Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 14 September 2020

TAJUK RENCANA: Selamat Jalan, Pak Jakob (REDAKSI KOMPAS)


KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri berbincang bersama Pemimpin Umum HarianKompas Jakob Oetama dan Redaktur SeniorKompas August Parengkuan saat berkunjung ke Redaksi Harian Kompas di Jakarta, April 2012.

Berpulangnya Jakob Oetama, salah seorang pendiri harian Kompas, tokoh pers, merupakan duka yang mendalam bagi keluarga Kompas Gramedia dan juga bagi bangsa ini.

Jakob meninggal dunia pada Rabu, 9 September 2020, di usia 88 tahun. Ia menghadap Sang Pencipta 18 hari sebelum peringatan ulang tahunnya yang ke-89 pada 27 September 2020 dan ketika harian Kompas yang didirikannya telah melampaui usia 55 tahun.

Bagi keluarga besar Kompas dan Kompas Gramedia, Jakob adalah sosok karismatik, tetapi tetap sederhana. Ia adalah seorang ayah, seorang guru, bagi para wartawan dan karyawan Kompas Gramedia. Karyawan dipandangnya sebagai aset bagi perusahaan. Namun, di tengah atribusi yang melekat padanya, Jakob dengan bangga selalu menyebut, "Saya ini seorang wartawan."

Dua gagasan besar yang selalu diusung Jakob dan tentunya harian Kompasadalah gagasan soal kemanusiaan dan kebangsaan. Cara pandang itulah yang menjadi roh dari harian Kompas. Jurnalisme hadir untuk keluhuran manusia dan kemajuan bangsa. Jurnalisme hadir untuk selalu berkontribusi pada peradaban sebuah bangsa.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Jakob Oetama berbincang dengan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid  (Gus Dur) dan istrinya, Sinta Nuriah, di acara peringatan 60 Tahun Indonesia Merdeka di Gedung Arsip Nasional, Jakarta Barat, 15 Agustus 2005.

Jakob boleh jadi adalah pribadi yang selalu gelisah dengan nasib bangsanya, dengan nasib rakyat. Terinspirasi pandangan sejarawan Inggris, Arnold Joseph Toynbee (1889-1975),challenge and response, Jakob menggunakan Toynbee untuk menggugat keadaan agar bisa lebih baik dan bagaimana memperbaikinya.

Dalam percakapan di ruang redaksi, Jakob beberapa kali menggugat mengapa petani kita miskin. Mengapa nelayan kita tetap miskin. Mengapa daerah tertentu miskin meski sumber daya manusia memadai. Mengapa bangsa ini tidak bergerak maju? Mengapa korupsi tetap merajalela kendati pemerintahan telah bergeser dari otokrasi ke demokrasi. Apa yang salah dengan bangsa ini?

Sebagai wartawan dan juga intelektual, Jakob adalah seorang yang selalu bergulat dengan ide-ide besar dan mencoba menerapkannya untuk perkembangan negeri. Ia mengadopsi gagasan culture matters dari Lawrence E Harisson dan Samuel P Huntington untuk menjelaskan mengapa bangsa ini "begini-begini saja". Salah satu jawabannya adalah soal kultur. Sejumlah ilmuwan luar negeri ia amati, seperti Gunnar Murdal (Asian Drama) dan Anthony Giddens (Jalan Ketiga), dan menjadi sumber inspirasinya.

Gaya jurnalisme Kompas yang bertahan lebih dari 55 tahun tidak bisa dilepaskan dari cara pandang Jakob tentang manusia. Manusia selalu memiliki dua sisi, kekuatan dan kelemahan. Karena itu, kata Jakob, we are no angels. Pandangan itulah yang menjadikan kritik Kompasdisampaikan dengan penuh pengertian, kritik with understanding. Jurnalisme harian Kompas bukanlah jurnalisme menggebrak meja, melainkan jurnalisme yang meyakinkan dan jurnalisme yang menawarkan solusi. Sesuai dengan karakter pendirinya, jurnalisme harianKompas akan tetap moderat.


Karena kecintaannya kepada Tanah Air dan kebangsaan, Jakob selalu menggugat kondisi negeri ini. Bagaimana dengan Aceh, bagaimana dengan Papua. Bagaimana dengan Flores. Janganlah melihat Indonesia hanya dari Jakarta. Pergilah ke daerah dan lihat bagaimana perkembangan di daerah. Ia mendorong bangsa ini mengenal Tanah Airnya. "Tanah sudah banyak orang tahu, tetapi air. Siapa yang sudah mengeksplorasi kekayaan laut kita," kata Jakob. Ketika Ibu Pertiwi sedang merintih, bersusah hati menyaksikan ledakan bom di Bali, Jakob memimpin upacara 17 Agustus untuk karyawan Kompas Gramedia. Tanpa sambutan, Jakob Oetama menyanyikan syair lagu, "Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati..."

Beberapa kejadian kian mempertontonkan betapa nasionalistiknya Jakob. Ia selalu mengingatkan bahwa bahasa penuh nuansa, "Ati-ati nek mrucut" atau kalau bangsa ini pecah akibat kesenjangan sosial dan kesenjangan antarwilayah.

Gagasan besar Jakob soal manusia dan bangsa diperjuangkannya dalam gaya jurnalistiknya di harian Kompas. Jurnalisme adalah jalan untuk memperjuangkan Indonesia yang lebih baik. Saat harian Kompas ditutup dan kemudian diizinkan pemerintah untuk terbit kembali dengan syarat, Jakob menerima syarat itu. Sementara PK Ojong, seniornya, menolak syarat itu karena terlalu berat. Namun, Jakob mengatakan, perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, yakni media. "Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak bisa diajak berjuang," kata Jakob kala itu.

Jakob telah tiada. Namun, gagasan besarnya, gaya jurnalistiknya, yang oleh sebagian besar warga Kompasdisebut Jakobianisme, tetaplah abadi. Kesetiaan awak redaksi Kompas pada jurnalisme Jakob yang setia terhadap kemanusiaan dan kebangsaan akan tetap menjadi kompas bagi bangsa. Semboyan ulang tahun ke-55 harian Kompas, "Kawan dalam Perubahan", juga disarikan dari beberapa tajuk rencana harian Kompas. Bagaimana Jakob membayangkan media dan jurnalisme harus tetap menjadi kawan dalam setiap perubahan. Dan, sejauh mungkin, jurnalisme haruslah berkontribusi pada perubahan.

Jurnalisme adalah jalan untuk memperjuangkan Indonesia yang lebih baik.

"Kawan dalam Perubahan" bukan sekadar slogan. Frase ini menuntut harian Kompas untuk terus beradaptasi dengan perubahan, khususnya perubahan teknologi komunikasi. Gaya jurnalisme Kompasakan tetap seperti apa yang dianjurkan Jakob, yakni teguh dalam perkara, tetapi lentur dalam cara (fortiter in re, sed suaviter in modo).

Revolusi digital dan pandemi Covid-19 mengubah perilaku dan kultur masyarakat dalam berkomunikasi atau mengonsumsi berita. Kehadiran media sosial mengubah informasi menjadi lebih personal. Media sosial adalah bentuk nyata demokratisasi media dalam arti sebenarnya.

Dengan keterbatasan ruangan koran, meningkatkan kualitas berita, memberikan kedalaman, menawarkan perspektif, mengedepankan akurasi (jurnalisme presisi), dan memberi makna atas berita (jurnalisme makna) adalah tantangan yang dihadapi.Kompas dan Kompas.id berkomitmen penuh untuk menjadi rumah penjernih informasi (clearing house of information) dan rumah pengetahuan di tengah informasi yang berserak. Jurnalisme Kompas didedikasikan untuk tetap memberikan manfaat kepada masyarakat, menjadi teman dalam perubahan, dan memberi kontribusi kepada peradaban.

Sebagaimana sering dikatakan Jakob,we are no angels. Setiap manusia selalu ada kekuatan dan kelemahannya. Dan, kekhilafan adalah insaniah, Errare humanum est.

Selamat jalan, Pak Jakob. Ajaranmu abadi.

Kompas, 10 September 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger