Pandemi panjang membentuk tren baru di sejumlah kota di dunia. Akses jalan ditutup, ruang publik baru diciptakan untuk nongkrong aman warganya. Bisnis kuliner diberi izin menggelar meja dan kursi di atas aspal dengan harapan menarik pengunjung datang. Kelonggaran tersebut diberikan pemerintah kota setempat demi mengurangi tekanan yang dirasakan publik akibat berbagai pembatasan di masa pandemi.
Selalu ada pro kontra dalam kebijakan tersebut, di antaranya bahwa pelonggaran itu dapat membentuk kerumunan dan memicu penularan Covid-19 meskipun protokol kesehatan tetap diterapkan.
Namun, pembukaan ruang-ruang publik baru itu terbukti jitu menjadi pelepasan warga yang tertekan secara fisik dan psikis akibat terkungkung ketakutan tertular wabah. Selain itu, berbagai bisnis yang sempat mati suri karena pembatasan berbagai kegiatan menemukan napas baru penyambung hidupnya.
Kebijakan itu pun cepat menular. Setelah Kota New York, kota-kota lain di Amerika Serikat pun berlomba membuka lebih banyak ruang publik ramah wabah. Sebut saja, antara lain, di Austin (Texas), Tampa (Florida), dan San Jose (California).
Prediksi kala itu, tempat makan di jalanan mengawali sebuah musim saat segalanya dilakukan di luar ruangan.
Di Amerika Serikat, terutama jika antara pemilik usaha tempat makan dan calon konsumen bisa membangun saling percaya, maka "pesta" diperbolehkan. Membangun kepercayaan ini dijabarkan dalam jaminan kepastian pemilik usaha menyediakan tempat dan menu hidangan yang bebas kontaminasi penyakit. Sementara pelanggan diwajibkan mematuhi aturan yang berlaku di kawasan itu.
Sepanjang musim panas antara Mei-Agustus lalu, restoran jalanan memulai rentetan usaha yang dibuka kembali secara luas di seluruh negeri Paman Sam. Prediksi kala itu, tempat makan di jalanan mengawali sebuah tren, di mana segalanya dilakukan di luar ruangan.
Di ambang musim dingin ini, ada tempat makan yang menyediakan tenda-tenda plastik transparan. Tenda dengan kapasitas rata-rata maksimal enam orang itu melindungi dari dingin sekaligus memberi jarak antarkonsumen dan pelanggan tetap mendapat pengalaman berada di luar ruangan.
Media di AS mempertanyakan keamanan tenda tersebut dan menurut pendapat ahli kesehatan memang potensi penularan akan selalu ada. Meskipun demikian, disiplin protokol kesehatan dari pengelola tempat makan dan konsumen tetap menjadi kunci berhasil tidaknya terobosan usaha luar ruangan ini memerangi pandemi.
Sejak 1918
Berkegiatan di luar ruangan di tengah udara terbuka bukan strategi baru agar tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari sekaligus melawan penularan wabah. Influenza Encyclopedia terbitan University of Michigan, AS, menampilkan foto persidangan kasus oleh lembaga hukum setempat di ruang terbuka untuk mencegah kerumunan dalam gedung tertutup serta meminimalkan penularan wabah flu Spanyol di San Francisco pada awal abad ke-20.
Selain pengadilan, kegiatan gereja di San Francisco juga dilakukan di lapangan demi tujuan serupa. Dalam foto lain, pemain bisbol terlihat memakai masker agar tak tertular flu Spanyol. Pandemi flu Spanyol melanda AS pada 1918-1919. Wabah tersebut juga telah menjangkiti negara-negara lain. Flu Spanyol disebut memakan korban jiwa lebih besar dari korban Perang Dunia I, diperkirakan mencapai 50 juta jiwa.
Di luar urusan pengendalian wabah, budaya makan dan minum, bermain-main hingga berolahraga di ruang terbuka sebenarnya telah mendarah daging di kehidupan manusia di seluruh penjuru bumi. Di Indonesia, budaya ini pun melekat erat. Hampir di semua daerah di Nusantara, ada lokasi-lokasi tempat warga biasa berkumpul, nongkrong, bermain layang-layang, memancing, bersepeda, sepak bola, dan banyak lagi.
Selama ini, kita juga terbiasa dengan warung di emperan toko, tempat makan lesehan, maupun saung atau pondok-pondok di tempat terbuka berteman dengan pepohonan, taman, juga sawah. Ada aura kemerdekaan dan rasa menyatu dengan alam.
Budaya nongkrong ini menjangkiti berbagai kelas sosial. Bagi warga perkampungan padat, lahan pemakaman terdekat sudah cukup melegakan untuk sekadar duduk-duduk mengobrol dan tempat bermain bagi anak-anak. Saat ini, dengan berbagai pembangunan dan penataan sebagian bantaran sungai, situ, waduk, termasuk penyediaan trotoar dan taman kota, cukup menambah akses masyarakat umum ke ruang terbuka perkotaan.
Warga dengan ekonomi lebih baik jelas memiliki akses ke berbagai tempat terbuka, baik yang berbayar maupun tidak, yang dekat rumah maupun jauh sekalipun. Pantai apik berbayar, mal-mal dengan fasilitas luar ruang yang cantik dan nyaman, dan fasilitas bermain di ruang terbuka berbayar lain pun kini banyak tersedia.
Namun, dampak pagebluk yang melanda Indonesia sejak 8 bulan lalu, akses ke berbagai fasilitas di atas tertutup. Sampai sekarang, saat pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapkan, belum semua warga berani bersantap dan beraktivitas di luar rumah. Selain itu, belum semua fasilitas yang memiliki ruang terbuka sudah bisa diakses publik kembali.
Inspirasi tren kafe tenda
Sekitar 20 tahun lalu, saat krisis moneter melanda negeri ini dibarengi krisis politik, kondisi perekonomian terseret tak menentu. Jumlah pengangguran melonjak. Pemutusan hubungan kerja sampai mandeknya bisnis terjadi di semua sektor. Dalam waktu "sekejap", banyak individu jatuh dalam lubang kemiskinan. Frustrasi pun merebak.
Kebingungan dan dipaksa keadaan, banyak kisah roda kehidupan, seperti pialang saham yang banting setir membuka warung. Pengusaha menutup bisnis secara tak terduga. Ada pula pekerja kantoran beralih menjadi pengelola warung nasi goreng. Mereka membuka tempat usaha di pinggir jalan dan lahan-lahan kosong. Saat ada sederetan artis ikut meramaikan celah rezeki itu, sontak muncul istilah kafe tenda atau warung gaul. Sempat tenar, misalnya, ada Kafe Tenda Semanggi atau kawasan warung tenda di Senayan.
Di masa sekarang, fenomena era 1998 hingga awal 2000-an tersebut dapat menjadi sumber inspirasi. Dengan banyak penyesuaian di sana-sini, terutama terkait protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19, tidak ada salahnya menggunakan ruang-ruang publik sebagai awal untuk beradaptasi dengan kondisi pandemi yang belum jelas kapan berakhirnya.
Saat ini, ada berjenis-jenis bantuan sosial yang diberikan pemerintah kepada warga yang terdampak pandemi. Ada bantuan bagi masyarakat miskin, bantuan bagi yang kehilangan pekerjaan, bantuan prakerja, hingga bantuan bagi pengusaha kecil yang kini bisnisnya terganggu hebat. Belum lagi rencana memudahkan rakyat mengakses berbagai hal secara digital, termasuk memasarkan produk maupun jasanya.
Meskipun demikian, tetap dibutuhkan tempat fisik yang memungkinkan warga atau pengusaha kecil berinteraksi langsung demi menyapa calon konsumen pasar mereka. Namun, sangat perlu antisipasi dini keberulangan kekacauan akibat diperbolehkannya fasilitas publik diakses bebas warga seperti di masa krisis moneter 1998. Jangan sampai, semua trotoar dan lahan-lahan kosong milik pemerintah, warga, hingga swasta dikuasai secara semena-mena, lalu kota-kota kembali semrawut.
Jika ditata dengan baik dan perencanaan matang, siapa tahu gedung-gedung di sekitar ruang terbuka publik yang kini banyak kosong ditinggalkan penyewanya, kelak ikut terimbas dan kembali semarak dengan kegiatan-kegiatan baru.
Justru di masa sekarang yang kondisinya relatif terkendali seiring masih adanya pembatasan terkait pengendalian pandemi, pemerintah kota bisa mengambil inisiatif dan intervensi dalam upaya menggulirkan kembali geliat ekonomi tanpa menambah risiko merebaknya wabah.
Ini menjadi momentum memetakan kembali kawasan mana saja yang bisa dibuka untuk "usaha jalanan warga" dan yang lain dipastikan kembali peruntukkannya secara jelas. Tentukan aturan pemanfaatan lahan perkotaan sedetail mungkin.
Tak ada salahnya membuka kerja sama dengan pihak swasta, kerja sama dengan kementerian serta dinas-dinas terkait perlindungan sosial, pengembangan usaha kecil, dan yang menjaga ketertiban umum. Ujungnya, diharapkan diperoleh luasan pasti lahan yang bisa dijadikan ruang terbuka dan tempat usaha publik.
Jika ditata dengan baik dan perencanaan matang, siapa tahu gedung-gedung di sekitar ruang terbuka publik yang kini banyak kosong ditinggalkan penyewanya, kelak ikut terimbas dan kembali semarak dengan kegiatan-kegiatan baru. Karena, ketika ekonomi di tingkat terbawah berangsur normal, tentunya akan mendorong perputaran ekonomi di level lebih tinggi. Hal ini pastinya bakal turut mendukung program pemulihan ekonomi nasioal.
Jadi, sembari menikmati udara segar di luar ruang, tetap menjaga jarak dan memakai masker secara konsisten, tidak ada salahnya memanfaatkan setiap celah kesempatan sebagai bagian dari ikhtiar melepaskan diri dari suramnya cengkeraman wabah. Bukan tak mungkin. Syaratnya, kerja ekstra dan komitmen tinggi pada publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar