Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 14 September 2020

OBITUARI: Jakob Oetama, Guruku, Ayahku (AGUNG ADIPRASETYO)


KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Menteri Negara BUMN, Dahlan Iskan, Presiden Komisaris Kompas Gramedia, Jakob Oetama dan Ketua PMI, Jusuf Kalla tertawa lepas saat mendengar guyonan yang dilontarkan seniman Dik Doank pada pembukaan Kompas Gramedia Fair di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (29/2).

Jakob Oetama lahir di desa Jowahan, Borobudur, 27 September 1931. Kiprahnya dalam dunia media selama lebih dari 50 tahun tak diragukan lagi. Bahkan dalam banyak kesempatan beliau mengatakan: "Wartawan adalah jiwa dan panggilan saya, hanya nasib yang membawa saya terpaksa harus menjalankan bisnis".

Pak Jakob benar, karena pada kesempatan pertama sebenarnya Pak PK Ojong yang lebih banyak berperan sebagai pengendali bisnis. Setelah dibreidel tahun 1978, Pak Ojong merasa tak sanggup menulis lagi di Kompas karena sikap yang dibawakannya hitam putih. Padahal, nyaris tak mungkin media hidup dengan sikap seperti ini di zaman Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia. Sebaliknya Pak Jakob sosok yang sangat akomodatif dengan situasi, kenyal dan lentur, sesuai dengan kultur Jawa Tengah yang luwes.

Kombinasi Pak Ojong dan Pak Jakob sering digambarkan sebagai sebuah tiang beton. Pak Ojong mewakili batu dan semen yang keras, sementara Pak Jakob mewakili besi beton yang lentur. Pak Jakob sendiri sering menganalogikan dirinya sebagai karet yang ketika dipencet akan gepeng, namun akan kembali ke bentuk semula setelah tekanan dilepaskan. Model jurnalisme kepiting seperti itu dipakai sebagai cara survival dalam menghadapi pemerintahan waktu itu.

Namun semenjak Pak Ojong meninggal, tahun 1980, Pak Jakob menjadi "orang tua tunggal" bagi kelompok Kompas Gramedia. Kepiawaian Pak Jakob terutama terbentuk karena disamping beliau tergolong orang yang belajar cepat, namun juga karena justru keluwesan Pak Jakob menjadi faktor kunci sukses dalam memanfaatkan sumber daya manusia. Pak Jakob pandai menarik hati, pandai memahami, dan pandai membuat orang bersimpati karena beliau memperhatikan dan mengenal orang satu persatu.

KOMPAS/KARTONO RYADI

Menjelang Breidel -- Jakob Oetama (kiri) mendengarkan laporan tentang demonstrasi mahasiswa dari St Sularto (baju putih tengah). Kompas dalam dilema tidak memberitakan demo berarti mengingkari fakta, memberitakan demo diancam pemerintah. Kompas pun untuk kedua kalinya dibreidel rezim Soeharto pada tanggal 02 Januari hingga 05 Februari 1978.

Pak Jakob memahami sikap individu setiap karyawannya. Yang aneh, yang pandai, yang nakal, yang pendiam, yang penurut, dan sebaliknya pemberontak. Management by walking around, dan manajemen tepuk bahu membuat seluruh karyawan kerasan dan merasa diayomi. Beliau menempatkan dirinya sebagai tokoh "ayah" terhadap karyawannya. Tak heran sebagian besar karyawan bekerja di perusahaan bukan karena lembaga, melainkan karena sosok Pak Jakob.

Pak Jakob hampir setiap kali menelpon untuk memuji wartawan yang menulis dengan bagus. Dan sebagai orang yang belajar dan mengerti politik, Pak Jakob dengan sangat cantik dan piawai memainkan tarik-menarik politik di dalam kantor maupun di luar kantor. Pak Jakob dengan sangat halus memelihara karyawan yang berbeda sikap dan pandangan, mengemasnya dalam tim sehingga keunggulan seseorang bisa menyingkirkan kelemahan orang lain, sekaligus menutup dan membuang kekurangan orang lain. Dengan gaya kepemimpinan semacam ini, sebenarnya pada saat yang sama Pak Jakob menghidupkan nuansa dan suasana bersaing diantara karyawan tanpa dirasakan sebagai sebuah ekstrim oleh karyawan.

Pak Jakob dengan sangat cantik dan piawai memainkan tarik-menarik politik di dalam kantor maupun di luar kantor.

Sebagai seorang ayah yang selalu berpenampilan lemah lembut dan sopan, beliau juga bisa marah. Sebenarnya sama dengan banyak pemimpin lain, beliau menerapkan sistem merit. Karena cara Pak Jakob sangat halus dan Pak Jakob selalu membuat orang merasa terhormat, maka bila seseorang tidak cukup peka, bisa saja terjadi orang yang didemosi akan merasa dipromosi. Karyawan yang didemosi pun akan merasa tetap dihargai sebagai orang hebat walaupun tanpa pekerjaan yang jelas. Harapan beliau, orang itu tahu diri lalu pergi atas inisiatif pribadi. Bila sampai yang bersangkutan tak tahu diri, Pak Jakob akan betah dan sabar saja menunggu sampai orang itu sadar sendiri.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pendiri Toko Buku (TB) Gramedia, Jakob Oetama (tengah), usai memberi wejangan kepada para pimpinan TB Gramedia saat merayakan ulang tahun TB Gramedia ke-46 di Jakarta, Selasa (2/2/2016).

Pak Jakob sering sinis dalam menyindir orang. Beberapa rekan dekat paham ketika Pak Jakob memanggil seseorang dengan sebutan "mas" atau "bung" artinya Pak Jakob sedang gembira. Tetapi ketika dia sudah memanggil seseorang dengan sebutan "saudara" artinya beliau sudah tidak berkenan dengan yang bersangkutan. Apalagi, kalau sudah memakai kata "tuan..", sebaiknya pembicaraan dihentikan saja.

Ketika Pak Jakob memanggil seseorang dengan sebutan "mas" atau "bung" artinya Pak Jakob sedang gembira.

Berkat kepandaian berselancar politik dan keluwesan Pak Jakob pulalah, Kompas melewati beberapa masa sulit pergantian presiden. Di tangan Pak Jakob, Kompas bertahan sebagai koran kelas satu baik dari sisi jumlah oplah, peredaran, maupun pengaruh.

Baca Juga: Mengenang Sang Kompas, Jakob Oetama

Pak Jakob memberi "value" penghargaan pada manusia, dan nilai kemanusiaan sebagai nilai universal. Manusia yang beriman diterjemahkan dalam pekerjaan sehari-hari sebagai penghargaan pada pluralisme. Setiap orang boleh memeluk agama menurut keyakinan dan sesuai kepercayaan masing-masing, namun hubungan antarmanusia harus tetap menjadi roh utamanya. Oleh karenanya manusia di mata Tuhan tidak boleh dibeda-bedakan asal usul, suku, agama, dan ras. Bagi orang Kompas "lama", agama kemanusiaan ini menjadi pegangan baru dan agama tambahan disamping agama resmi yang dianutnya.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Cendekiawan Jakob Oetama berbincang bersama mantan Presiden RI Gus Dur dan istrinya Sinta Nuriah di acara peringatan 60 Tahun Indonesia Merdeka yang bertajuk Menyelamatkan Komitmen Nasional di Gedung Arsip Nasional, Jakarta Barat, Senin (15/8/2005).

Pak Jakob orang yang tak pernah patah semangat. Ini dicerminkan dari niatnya dibalik keluwesannya. Sebenarnya, Pak Jakob tipe orang yang pantang menyerah. Bedanya Pak Jakob adalah orang yang sabar menunggu niatnya terwujud. Namun sebelum niat itu terwujud, beliau tak akan berhenti. Pak Jakob akan maju terus sampai apa yang diinginkan menjadi kenyataan. Semangatnya juga ditunjukkan dalam niatnya berekspansi. Dorongan semangat beliau berekspansi tak surut walaupun usia sudah diatas 75 tahun.

Beliau sering mendengarkan banyak orang dalam pengambilan keputusan. Beliau ingin keputusan diambil dengan bulat. Karena pandangan dan sikap seperti ini, keraguan banyak membayangi keputusan Pak Jakob. Dia ingin semua orang direngkuh, dirangkul, dan diberi tempat. Walaupun keputusan menjadi lebih lama, Pak Jakob sabar menunggu. Bahkan sampai ketika waktu harus menyelesaikan sendiri persoalan itu.

Baca Juga: Sentuhan Khas Jakob Oetama

Namun justru karena sikap terlalu berhati-hati ini pulalah yang menyelamatkan Kompas Gramedia saat krisis ekonomi tahun 1998. Saat itu, semua karyawan pada level tertentu dipotong gaji untuk dibagikan kepada karyawan lain bergaji lebih rendah. Tidak ada karyawan yang dirumahkan, walaupun sebenarnya perusahaan sudah hidup dari bunga deposito.

Bisa dibayangkan betapa kami merasa kehilangan dengan semua keteladanan dan ketokohan pak Jakob. Ada banyak orang bersimpati ketika terjadi bencana alam. Namun mereka tak pernah bisa merasakan perasaan orang yang sesungguhnya mengalami peristiwa itu. Ada banyak orang yang bersimpati dengan kepergian Pak Jakob, namun tak mungkin merasakan betapa kami merasa kehilangan harus melepas kepergian Pak Jakob.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri berbincang bersama Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama dan Redaktur Senior Kompas August Parengkuan saat berkunjung ke Redaksi Kompas di Jakarta, Rabu (4/4/2012). Dalam kunjungan itu, Megawati didampingi antara lain Sekretaris Jenderal PDI-P Tjahjo Kumolo.

Maafkan kami Tuhan, karena kami tak kuasa mengerti rencana-Mu. Maafkan kami Tuhan karena Engkau memanggil pulang ayah, guru, sahabat, dan tokoh yang sangat kami cintai. Maafkan kami Tuhan karena kami berat melepas kepergian Pak Jakob.

Maafkan kami Tuhan, walaupun mulut kami mengatakan: "Selamat jalan Pak Jakob....." namun hati kami tak kuasa menolak kepergian Pak Jakob. Maafkan kami Tuhan, meskipun kami menyampaikan: "Semoga Tuhan mengawal perjalanan Pak Jakob, dan beristirahat dalam kedamaian abadi di surga....." namun hati kami tak mampu menahan kesedihan itu. Maafkan kami Tuhan.

AGUNG ADIPRASETYO, Chief Executive Officer Kompas Gramedia 2006-2015

Kompas, 09 September 2020



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger