Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 02 November 2020

PILPRES AS: Lima Faktor Tidak Mendukung Kemenangan Trump (SIMON SARAGIH)


HANDINING

Simon Saragih, wartawan senior Kompas.

Presiden AS Donald Trump mungkin termasuk salah satu figur paling eksentrik sepanjang sejarah kepresidenan AS. Akan tetapi, eksentrik atau tidak pengaruhnya terhadap kemenangan atau kekalahan dalam pemilihan presiden tidak signifikan.

Ada lima faktor, yang relatif tidak berubah sepanjang waktu, di balik kemenangan seseorang dalam pemilihan presiden AS. Lima faktor itu turut mendukung kemenangan Trump pada 2016 sekaligus juga menjadi penyebab potensi kekalahan Trump pada pemilu 2020.

Hal itu dikatakan Profesor John Mark Hansen, salah seorang ilmuwan politik terkemuka di AS dari University of Chicago. Hansen berbicara pada seminar virtual dengan ikatan alumni universitas tersebut pada Agustus lalu.

Menurut Hansen, ada lima faktor fundamental di balik setiap kemenangan sekaligus kekalahan calon presiden AS, baik presiden petahana (incumbent) maupun capres wajah baru. Faktor tersebut adalah, pertama, unsur ada tidaknya petahana(incumbency). Kedua, tawaran atas isu-isu selama kampanye. Ketiga, kondisi perekonomian. Keempat, fanatisme pendukung partai secara elektoral. Kelima, kondisi dalam relasi internasional AS, apakah sedang berperang atau dalam keadaan damai.

Pada pemilu 2016, lima faktor itu secara serentak relatif mendukung Trump. Bersaing melawan petahana, secara tradisional selalu memberikan kesulitan bagi seorang capres AS baru. Empat tahun lalu, Trump bertarung melawan Hillary Clinton, yang bukan petahana. Hal ini menjadi kesempatan besar bagi Trump. Ini didukung tawaran ideologi yang diajukan Trump lewat moto "Make America Great Again".

AP/EVAN VUCCI

Para pendukung Trump berdiri di depan spanduk yang bertuliskan slogan MAGA (Make America Great Again) saat mengikuti kampanye terbuka di Bandara Internasional Orlando Sandford, Florida, AS, Senin (12/10/2020). Pada 2016, slogan ini memenangkan Trump.

Kala Trump maju pada 2016, kondisi ekonomi tidak buruk dan sudah terlepas dari resesi, tetapi tidak mencengangkan dalam persepsi warga. Ini menjadi kesempatan bagi Trump dengan janji akan mendatangkan investasi dan janji memerangi China lewat perdagangan. Empat tahun lalu, para pendukung Republikan juga bersemangat memilih Trump secara elektoral, julukan bagi pemilu berdasarkan suara secara proporsional sesuai wilayah.

Mirip referendum

Lalu bagaimana pada pemilu 2020? Hansen melihat lima faktor itu tidak sebagus kondisi pemilu 2016. Lima faktor itu menunjukkan jalan terjal bagi Trump pada pemilu 2020.

Trump memang petahana dan ini menguntungkannya. Hanya saja terkait status petahana ini, Trump tidak memiliki reputasi bagus dalam banyak hal. Tingkat persetujuan (approval) pada Trump tidak pernah di atas 50 persen hampir sepanjang empat tahun kepemimpinannya.

"Kekecualian terjadi pada pemilu 1948.  Presiden Harry Truman tidak memiliki popularitas tinggi, tetapi menang untuk jabatan periode kedua. Meski demikian, pada umumnya tidak ada presiden yang terpilih kembali jika popularitas di bawah 50 persen," kata Hansen.

Saat itu Truman yang menjabat untuk periode 1945-1953, dengan tingkat popularitas 36 persen, bisa menang. Ini karena Truman mendengar penasihatnya dan Truman memohon dari hati kepada rakyat serta mendukung hak-hak sipil. Truman gencar blusukan mengunjungi daerah- daerah dan berhasil menarik simpati.

AP PHOTO/ ROSS D FRANKLIN

Presiden Amerika Serikat petahana Donald Trump berbicara di hadapan massa pendukungnya dalam kampanye Pemilihan Presiden 2020 di Bandara Internasional Tucson, Senin (19/10/2020), di Tucson, Arizona.

Hansen mengatakan, tingkat persetujuan terhadap seorang presiden merupakan referendum terhadap seorang presiden petahana. Terkait ini, Trump dianggap tidak punya etika, memecah belah dan bernuansa rasis, serta tidak menaruh respek pada pesaing. Tentang isu ini, tidak hanya warga AS yang prihatin, tetapi juga negara-negara sahabat AS.

Andreas Nick, anggota Komite Urusan Luar Negeri Bundestag (parlemen Jerman), misalnya, melihat keburukan Trump dari sisi debat pada 30 September lalu. "Memalukan dari sisi kesopanan, tidak menunjukkan kehormatan kepresidenan dan merusak proses demokrasi, serta tidak saja mengganggu perasaan warga pemilih AS, tetapi juga kawan AS secara global," kata Nick seperti dituliskan di laman Deutsche Welle, 30 September.

Faktor ekonomi melemahkan

Dalam pemilu 2020 ini, keadaan ekonomi di AS menjadi sisi buruk bagi Trump. Ada kemandekan ekonomi walau memang itu akibat pandemi Covid-19. Presiden mana pun tidak akan bisa mengatasi pemburukan ekonomi karena Covid-19, kata Hansen, tetapi tetap memberi gambaran buruk pada Trump. Hansen melihat unsur ekonomi ini, seperti pengalaman dalam sejarah pemilu AS, merupakan pukulan besar bagi Trump.

Tentang fanatisme pendukung Trump, dalam hal ini Republikan, Hansen mengatakan tidak ada perubahan secara signifikan. Fanatisme pendukung utama Trump relatif tidak berubah. Dia kuat di basis Republikan. Akan tetapi, Hansen juga melihat potensi pergeseran basis pendukung.

Meski secara keseluruhan fanatisme partai Republikan dan Demokrat bertahan, ada sebagian kecil pemilih yang disebut bisa berubah. Perubahan dari kelompok kecil ini bisa mengubah pilihan mereka. Pada pemilu 2020 ini ada gejala "pemberontakan" Republikan pada Trump.

AFP/ ANGELA WEISS

Calon presiden dari Partai Demokrat dan mantan wakil Presiden AS, Joe Biden, melambai kepada para pendukung sebelum berbicara dalam kampanye drive-in di Dallas High School, di Dallas, Pennsylvania, Sabtu (24/10/2020).

Kesimpulan Hansen, Trump menang pada 2016 adalah karena lima faktor fundamental itu, bukan karena Hillary Clinton yang buruk. Dalam pemilu 2020, "Jalan menuju kemenangan Trump berat. Ini bukan karena Joe Biden dan juga bukan karena pandemi, tetapi karena lima faktor itu."

Hansen menambahkan, meski Trump menang, misalnya, paling hal itu akan terjadi melalui suara elektoral. "Namun, yang jelas, Trump tidak akan mungkin menang berdasarkan popularitas," kata Hansen. Ini juga sebenarnya yang terjadi empat tahun lalu.

Sebuah analisis menarik. Akan tetapi, kebenaran analisis Hansen ini tetap ditentukan pada pemilu 3 November 2020. Sebab, dalam sejarah pemilu AS, ada saja potensi bias atau sebuah kejadian yang tak diperhitungkan dan mengagetkan. Seperti ketika Trump mengalahkan Hillary.


Kompas, 27 Oktober 2020



Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger