Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 08 September 2020

RESENSI BUKU: Setelah Zaman Ideologi Berlalu (Y. D. ANUGRAHBAYU)


Judul: Capital and Ideology

Penulis: Thomas Piketty

Penerjemah: Arthur Goldhammer

Penerbit: The Belknap Press of Harvard University Press

Cetakan: I, 2020 (asli Perancis: 2019)

Tebal: ix + 1.093 halaman

ISBN: 9780674245075

Setelah komunisme Soviet tamat, mantra there's no alternative kian keramat. Cakrawala umat manusia menciut ke satu cara hidup: demokrasi liberal yang disangga kapitalisme. Darinya lahir, mengutip Fukuyama, "manusia terakhir": sosok yang "tak punya lagi isu besar untuk diperjuangkan", yang "memenuhi kebutuhan lewat kegiatan ekonomi, tapi tak lagi harus bertaruh nyawa dalam pertarungan". Sejak itu, peradaban seakan tak punya arah lain, kecuali pemuasan konsumen.

Dunia seperti itu menyisakan problem ketimpangan, tapi mungkin juga semakin memakluminya. Kisah mengharukan tentang "kesuksesan" kian digandrungi, dengan hampir seluruhnya taklid pada meritokrasi. Orang semakin gampang percaya, kekayaan cuma soal kerja keras atau kemujuran, dan kemelaratan sekadar hukuman atas kemalasan atau nasib.

Dunia seperti itu menyisakan problem ketimpangan, tapi mungkin juga semakin memakluminya.

Apabila ada yang cukup berhasil menyalakan lagi ketimpangan sebagai skandal membara, Thomas Piketty-lah salah satunya. Setelah pada 2014 menggegerkan jagat ekonomi denganCapital in the 21st Century, kini ekonom Perancis itu tampil dengan lanjutannya: Capital and Ideology.

Dalam Capital in the 21st Century,Piketty membedah problem ketimpangan dengan menelusuri laporan pajak di negara-negara sejak 2-3 abad silam. Data diolah untuk mendapat perbandingan antara imbalan modal (r: rate of return on capital) dan pertumbuhan ekonomi (g:rate of economic growth).

Bagi Piketty, dua variabel itulah kunci memahami ketimpangan: apabila g > r, masyarakat cukup egaliter secara sosio-ekonomi; sebaliknya, apabila r > g, terjadilah ketimpangan tajam. Celakanya, yang terakhir itulah gejala global sejak 1980-an.

"Kekayaan dari masa lalu," kata Piketty, "tumbuh lebih cepat, bahkan tanpa kerja, daripada kekayaan yang muncul dari kerja" (2014: 278).

Capital and Ideology melengkapinya dengan penelusuran historis tentang pasang-surut ideologi. Argumen utamanya: "Ketimpangan bukanlah [perkara] ekonomi maupun teknologi; ia ideologis dan politis" (hlm 7). Sedikit banyak, argumen itu mungkin sudah akrab bagi mereka yang cukup melek sejarah.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Hunian warga di bantaran Sungai Ciliwung di Bidara Cina, Jatinegara, Jakarat Timur, Senin (20/7/2020). Masyarakat yang bekerja di sektor informal rentan miskin dan terperosok ke jurang ketimpangan yang semakin dalam. Pandemi Covid-19 yang memicu perubahan perilaku dan kegiatan ekonomi menambah jumlah orang miskin.

Yang membuatnya istimewa adalah sajian data yang amat kaya berupa grafik dan tabel, khas hasil kerja seorang ekonom. Dengan itu, tampak bagaimana pasang-surut ideologi menjelma dalam wujudnya yang paling material. Pada sebuah masa ketika para ahli ekonomi dan sejarah semakin sukar saling mengerti, upaya itu sangat berarti.

Piketty mulai dari Eropa pramodern, ketika struktur masyarakat masih berupa "masyarakat tiga tingkat" (ternary atau trifunctional society): kelas agamawan/intelektual, kelas bangsawan/ksatria/prajurit, kelas pekerja. Masing-masing memiliki fungsi pada tempatnya, membentuk keselarasan sosial. Gelombang revolusi merombaknya menjadi "masyarakat hak milik" (ownership society). Itulah masa ketika pemisahan sektor publik/privat (negeri/swasta) merangsang mekarnya kapitalisme, seiring modernisasi di segala bidang.

Pembaruan sosial-politik tak otomatis berimbas pada pemerataan ekonomi. Revolusi Perancis, misalnya. Terlepas dari keberhasilannya mentransformasi kepemilikan raja menjadi kepemilikan negara modern (atau swasta) yang disahkan hukum, revolusi berdarah 1789 itu seperti menciptakan jenis kebangsawanan baru, berdasarkan kesakralan baru pula: hak milik pribadi.

Sekadar gambaran: di Paris pada 1800-1810—dua dekade setelah Revolusi—1 persen penduduk terkaya menguasai hampir 50 persen dari total properti, menanjak terus sampai lebih dari 65 persen menjelang Perang Dunia I; pada periode yang sama, 50 persen penduduk termiskin menguasai hanya 2 persen properti (grafik hlm 128).

Pembaruan sosial-politik tak otomatis berimbas pada pemerataan ekonomi.

Dalam jangka panjang, yang berhasil meraup keuntungan terbesar adalah kelompok yang oleh Piketty disebut "kelas menengah patrimonial" (hlm 129). Kendati secara individu tak cukup kaya dibandingkan kelas atas, jumlah mereka yang banyak memungkinkannya menguasai kekayaan sampai melebihi kekayaan kelas atas (hlm 130).

Rahasia di balik itu adalah kesejajaran antara rezim properti dan rezim politik: yang dimungkinkan punya hak politik adalah mereka yang punya properti. Dengan kata lain, struktur masyarakat tiga tingkat sedikit banyak masih bertahan dalam masyarakat hak milik. Itulah mengapa baik masyarakat tiga tingkat maupun masyarakat hak milik ditandai ketimpangan tajam. Apalagi, periode masyarakat hak milik berbarengan dengan ekspansi kolonial bangsa-bangsa Eropa.

Dari Eropa Piketty menjelajah ke Afrika, India, China, Jepang, dan Iran, untuk menunjukkan bagaimana ketimpangan dilanggengkan serentak dengan ideologi masyarakat tiga tingkat, kolonialisme, dan perbudakan.

Kisah-kisah tentang penghapusan perbudakan (1833 di Britania Raya, 1848 di Perancis, 1865 di AS, 1888 di Brasil) sepintas terdengar mulia, tapi segera dibongkar dengan fakta bahwa proses itu terjadi justru dengan pemberian kompensasi finansial kepada pemilik budak, bukan kepada si budak—suatu tanda betapa keramatnya konsep milik pribadi (hlm 210). Di wilayah-wilayah kolonial digambarkan bagaimana ketimpangan ditunjang oleh "ideologi berdasarkan konsep-konsep dominasi intelektual dan peradaban, juga dominasi militer dan ekstraktif" (hlm 252).

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Foto udara kluster hunian di tengah areal persawahan di Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (16/7/2020).

Ketimpangan baru surut seiring rantai peristiwa sejak dua perang dunia, Depresi Besar, mekarnya komunisme Soviet, gelombang kemerdekaan bangsa-bangsa jajahan, sampai keberhasilan agenda-agenda sosial-demokrasi. Piketty menyebut masa itu sebagai—menyitir Karl Polanyi—"transformasi besar abad kedua puluh" (hlm 413).

Secara khusus ia menyoroti bagaimana pajak progresif atas penghasilan, warisan, dan kekayaan cukup berhasil menurunkan tingkat ketimpangan. Itulah "zaman keemasan sosial-demokrasi" (hlm 487), ketika negara-negara kapitalis pada 1950-1980 bersalin rupa menjadi negara-negara sosial-demokrasi dengan berbagai jaminan sosialnya.

Sejak 1980-an, seiring naiknya ideologi konservatif (dua yang paling ikonik sekaligus berpengaruh: Ronald Reagan di AS, Margaret Thatcher di Britania Raya) yang ditunjang ekonomi neoliberal, ketimpangan melesat lagi. Runtuhnya Tembok Berlin, diikuti ambruknya komunisme Soviet dan pudarnya gerakan sosialis maupun sosial-demokrasi, membawa dunia pada kebekuan ideologi. Kapitalisme menggelinding nyaris tanpa tanding. Ketimpangan menganga lagi sampai kini, bahkan sampai tingkat yang mirip dengan ketimpangan dua abad lalu.

Ketimpangan menganga lagi sampai kini, bahkan sampai tingkat yang mirip dengan ketimpangan dua abad lalu.

Dari penelusuran itu, Piketty mengajukan periodisasi sejarah berdasarkan tingkat ketimpangannya: fase proprietarian, ditandai ketimpangan tajam yang dilanggengkan dengan ideologi masyarakat tiga tingkat dan sakralisasi milik pribadi; fase sosial-demokrasi, ditandai kesetaraan meski tak sempurna; fase neo-proprietarian, di mana ketimpangan meningkat lagi seiring kembalinya kesakralan milik pribadi yang ditunjang meritokrasi, juga gagalnya ideologi yang menempatkan kesetaraan sebagai agenda utama.

Salah satu unsur kunci di situ adalah pajak. Ketimpangan dipengaruhi oleh sejauh mana negara mampu menjalankan tekanan fiskal (fiscal pressure) atas kegiatan ekonomi. Dalam sebuah ulasan di London Review of Books, Geoff Mann menyebut periodisasi ala Piketty itu "teori pajak mengenai sejarah" (tax theory of history).

Ideologi yang kini melanggengkan ketimpangan tak lebih masuk akal daripada yang dulu menciptakan masyarakat tiga tingkat. Kini orang memandang takzim kaum kaya sampai superkaya, tanpa mempersoalkan "sikap mereka yang kuasi-monopolistik" atau "keringanan hukum dan pajak yang diberikan kepada mereka" (hlm 714).

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Warga melintas di depan mural yang menggambarkan penggelapan uang negara di salah satu sudut Kota Tangerang, Banten, Kamis (25/6/2015). Penggelapan uang negara berdampak luas, baik terhadap kehidupan masyarakat maupun ketimpangan pembangunan di pelosok Indonesia.

Dengan nyaris naluriah orang menganggapnya pantas, seperti orang Eropa abad pertengahan menganggap wajar kekayaan kaum bangsawan. "Hiperkapitalisme" abad ke-21, kata Piketty, berputar di pusaran "modernitas dan kekolotan" (hlm 648).Plus ça change, plus c'est la même chose.

Hal lain yang istimewa dari Piketty: jangkauan lintas-disiplin yang luas. Ia memanfaatkan bukan hanya data ekonomi, melainkan juga data elektoral dan karya sastra. Di antaranya ditunjukkan peralihan preferensi politik masyarakat kelas bawah dari partai-partai kiri-progresif ke partai-partai kanan-konservatif—sesuatu yang menandakan "kegagalan koalisi sosial-demokrat pascaperang untuk membarui agenda politiknya, khususnya dalam isu-isu fiskal, pendidikan, dan internasional" (hlm 720).

Sumber-sumber sastra—di antaranyaBumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer—dimanfaatkan untuk mencerap suasana ideologis-kultural yang membisu dalam statistik. Pesan berharga dari situ: ekonomi tak terpisahkan dari ideologi.

Dengan itu, Piketty sekaligus mempertanyakan kecenderungan untuk menganggap ketimpangan sebagai gejala alamiah (natural), sekadar konsekuensi pasar bebas. "Semua," kata Piketty, "adalah konstruksi sosial dan sejarah" (hlm 7). Karenanya, "kita harus mewaspadai siapa pun yang coba-coba mengalamiahkan ketimpangan".

Pesan berharga dari situ: ekonomi tak terpisahkan dari ideologi.

Itulah mengapa di sana-sini Piketty tampak tak percaya pada indikator-indikator lazim dalam ekonomi. Tentang koefisien Gini sebagai indikator ketimpangan, misalnya, ia mengatakan, "Itu tak mengatakan apa pun tentang kelompok sosial mana yang bertanggung jawab atas perbedaan indeks sepanjang waktu atau antar-negara. Koefisien Gini menyelubungi konflik sosial konkret antar-kelompok penghasilan atau antarhierarki kekayaan dan kerap mengaburkan perubahan-perubahan yang sedang terjadi" (hlm 659).

Penelusuran seribuan halaman itu berujung pada sebuah proposal bernama "sosialisme partisipatoris" (hlm 966) dengan dua pilar utama: (1) kepemilikan bersama (social ownership), ditandai keseimbangan hak suara dalam perusahaan dan (2) kepemilikan sementara (temporary ownership), ditandai sirkulasi modal (hlm 989).

Konkretnya, yang pertama berupa pembagian hak suara 50:50 antara pekerja dan pemegang saham dalam pemilihan dewan perusahaan, yang kedua berupa "tritunggal pajak progresif: properti, warisan, penghasilan" (hlm 981). Sekilas rinciannya (persentase tarif pajak efektif): Properti (tahunan): 0,1% untuk properti senilai 0,5 kali lipat rata-rata kekayaan nasional, naik bertahap sampai 90 persen untuk 10.000 kali lipat. Warisan: 5 persen untuk warisan senilai 0,5 kali lipat rata-rata kekayaan nasional, naik bertahap sampai 90 persen untuk 10.000 kali lipat. Penghasilan: 10 persen untuk penghasilan senilai 0,5 kali lipat rata-rata pendapatan nasional, naik bertahap sampai 90 persen untuk 10.000 kali lipat (tabel hlm 982).

Pajak progresif atas properti dan warisan akan mendanai sumbangan modal (capital endowment) untuk orang dewasa-muda, sedangkan pajak progresif atas penghasilan (termasuk penghasilan korporasi dan emisi karbon) akan mendanai penghasilan dasar (basic income), program jaminan sosial, pendidikan, dan kelestarian lingkungan.

Rancangan itu tentu "baru merupakan ilustrasi" yang "parameter persisnya akan membutuhkan diskusi panjang dan deliberasi demokratis yang luas" (hlm 982). Pada prinsipnya, Piketty hendak menekankan "hak milik sebagai relasi sosial" (hlm 981).

Salah satu syaratnya tentu transparansi finansial. Di situ mengemuka ironi: "Di sebuah dunia yang terbiasa merayakan era big data, sistem ekonomi dan finansial kita [justru] semakin kabur, terutama dalam mencatat dan mengukur penghasilan dan kekayaan" (hlm 648). Itulah dampak "internasionalisasi kekayaan, menjamurnya suaka pajak, dan terlebih, lemahnya kehendak politik untuk menegakkan transparansi finansial" (hlm 422).

Pada prinsipnya, Piketty hendak menekankan "hak milik sebagai relasi sosial" (hlm 981).

Karena itu, selain akurasi teknis, sosialisme partisipatoris juga membutuhkan "redefinisi atas landasan intelektual, ideologis dan programatiknya" (hlm 41). Tanpanya, kata Piketty, "populisme xenofobik akan menang […] dan memulai perubahan yang akan menghancurkan ekonomi digital global nan hiperkapitalis yang telah mendominasi dunia sejak 1990" (hlm 2).

Kita, "manusia terakhir" yang taklid pada dogma "fisibilitas", akan segera mencibir: utopis. Piketty, yang tampak tak simpatik pada kebiasaan "mengglorifikasi pengusaha dan milyarder" (hlm 713), yang mengaku "dulu lebih liberal dan kurang sosialis daripada kini", mungkin sengaja tak menggubris, kebijakan pajak yang terlalu keras bisa mengikis selera berbisnis—sesuatu yang sudah sejak 1918 diingatkan Joseph A Schumpeter dalam Die Krise des Steuerstaats.

Tapi di tengah pandemi yang belum juga jinak, ketika harapan mendadak jatuh ke pundak negara yang gagap namun pelan-pelan belajar—bukan pasar—seruan Piketty boleh jadi justru profetik. Arti penting karyanya mungkin bukan terutama pada proposalnya, melainkan mimpi yang dibawanya: gairah akan keadilan, jiwa yang tak memandang suci kekayaan, sikap yang melawan—bukan membiarkan atau menganggap wajar—ketimpangan.

(YD Anugrahbayu, Peneliti Center for Indonesia Taxation Analysis/CITA)

Kompas, 6 September 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger