Lubis, pendiri dan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, harian yang sering dibredel pemerintahan Presiden Soekarno dan terakhir kali dibredel oleh pemerintahan Presiden Soeharto.

Jakob menyebut Mochtar sebagai "wartawan yang berani dan terkenal sebagai pelawan semua yang batil".

Dikatakannya: "Orang bisa berbeda pendapat tentang sikap dan penilaian politiknya. Akan tetapi, setuju dan tidak setuju dengan pandangan dan sikap politiknya, disepakati bahwa Bung Mochtar adalah wartawan yang mempunyai komitmen. Dialah tipe ideal seorang journaliste engage, wartawan yang menjadi wartawan karena mempunyai komitmen; karena ada perjuangan yang ingin dilaksanakan."

KOMPAS/JOHNNY TG

Dr Sri Mulyani Indrawati, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, berbincang dengan Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama saat mengikuti Diskusi Terbatas di Jakarta yang diselenggarakan harian Kompasbekerja sama dengan Universitas Paramadina Mulya dengan topik "Refleksi Agenda Reformasi-Telaah Budaya, Politik, dan Ekonomi", Selasa (16/6/1998).

Jakob mengemukakan penilaian itu terhadap Mochtar Lubis dalam tulisannya sebagai pengantar untuk buku biografi Mochtar Lubis, Wartawan Jihad yang diterbitkan pada Maret 1992.

Dikemukakannya lebih jauh: "Dalam perjuangan itu yang tegar, perjuangan melawan segala bentuk kebatilan. Perjuangan menegakkan kemanusiaan dan melawan semua hal yang menekan, merugikan, dan menindas kemanusiaan. Ia juga pro-kemajuan dan dalam kaitan itu ia menunjukkan sikap sangat kritis terhadap kebiasaan dan kebudayaan tradisional yang feodal, konservatif, dan represif." Bagi pengamat perkembangan pers, penilaian Jakob terhadap karakter Mochtar ini dirasakan juga sebagai pendirian Jakob.

Rendah hati

Ketika Dewan Pers independen terbentuk pada tahun awal masa Reformasi, Jakob termasuk yang diusulkan sebagai calon ketua dari sembilan anggota yang terpilih dan sudah disetujui Presiden Abdurrahman Wahid pada April 2000.

Undang-Undang Pers yang baru, UU Nomor 40 Tahun 1999, yang disetujui DPR dan disahkan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie pada September 1999, mengamanatkan pembentukan Dewan Pers independen untuk melindungi kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.

Dewan Pers independen, seperti diatur dalam UU Pers ini, sama sekali berbeda dari Dewan Pers pada masa Orde Baru yang lebih sebagai corong pemerintah, yang terlibat dalam pembredelan media. Dewan Pers independen adalah lembaga swaregulasi dan bekerja tanpa campur tangan pemerintah.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Sejumlah seniman muda menggelar doa bersama dan aksi teatrikal di Taman Yakopan, kompleks Omah Petroek, Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (9/9/2020). Acara itu untuk mengenang jasa sekaligus mendoakan pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama, yang wafat pada hari tersebut.

Dari kesembilan anggota Dewan Pers yang baru itu, tiga orang mewakili kelompok wartawan, empat dari kalangan pimpinan perusahaan media pers cetak, televisi, serta radio, dan dua orang lagi dari unsur tokoh masyarakat.

Pada Mei 2000, Dewan Pers independen menggelar rapat pleno pertama untuk memilih ketua dan wakil ketua serta menyusun komisi-komisi.

Saya, yang terpilih di antara kesembilan anggota Dewan Pers, terlambat hadir karena harus menjadi pembicara dalam diskusi tentang pers. Sebagai pembicara terakhir dalam rapat pleno Dewan Pers, saya mula-mula mengusulkan Benjamin Mangkoedilaga sebagai ketua karena ia satu-satunya anggota yang berlatar belakang birokrasi, yang diperlukan guna memahami kerja sama Dewan Pers dengan pemerintah. Namun, ia menolak karena sedang dicalonkan sebagai Ketua Mahkamah Agung.

Anggota berikutnya, yang menurut saya patut menjadi ketua Dewan Pers, adalah Jakob mengingat pengalaman dan kredibilitasnya dalam dunia pers. Akan tetapi, Jakob juga menolak usulan itu karena, saya kira secara berkelakar, "Orang semua tahu, saya ini orang Orde Baru," katanya.

Saya merasa itulah kerendahan hati Jakob untuk menolak menjadi ketua Dewan Pers pada masa transisi politik saat itu.

Saya merasa itulah kerendahan hati Jakob untuk menolak menjadi ketua Dewan Pers pada masa transisi politik saat itu. Padahal, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, ia bisa bersikap bertentangan dengan kebijakan politik pemerintah Orde Baru yang ditampilkan oleh Menteri Penerangan Harmoko.

KOMPAS/JB SURATNO

Jakob Oetama berbincang dengan Presiden Soeharto pada Kongres XIX Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) di Istana. Presiden Soeharto, Sabtu (9/7/1994), membuka dan memberikan sambutan dalam Kongres XIX SPS di Istana Negara.

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memeriksa gugatan Goenawan Mohamad serta 43 wartawan dan karyawan majalah Tempo terhadap Menteri Penerangan, September 1994.

Dikatakan dalam gugatan itu, bahwa sebagai akibat pembredelan majalahTempo (bersama majalah Editor dan tabloid politik Detik), penggugat "kehilangan kesempatan untuk ikut berpartisipasi mencerdaskan bangsa, kehilangan forum informasi dan aspirasi rakyat, serta kehilangan hak kontrol dan kritik konstruktif".

Selain itu, mereka mengatakan telah menderita kerugian nyata karena kehilangan mata pencarian. Oleh karena itu, mereka meminta Menteri Penerangan meninjau kembali pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) majalah itu dan mengizinkan Tempo terbit kembali.

Persidangan di PTUN mendengarkan kesaksian yang penting dan agak mencengangkan dari Jakob sebagai Ketua Pelaksana Harian Dewan Pers. Ia mengatakan kepada hakim Benjamin Mangkoedilaga bahwa para anggota Dewan Pers dalam dua kali sidang menjelang pembredelan pada 21 Juni 1994 hanya menyarankan kepada Menteri Penerangan untuk memberi pernyataan keras kepada berbagai media pers, bukan menutupTempo, Editor, dan Detik.

Dewan Pers, yang diketuai oleh Menteri Penerangan, adalah lembaga otonom di lingkungan Departemen Penerangan yang merupakan badan penasihat bagi pemerintah dalam masalah pers. Dalam surat-surat keputusan "pembatalan SIUPP" ketiga mingguan itu disebutkan, putusan itu diambil dengan "Memperhatikan: 1. Saran dan pertimbangan Pelaksana Harian Dewan Pers dalam sidang tanggal 21 Juni 1994; 2. Saran Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika".

Atmakusumah Astraatmadja, Mantan Ketua Dewan Pers dan Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo


Kompas, 11 September 2020



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger