Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 10 November 2020

GERAKAN LITERASI: Supaya Siswa Kasmaran Berliterasi (RIDUAN SITUMORANG)


KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Anak-anak bermain dan membaca berbagai macam buku di Taman Baca Annelies di Desa Kasepuhan, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Rabu (21/10/2020). Taman baca tersebut menjadi bagian dari gerakan komunitas literasi di pesisir utara Jawa.

Setelah mengikuti Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi) III di Jakarta pada awal November ini, yang salah satu fokusnya adalah tentang pendidikan sastra di masa digital, rasanya menjadi penting berbagi pengalaman tentang bagaimana gairah belajar bahasa Indonesia di sekolah. Sebab, satu-satunya bidang studi yang dikombinasikan dengan sastra adalah pelajaran bahasa Indonesia. Saya sangat yakin, pengalaman yang akan saya bagikan ini tidak akan jauh berbeda dengan pengalaman guru bahasa Indonesia lainnya.

Nah, dalam pengamatan saya selama sepuluh tahun terakhir, baik sebagai tutor di bimbingan belajar (bimbel) maupun sebagai guru di sekolah, ada kejadian yang terkesan berseberangan. Di sekolah, misalnya, setiap jam mata pelajaran bahasa Indonesia tiba, semangat siswa akan jauh lebih terasa daripada ketika jam mata pelajaran eksakta.

Namun, menjadi beda halnya di bimbel: setiap jadwal mata pelajaran bahasa Indonesia tiba, siswa sama sekali tak tertarik. Pertanyaan pun muncul: mengapa di sekolah siswa lebih bersemangat belajar bahasa Indonesia, sementara di bimbel begitu dihindari?

Hipotesis saya mengerikan: di sekolah, pelajaran bahasa Indonesia hanya waktu istirahat setelah lelah menguras pikiran pada bidang studi lain. Pada titik seperti ini, belajar bahasa Indonesia rupanya tidak membutuhkan proses berpikir.

Senapas dengan itu, di bimbel, saat belajar bahasa Indonesia, siswa pun merasa belum perlu menguras pikiran sehingga lebih baik tabungan pikiran itu dihibahkan ke bidang studi lain. Maka, ketika mata pelajaran bahasa Indonesia tiba, siswa akan bermalas-malasan, jauh dari kata antusias.

Pada titik seperti ini, belajar bahasa Indonesia rupanya tidak membutuhkan proses berpikir.

Tantangan dan tanggung Jawab

Andai saja hipotesis saya ini benar, nyatalah bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia ada semata karena kita tinggal di Indonesia. Artinya, belajar bahasa Indonesia bagi siswa hanya formalitas belaka: keharusan, bukan kebutuhan. Siswa hanya terpaksa belajar bahasa Indonesia. Padahal, segala yang terpaksa tak pernah baik. Hasilnya akan buruk.

Hal ini, misalnya, dengan mudah bisa kita baca dari berbagai studi, salah satunya dari The World's Most Literate Nations 2016, di mana kita menempati urutan ke-60 dari 61 negara. Kita hanya unggul dari Botswana, negara kecil yang tertinggal di Afrika.

Apakah kita seburuk itu? Rasanya agak berlebihan memang. Namun, periksalah hasil studi PISA terhadap siswa-siswa kita. Di sana disebutkan bahwa perolehan di bidang literasi selalu lebih rendah: sebagian besar berada pada level <1 (level paling buruk). Bahkan, dari berbagai materi uji di PISA 2018, perolehan poin literasi kita selalu paling rendah (371) dibandingkan dengan matematika (379) dan sains (396). Poin ini bahkan jauh di bawah rerata 79 negara lainnya (487). Maka, jika UNESCO menyebut bahwa indeks membaca kita hanya 0,001, itu benar belaka adanya.

Nah, segenap kenyataan di atas tentu saja menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab guru, terutama guru bahasa Indonesia. Bagaimanapun tanggung jawab literasi siswa berada pada guru bahasa Indonesia. Lantas, bagaimana profil guru bahasa Indonesia kita saat ini?

Dengan sangat menyedihkan, kita harus mengakui bahwa profil guru bahasa Indonesia terkait literasi, terutama tentang kesusasteraan, masih sangat ironis. Bahkan, pemilihan instuktur sastra digital oleh Badan Bahasa tak lama ini tidak fokus pada sastra, tetapi pada konten video singkat sesingkat-singkatnya.

Berliterasi dan bersastra akhirnya layu sejak dari sekolah. Padahal, kita punya perumpamaan: guru kencing berdiri, siswa kencing berlari. Maka, sekali lagi, dengan sangat menyesal, saya harus mengatakan bahwa rendahnya kemampuan literasi siswa kita tak bisa dibantah lagi adalah sebagai bukti kuat dari rendahnya semangat literasi guru, terutama guru bahasa Indonesia.

Berliterasi dan bersastra akhirnya layu sejak dari sekolah.

Saya tidak mengada-ada. Dalam esainya yang terangkum di buku Guru Gokil Murid Unyu (Bentang, 2013), Johannes Sumardinata, misalnya, mengisahkan fakta yang sangat gawat: dari ribuan guru bahasa Indonesia, tak sampai 0,5 persen yang pernah membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer.

Mereka bahkan tidak mengenali buah pemikiran Ki Hadjar Dewantara, apalagi Paulo Freire. Senada dengan itu, menurut penelitian Anita Lie (Kompas, 5/3/2019), hampir separuh sampel guru bahasa Indonesia tak bisa menulis tiga paragraf esai. Bahkan, masih ada guru yang tak mengerti apa itu "paragraf".

Dengan logis tentu kita bisa mengkritik: jika profil gurunya saja masih jauh dari semangat berliterasi, konon lagi siswanya? Hal ini semakin diperparah lagi karena gerakan literasi di sekolah, di samping tanpa fokus, juga malah cenderung terkesan formalitas.

Betapa tidak, semua guru, misalnya, dibuat bertanggung jawab pada kegiatan literasi. Hal itu terlihat dari RPP di mana pada kegiatan pembelajaran (bahkan pada penilaian), ada kolom untuk literasi.

KOMPAS/KOMUNITAS LITERASI FOR EVERYONE PAPUA

Kegiatan literasi dari Komunitas Literasi For Everyone Papua bagi anak-anak di salah satu daerah pedalaman Kabupaten Keerom. 

Memang, gerakan literasi yang diharapkan dapat menumbuhkan budi pekerti sebagaimana termaktub dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 sangat terlihat mewah di sekolah. Belum pernah kita "semewah" ini. Namun, nyatanya itu semua sensasi belaka. Lomba majalah dinding, misalnya, dibuat sebatas menghias; perpustakaan diubah hanya soal penampakan; gerobak buku hanya pajangan; buku sama sekali tidak dibaca.

Harus diperbaharui

Walau begitu, tidak saatnya lagi untuk saling melemahkan. Bagaimanapun, kemampuan literasi siswa kita harus digenjot. Apalagi, dalam skema Asesmen Nasional, literasi termasuk menjadi hal pokok. Mau tak mau, siswa kita harus dibuat kasmaran belajar bahasa Indonesia.

Membuat siswa kasmaran belajar bahasa dan berliterasi tentu bergantung pada guru. Jika guru memberi teladan, tanpa kata-kata pun, ia akan membuat siswa kasmaran berliterasi. Sebaliknya, jika tanpa teladan, meski menggunakan berjuta kata, siswa tak akan kasbaran berliterasi. Karena itu, guru bahasa Indonesia harus lebih dulu antusias berliterasi.

Setelah tuntas dari guru, kita masuk ke materi pelajaran bahasa Indonesia. Sebab, disadari atau tidak, alasan mengapa siswa kurang antusias belajar bahasa juga adalah karena materi bahasa Indonesia lebih pada keilmuan daripada literasi. Siswa dibuat fokus mencari tanda baca, lalu lupa pada makna-makna yang terkandung dari bacaan.

Karena itu, guru bahasa Indonesia harus lebih dulu antusias berliterasi.

Saya sering bertanya kepada siswa tentang apakah mereka sudah paham cerita bacaan itu atau tidak. Betapa terkejutnya saya karena cenderung fokus mencari penulisan kata dan tanda baca.

Suatu ketika, siswa saya, yang pernah ikut pertukaran pelajar dan ditempatkan di Italia, mengaku bahwa bidang studi bahasa Italia menjadi salah satu materi pelajaran yang diikuti dengan sangat antusias oleh siswa-siswa di sana. Soalnya, dalam pengakuan siswa tersebut, siswa-siswa di sana dibuat aktif membicarakan sastrawan beserta karya-karyanya sebelum kemudian mendebatkannya satu sama lain.

Kita justru sebaliknya. Kita fokus pada penulisan kata dan tanda baca. Pada K-13, topik kesusasteraan pun dibuat sangat minim. Materi ini kiranya mesti diperbarui supaya berliterasi di sekolah kita makin berdenyut.

(Riduan Situmorang, Guru SMAN 1 Doloksanggul, Aktif  berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF), Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional)

Kompas, 6 November 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger