Judul buku: Kanker, Biografi Suatu Penyakit
Penulis: Siddharta Mukherjee
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun Terbit: Mei, 2020
Jumlah halaman: 658 halaman
ISBN: 978-602-481-368-0
Pada suatu hari di tahun 1999, Germaine Berne, seorang psikolog Amerika Serikat yang periang, merasakan perutnya melilit dan mual luar biasa, disertai rasa begah tak tertahankan. Saat ia memeriksakan diri di Baptist Hospital di Montgomery, Alabama, hasil CAT scan menunjukkan ada massa padat bersarang di perutnya sepanjang 20 sentimeter yang mendesak lambungnya. Hasil biopsi yang ia dapatkan pada Januari 2000 menunjukkan, massa padat tersebut adalah tumor gastrointestinal stromal (GIST), jenis kanker langka.
Dalam waktu singkat, kanker tersebut telah bermetastasis ke seluruh tubuh. Pembedahan muskil dilakukan karena penyebaran yang masif, sementara kemoterapi tidak akan efektif. Saat itu belum ada jenis obat kemoterapi yang bisa menaklukkan GIST. Germaine tak punya harapan. Ia bersiap mati setelah dokter yang menanganinya menyuruhnya pulang. Ia tanda tangani surat-surat, melunasi semua utang, dan menulis wasiat.
Ia bersiap mati setelah dokter yang menanganinya menyuruhnya pulang.
Namun, sembari menunggu waktu kematian, ia berselancar di internet dan bertemu komunitas penderita GIST. Dari komunitas inilah, Germaine membaca informasi tentang Gleveec atau imatinib, obat temuan Brian Druker yang sukses melawan leukemia mielogenus kronis, tapi juga terbukti berhasil menonaktifkan c-kit—gen pendorong GIST. Germaine menemukan harapan.
Panjang jalan yang dilalui Germaine untuk mendapatkan obat tersebut karena Gleveec masih dalam taraf uji coba. Namun, pada Agustus 2001, di sebuah rumah sakit pendidikan, Germaine berhasil mendapatkan Gleveec. Sebulan kemudian, tumornya menyusut, energinya pulih, dan ia bangkit dari kematian.
Kesembuhan Germaine adalah keajaiban medis. Koran-koran di Montgomery membagikan kabar gembira ini. Namun, remisi—istilah "sembuh" yang digunakan untuk pasien kanker—Germaine tak lama. Pada 2004, kanker tersebut datang kembali. Gleveec tak lagi mempan menidurkan GIST. Namun, Germaine menolak menyerah. Ia kembali menjelajahi internet dan menemukan informasi bahwa Gleveec generasi kedua sedang diuji coba. Germaine menjajalnya. Namun, obat itu tak tahan lama.
Pada Februari 2005, kanker Germaine sudah tak terkendali. Rumah sakit akhirnya memulangkannya dan Germaine bersiap menyongsong lagi kematian yang sempat diprediksi terjadi pada tahun 2000. Germaine gagal mengalahkan kanker, tapi setidaknya ia bisa memperpanjang waktu hidupnya hingga lima tahun.
Germaine-lah yang agaknya menjadi salah satu inspirasi Siddharta Mukherjee—seorang onkolog dan hematolog Amerika Serikat keturunan India—untuk menulis buku setebal 658 halaman tentang kanker dari sisi sejarah medis dan sosial. Dalam sebuah wawancara dengan jurnalis pada Februari 2011, Siddharta menyebut bahwa buku tersebut merupakan jawaban panjang terhadap pertanyaan salah seorang pasiennya yang menderita kanker perut agresif.
Pasien tersebut mengalami kekambuhan meski telah menjalani kemoterapi. Saat pasien tersebut harus dikemoterapi lagi, ia mengatakan: "Saya mau melanjutkan, tapi saya perlu tahu apa yang saya lawan." Pernyataan pasien tersebut mengusik Siddharta. "Buku saya adalah upaya menjawab pertanyaan dia dengan menelusuri asal-usul kanker dan menunjukkan perkembangannya dalam sejarah" (hlm 577).
Buku saya adalah upaya menjawab pertanyaan dia dengan menelusuri asal-usul kanker dan menunjukkan perkembangannya dalam sejarah (hlm 577).
Tak ada peluru ajaib
Buku ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris dengan judul The Emperor of All Maladies: A Biography of Cancer pada 2010. Sepuluh tahun kemudian, KPG menerbitkan edisi Indonesia-nya dengan judul Kanker, Biografi Suatu Penyakit.
Siddharta adalah dokter kanker lulusan Stanford University dan Harvard Medical School yang menyukai sastra. Maka, ketika ia memutuskan menulis jawaban panjang untuk pasiennya tentang kanker, ia menghasilkan sebuah buku dengan narasi yang memikat dan detail deskripsi yang memukau—kemampuan yang dimiliki sedikit penulis. Kedalaman pengetahuan dan kepiawaian bercerita mengantar Siddharta menggondol penghargan Pulitzer pada 2011 untuk kategori karya nonfiksi.
Buku yang ditulis Siddharta dalam waktu enam tahun (2004-2010) ini menempatkan Sidney Farber—bapak kemoteropi modern—sebagai tokoh sentral. Siddharta mengisahkan detail riset yang dilakukan Farber hingga persekutuan Farber dengan Mary Woodard Lasker—seorang filantropis, sosialita, dan pelobi yang unggul—dalam mendirikan American Cancer Society.
Namun, dari perjalanan Farber, Siddharta juga mengulas sejarah kanker baik dari sisi medis, sosial, maupun politik dengan alur penceritaan gabungan: kilas balik dan kronologis.
Membaca buku ini, pembaca akan dituntun untuk memahami bahwa apa yang diyakini banyak orang hingga hari ini tentang tindakan pembedahan dan radiasi yang justru akan menyebarluaskan kanker serta pasien kanker akan mati lebih cepat dengan kemoterapi memiliki basis historisnya.
Perang melawan kanker, menurut Siddharta, tak hanya membutuhkan senjata, tetapi juga pejuang, tentara, yang terluka, dan yang bertahan hidup.
Tindakan pembedahan untuk menangani kanker sampai abad ke-16 masih menjadi masalah mengerikan. Belum ditemukannya antiseptik dan anestesi saat itu membuat pasien harus berhadapan dengan rasa sakit tak tertahankan karena operasi dilakukan tanpa bius.
Hal yang jamak di masa itu jika para dokter bedah membakar tumor dengan menggunakan solder besi yang dipanaskan dengan batubara. Walhasil, banyak pasien kanker yang meninggal bukan karena penyakit kankernya, melainkan gara-gara pembedahan itu sendiri.
Hal yang jamak di masa itu jika para dokter bedah membakar tumor dengan menggunakan solder besi yang dipanaskan dengan batubara.
Namun, seiring penemuan antiseptik dan anestesi, pembedahan menjadi tindakan yang paling umum digunakan untuk menangani kanker, terutama kanker padat seperti kanker ginjal, kanker pankreas, kanker serviks, dan kanker payudara. Khusus untuk kanker payudara, pendekatan mastektomi radikal—mengangkat payudara hingga sampai otot dada di bawahnya dan kelenjar getah bening—yang diperkenalkan oleh William Stewart Haltsted pada akhir abad ke-17 menjadi acuan banyak pihak.
Namun, sejumlah penelitian kemudian menunjukkan bahwa mastektomi radikal juga tidak bisa menghentikan kekambuhan kanker, terlebih kanker yang sudah bermetastasis. Sementara untuk kanker payudara yang bersifal lokal atau masih stadium awal, tindakan pembedahan lokal sama efektifnya dengan mastektomi radikal.
Hal sama terjadi pada terapi radiasi. Terapi radiasi hanya akan efektif untuk kanker yang bersifat lokal. Sementara untuk kanker yang sudah bermetastasis, radiasi tak akan efektif. Lebih parah lagi, paparan radiasi pada pasien kanker berpotensi menimbulkan jenis kanker baru pada pasien tersebut, bertahun-tahun setelah pasien mengalami remisi.
Kemoterapi setali tiga uang. Obat kemo yang pada dasarnya adalah racun ini menimbulkan efek yang berat bagi pasien kanker karena ia tak hanya menyerang sel kanker, tapi juga menyasar sel normal di dalam tubuh. Tidak ada jaminan pula bahwa pasien yang telah menjalani kemoterapi tak mengalami kekambuhan di masa depan. "Seperti radiasi, kemoterapi sitotoksik terbukti merupakan pedang bermata dua: di satu sisi menyembuhkan kanker dan di sisi lain menyebabkan kanker" (hlm 203).
Terapi kombinasi—bedah, radiasi, dan kemoterapi—yang diterima seorang pasien juga belum menjamin sel kanker tidak muncul lagi. Kini, saat para dokter mulai fokus pada terapi target, salah satunya obat Herceptin untuk pasien kanker payudara Her2 positif, perang melawan kanker tetap belum berakhir.
Kanker pada akhirnya bukan sebuah penyakit, melainkan banyak penyakit. Dengan demikian, tidak ada satu pun peluru ajaib yang bisa membasmi seluruh kanker. Ada pasien seperti Carla Reed—pasien leukemia yang ditangani Siddharta dan dikisahkan dalam prolog buku ini—yang mencapai remisi penuh sejak ia didiagnosis pada 2004. Carla masih hidup hingga buku tersebut diterbitkan. Namun, ada pula pasien seperti Germaine Berne yang pada akhirnya harus menyongsong kematiannya.
Kanker pada akhirnya bukan sebuah penyakit, melainkan banyak penyakit.
Terlalu Amerika
Sayangnya, buku ini memang hanya fokus pada perkembangan penanganan kanker di Amerika meski Siddharta menyinggung sedikit inovasi dan inisiatif medis di sejumlah negara Eropa. Siddharta bahkan secara detail menggambarkan bagaimana pertarungan politik di parlemen dan Gedung Putih punya kontribusi terhadap berhasil atau gagalnya program perang melawan kanker.
Bahkan, ia menceritakan dengan sangat baik bagaimana kelompok advokasi kanker menggunakan momentum pendaratan di Bulan tahun 1969 guna mendesak senat dan Pemerintah Amerika Serikat memberikan perhatian lebih terhadap program penanganan kanker.
Siddharta hampir tidak memberikan ruang pada perkembangan penanganan kanker di kawasan Asia. Barangkali karena lompatan medis terkait penanganan kanker memang terpusat di Benua Amerika dan Eropa. Selain itu, Siddharta memang sama sekali tidak memberikan perhatian pada keberhasilan penanganan kanker yang belum terbukti secara klinis. Ia tidak terlalu yakin bahwa diet makanan bisa mencegah kekambuhan kanker dan sama sekali tidak percaya bahwa pikiran positif akan mematikan sel kanker.
Siddharta hampir tidak memberikan ruang pada perkembangan penanganan kanker di kawasan Asia.
Namun, lepas dari hal tersebut, buku ini benar-benar sebuah sajian yang "mengenyangkan" dari sisi kedalaman pengetahuan tentang kanker dan cecapan rasa bahasanya. Edisi Indonesia yang diterbitkan KPG diterjemahkan dengan cukup baik meski sejumlah typo yang ditemui di sana-sini sedikit mengganggu keasyikan membaca.
Potongan percakapan Alice dan Red Queen dalam novel Looking Through the Looking Glass karya Lewis Caroll yang dikutip dan digunakan Siddharta untuk menutup bukunya memberikan gambar yang tepat tentang pertempuran panjang manusia melawan kanker. Kita harus terus berlari hanya untuk tetap berada di tempat.