Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 10 Oktober 2020

TES PCR: Sisa Virus Korona Bisa Terdeteksi dalam Jangka Waktu Lama (ATIKA WALUJANI MOEDJIONO)


DRAWING/ILHAM KHOIRI

Atika Walujani Moedjiono, wartawan Kompas

Belakangan ini muncul fenomena tes PCR penderita Covid-19 tetap menunjukkan hasil positif berminggu-minggu setelah timbul gejala. Bahkan, ketika gejala sudah teratasi dan penderita dinyatakan sembuh.

Hal ini menimbulkan keraguan bagi tenaga medis maupun penderita terkait isolasi. Apakah penderita sudah sehat dan bebas dari virus, ataukah masih bisa menularkan virus sehingga harus tetap diisolasi.

Tak hanya di Indonesia, fenomena ini juga terjadi di berbagai belahan dunia. Kajian Carl Heneghan dan kolega dari Pusat Kedokteran Berbasis Bukti (Centre for Evidence Based Medicine), Universitas Oxford, Inggris, yang diunggah di medRxiv, laman untuk artikel kesehatan yang belum diterbitkan, pada 29 September 2020, membahas fenomena tersebut.

Heneghan dan kolega meninjau 29 hasil penelitian terkait kultur atau pembiakan SARS-CoV-2 dan tes reaksi berantai polimerase transkripsi terbalik (RT-PCR), untuk memahami hubungan hasil tes PCR dengan kemampuan virus menginfeksi. Sampel virus berasal dari dahak, usap nasofaring atau orofaring, urin, tinja, darah dan dari lingkungan pasien yang didiagnosis Covid-19.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Warga diambil sampel dahak untuk tes PCR Covid-19 di pos pemantauan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Sumber Artha, Kalimalang, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (5/5/2020).

Metode pembiakan virus bertujuan untuk mengetahui apakah hasil tes positif itu mengidentifikasi virus aktif yang dapat berkembang biak, atau hanya fragmen/bagian dari virus mati yang tidak akan berkembang biak di laboratorium, ataupun pada manusia.

Lima penelitian yang dikaji melaporkan tak ada pertumbuhan virus berdasarkan nilai Ct dari tes PCR. Yakni, pada Ct> 24 hingga Ct> 34 atau lebih. Nilai Ct merupakan jumlah siklus amplifikasi yang diperlukan materi genetik yang diberi sinyal fluoresens untuk melewati ambang batas dari alat agar bisa terdeteksi.

Penjelasannya, RT-PCR menggunakan enzim reverse-transcriptase untuk mengubah bagian tertentu dari RNA virus menjadi bagian DNA yang sesuai. Kemudian ditempelkan sinyal fluoresens. Alat PCR mengamplifikasi atau menggandakan jumlah materi genetik itu secara eksponensial. Tes disebut positif jika sinyal fluoresens yang ditempelkan pada salinan DNA dapat dideteksi.

Semakin rendah jumlah siklus amplifikasi, artinya semakin besar jumlah materi genetik dalam sampel. Sebaliknya, semakin tinggi nilai Ct, semakin sedikit materi genetik yang ada.

Semakin rendah jumlah siklus amplifikasi, artinya semakin besar jumlah materi genetik dalam sampel. Sebaliknya, makin tinggi nilai Ct, semakin sedikit materi genetik yang ada.

Masalahnya, demikian Heneghan dalam artikel di CEBM.net, RNA virus pada SARS-CoV, virus MERS, Ebola dan Zika dapat dideteksi dalam jangka waktu lama setelah virus sudah tidak menular.

Menurut Heneghan, fase infeksi SARS-CoV-2 berlangsung sekitar satu minggu atau lebih. Pada saat yang sama, sistem imun berupaya melawan virus dan menghambat infeksi lebih lanjut.

Jumlah RNA virus yang tidak aktif atau sudah dimatikan oleh sistem imun tubuh turun secara perlahan, sehingga masih terdeteksi berminggu-minggu kemudian, meski virus sudah tidak menular.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Warga mengikuti tes usap PCR Covid-19 di kawasan Pasar Kebon Kembang, Kota Bogor, Jumat (8/5/2020). Tes ini digelar oleh Dinas Kesehatan Kota Bogor untuk sejumlah pedagang pasar dan pegawai pasar tersebut.

Hasil tes PCR tidak bisa membedakan apakah orang tersebut memiliki banyak materi genetik virus yang utuh dan aktif, atau fragmen virus yang sudah mati. Karena itu, pendekatan "Ya atau Tidak" untuk interpretasi hasil RT-PCR tanpa divalidasi dengan kultur virus bisa menghasilkan positif palsu. Akibatnya, orang masih diisolasi padahal sudah tidak menularkan virus.

Tetapkan nilai Ct

Heneghan menyarankan perlunya titik potong ambang batas siklus amplifikasi atau nilai Ct tertentu yang bisa menunjukkan jumlah virus yang dapat menginfeksi. Dengan demikian, hasil tes positif palsu bisa berkurang. Dari hasil kajian, nilai Ct> 30 dikaitkan dengan sampel virus yang sudah tidak menular.

Saat ini, Organisasi Kesehatan Masyarakat Inggris bekerja sama dengan sejumlah laboratorium untuk menentukan titik potong nilai Ct dengan kultur virus. Namun, hal itu sulit untuk ditentukan karena ada berbagai spesifikasi alat PCR maupun reagens yang dirancang perusahaan berbeda.

Hal lain, orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 bisa jadi memiliki jumlah virus sedikit ketika baru terinfeksi. Alat PCR dengan sensitivitas rendah bakal tidak mampu mendeteksi infeksi ini. Padahal, orang yang terinfeksi virus paling menular pada satu atau dua hari sebelum gejala muncul, sampai sekitar lima hari setelahnya.

Di Amerika Serikat, perhitungan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menunjukkan, pada nilai Ct lebih dari 33, sudah sulit mendeteksi virus hidup dalam sampel.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Tenaga medis memeriksa spesimen virus korona di laboratorium kontainer Covid-19 di Rumah Sakit Khusus Daerah Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis (18/6/2020).

Pentingnya pelaporan nilai Ct ditekankan Michael R Tom dan Michael J Mina dari Universitas Harvard, AS, dalam editorial di jurnalClinical Infectious Diseases terbit daring 21 Mei 2020. Menurut mereka, saat ini diagnosis, penapisan, dan surveilans kasus SARS-CoV-2 didasarkan pada tes PCR. Hasil tes umumnya dilaporkan sebagai positif atau negatif.

Sebenarnya, tes juga memberikan ukuran jumlah virus dalam sampel, yakni nilai Ct. Disarankan nilai Ct dilaporkan, sehingga jumlah virus diperhitungkan dalam interpretasi hasil tes untuk membuat keputusan klinis.

Dalam bahasan, Tom dan Mina mengutip hasil penelitian Ai Tang Xiao, Yi Xin Tong, Sheng Zhang, dari Departemen Bedah Gastrointestinal Rumah Sakit Tongji-Fakultas Kedokteran Tongji, Universitas Ilmu dan Teknologi Huazhong, Wuhan, China, yang dimuat dalam jurnal yang sama pada 19 April 2020. Peneliti melaporkan, hasil tes PCR tetap positif pada sejumlah pasien Covid-19 hingga minggu ke-5 setelah timbul gejala.

Penelitian Xiao dan kolega melibatkan 56 pasien Covid-19 dengan gejala ringan sampai sedang. Usia pasien rata-rata 55 tahun, terdiri dari 34 laki-laki dan 22 perempuan. Semua pasien akhirnya sembuh.

Rata-rata pasien dites PCR 5 kali. Durasi terlama tes PCR untuk SARS-CoV-2 adalah 42 hari setelah timbul gejala. Semua hasil tes PCR negatif pada minggu ke-6. Rata-rata waktu dari timbul gejala hingga hasil tes PCR negatif adalah 24 hari.

Menurut Xiao dan kolega, pasien dengan hasil tes positif berkepanjangan atau lebih dari 24 hari, umumnya orang lanjut usia atau memiliki penyakit penyerta (komorbid) seperti diabetes dan hipertensi. Selain itu, ada 4 pasien dengan 2 hasil tes negatif berturut-turut, kemudian hasil tes positif kembali.

Sayangnya, hasil tes tidak melampirkan nilai Ct. Padahal, bisa memberikan informasi berharga tentang jumlah RNA virus dalam sampel. Penelitian lain juga menunjukkan, kasus yang 2 kali tes berturut-turut negatif dan sembuh, namun hasil tes positif lagi.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pasien Covid-19 dengan status orang tanpa gejala berolahraga saat menjalani isolasi mandiri di Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (22/9/2020).

Dalam artikelnya, Tom dan Mina memaparkan, CDC AS menyarankan salah satu dari dua pendekatan untuk menghentikan isolasi pasien Covid-19. Pertama, berdasarkan waktu sejak timbul gejala hingga gejala teratasi. Kedua, jika 2 kali tes PCR dalam selang waktu 24 jam menunjukkan hasil negatif. Secara umum, orang tidak lagi menularkan virus 10 hari sejak timbul gejala dan tiga hari setelah gejala Covid-19 teratasi.

Banyak faktor

Di Indonesia, fenomena itu antara lain dialami Aryati, Guru Besar Ilmu Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, yang juga Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia. Dalam perbincangan, Minggu (27/9/2020), Aryati menuturkan terkena Covid-19 akhir Mei lalu. Hasil tes PCRnya positif hingga minggu ke-6 dan negatif di minggu ke-8. Pada minggu ke-10, hasil tes positif lagi.

"Namun, nilai Ct hasil tes PCR tinggi. Artinya, yang terdeteksi hanya sisa RNA virus dan tidak menular lagi," ujarnya.

Ia juga menemukan kasus pasien Covid-19, di mana hasil tes PCR sudah negatif pada bulan Juli, namun September positif lagi. Ada pula pasien berusia 69 tahun yang masih positif tes PCRnya di hari ke-50 atau minggu ke-7, padahal kondisinya sangat baik.

Aryati memaparkan, hasil tes PCR dipengaruhi berbagai hal yang terjadi pada tahap pra analitik, proses analitik, ataupun pasca analitik. Pada pra analitik perlu diperhatikan pengambilan sampel. Apakah dilakukan orang yang sama, pengambilan tepat di nasofaring dan orofaring atau tidak. Jenis alat usap (swab) berbeda, demikian juga media pembawa sampel (viral transport medium) akan mempengaruhi hasil.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Petugas medis memasukkan sampel dari salah satu warga yang ikut dalam tes usap PCR di Kota Bogor ke dalam media pembawa sampel untuk dikirim ke laboratorium, Jumat (8/5/2020).

Hal lain yang berpengaruh yakni cara pengiriman dan lama waktu kirim ke laboratorium. Juga apakah di laboratorium, sampel langsung diperiksa atau harus menunggu antrean panjang. Hal-hal tersebut bisa mendegradasi RNA virus dalam sampel.

Dalam hal proses analitik, alat PCR dan reagens yang digunakan laboratorium berbeda-beda sesuai pabrik. Nilai Ct maksimum yang ditetapkan bervariasi, dari 31,5 hingga 45. Sistem kerja ada yang close system(semua dikerjakan langsung oleh alat), ada yang open system (sebagian proses masih dikerjakan teknisi).

Adapun masalah pada pasca analitik sangat jarang. Namun, mengingat yang diperiksa ribuan sampel, ada kemungkinan terjadi salah nama atau sampel tertukar.

Menurut Aryati, virus korona baru umumnya menular pada 14 hari pertama. "Untuk memastikan, bisa dilakukan kultur virus sehingga diketahui apakah virus bisa tumbuh, artinya masih hidup, mampu bereplikasi dan masih menular. Jika sudah tidak tumbuh, berarti tinggal sisa RNA virus dan tidak menular," katanya.

DOKUMENTASI BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN PAPUA

Dua petugas sedang memeriksa sampel tes usap di laboratorium Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Papua, Kota Jayapura, Kamis (1/10/2020).

Namun, kultur virus tidak sederhana, perlu waktu lama, dan perlu laboratorium dengan biosafety level(BSL) 3. "Kultur virus tidak digunakan dalam pelayanan, melainkan hanya untuk penelitian. Apalagi di Indonesia masih sangat sedikit laboratorium BSL 3," ujar Aryati.

Untuk memastikan kesehatan orang dengan hasil PCR positif walau sudah lebih dari 14 hari, bisa dilihat dari pemeriksaan darah perifer lengkap. Jika hasil pemeriksaan semua normal, berarti sudah sehat dan tidak menular. Kalau sel darah putih, rasio neutrofil limfosit, ataupun protein yang diproduksi hati (C-Reactive Protein) masih tinggi, berarti masih ada infeksi dan peradangan, sehingga harus diwaspadai.

Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah pelaksanaan protokol kesehatan 3 M (mengenakan masker, rajin mencuci tangan dengan sabun dan menjaga jarak). Dengan cara itu, kemungkinan penularan virus bisa dicegah.

Kompas, 6 Oktober 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger