Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 02 November 2020

CATATAN IPTEK: Hidup Bersama Merapi (AHMAD ARIF)


DRAWING/ILHAM KHOIRI

Ahmad Arif, wartawan Kompas

Satu dekade berlalu sejak Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah-Yogyakarta meletus hebat pada 26 Oktober, diikuti letusan pada 3 dan 5 November 2010. Rangkaian letusan itu menyebabkan 61.154 orang mengungsi, 368 orang terluka, dan 353 orang meninggal dunia, termasuk  juru kunci Merapi Mbah Maridjan.

Kehancuran terutama disebabkan oleh awan panas atau kerap disebut "wedus gembel" yang meluncur hingga 15 kilometer melalui Kali Gendol.  Total material yang dimuntahkan pada 2010 itu 150 juta meter kubik.

Kini, sekalipun beberapa kali erupsi, skalanya relatif kecil. Merapi seperti memberi jeda untuk bersiap menghadapi siklus letusan besar yang pasti akan terjadi lagi entah kapan. Stratigrafi 10.000 tahun Merapi oleh geolog CG Newhall (2000) menunjukkan, gunung ini punya riwayat letusan besar berulang.

Sebelum 2010, letusan besar Merapi terjadi pada 15-20 April 1872. Letusan itu menghancurkan permukiman pada ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). "Suara letusan seperti meriam terdengar sampai Karawang dan Priangan di barat, serta ke timur hingga Madura dan Pulau Bawean," tulis Hartmann (1934, dalam B Voight dan kawan-kawan, 2000).

Setelah 1872, Merapi rata-rata meletus setiap 3-5 tahun. Catatan Voight (2010), sejak 1800, Merapi telah meletus 130.000 kali. Sekalipun menelan banyak korban jiwa, kepadatan penduduk di zona bahaya terus bertambah.

Hingga kini, puluhan ribu orang tinggal di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III dan II Merapi. Di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, saja, menurut data pemerintah setempat, setidaknya 11.552 orang tinggal di zona KRB III dan 7.237 di zona KRB II.

Berulang kali pemerintah berusaha memindahkan warga, tetapi menuai kegagalan. Itu karena, bagi warga yang hidup di lerengnya, Merapi bukan hanya ancaman bahaya, melainkan juga berkah yang menghidupi.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Gunung Merapi terlihat dari Kecamatan Sawangan, Magelang, Jawa Tengah, Senin (26/10/2020). Tepat 10 tahun lalu, yakni pada 26 Oktober 2020, Gunung Merapi meletus dan menimbulkan sejumlah korban jiwa. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menyatakan, aktivitas vulkanik Gunung Merapi saat ini semakin intensif dengan ditandai oleh tingginya aktivitas kegempaan di gunung itu. Gunung Merapi masih berstatus Waspada sejak  21 Mei 2018.

Sutikno, dalam Kerajaan Merapi: Sumberdaya Alam dan Daya Dukungnya (2007) menyebutkan, sumber daya ekonomi dari Merapi di empat kabupaten di Yogyakarta mencapai Rp 33,04 triliun per tahun. Merapi menjadi penggerak tujuh sektor perekonomian andalan, yaitu pertanian (Rp 2,15 triliun), perkebunan (Rp 24,98 triliun), peternakan (Rp 1,35 triliun), perikanan (Rp 4,53 triliun), kehutanan (Rp 6,82 miliar), pertambangan (Rp 396 juta), dan pariwisata (Rp 1,8 miliar).

Selain menjadi daerah tangkapan air, lereng gunung ini juga sangat subur karena rutin mendapatkan abu letusan. Tak hanya itu, rerumputan tumbuh sepanjang tahun, menjadikan Boyolali (Jawa Tengah) dan Cangkringan (Sleman) sebagai "gudang emas putih" karena produksi susu sapi perahnya.

Ketergantungan hidup-mati ini juga melahirkan relasi yang lebih dalam. Chris Newhall (2000) menyebut, Merapi telah menjadi bagian dalam kosmologi Jawa. "Kekuatan spiritual Merapi dan sejumlah gunung api lain dimasukkan ke doa sehari-hari masyarakat Jawa lama," sebutnya.

Secepat kehancurannya, selekas itu pula kehidupan kembali tumbuh di Merapi. Jejak pelapisan kebudayaan di Merapi itu bisa dilihat dari banyaknya tinggalan arkeologis di lerengnya. Menurut peta lama Belanda, setidaknya 23 candi di lereng barat Merapi saja.

Pemindahan warga

Belajar dari sejarah, upaya memindahkan paksa penduduk Merapi kerap kali menuai kegagalan. Misalnya, setelah letusan 1961 yang menewaskan lima orang, pemerintah menetapkan Dukuh Gimbal di Desa Kaliurang sebagai daerah terlarang untuk dihuni.

Sejumlah 228 keluarga dipaksa pindah ke Way Jepara, Lampung Tengah, pada 1962. Namun, menurut kajian Masri Singarimbun (1980), hanya dalam tiga minggu, 29 orang asal Dukuh Gimbal tersebut meninggal karena malaria. Ini membuat 34 keluarga memilih kembali ke Merapi dan membangun dukuh baru bernama Sumberejo di tepi Sungai Bebeng.

Warga belajar bencana bisa terjadi di mana saja. Di sisi lain, interaksi panjang Merapi dan warganya telah melahirkan sikap hidup yang liat dan berdaya tahan. Itulah daya hidup yang membuat warga lereng Merapi cepat memulihkan diri pascaerupsi 2010.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Penambang mencari pasir sisa erupsi Gunung Merapi di dekat lokasi ritual Bakti Alam di kawasan hulu Sungai Pabelan, Dusun Windusabrang, Desa Wonolelo, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (1/10/2020). Ritual wujud syukur itu dilakukan di lokasi penemuan candi yang diduga merupakan bangunan petirtaan masa lampau. Ritual ini juga sebagai ajakan agar masyarakat setempat turut menjaga kelestarian candi yang ditemukan sekitar satu bulan lalu oleh penambang tersebut.

Lagi pula, mereka yang tinggal di zona bahaya ini juga tidak menutup mata terhadap ancaman Merapi. Misalnya, warga Dusun Deles, Desa Sidorejo, Klaten, yang berada di zona KRB III secara mandiri membangun Radio Suara Merapi. Radio komunitas ini menjadi media komunikasi dan edukasi yang mengingatkan sesama warga untuk mengantisipasi letusan Merapi.

Bahkan, penduduk beberapa dusun di Desa Galagahharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, yang juga di zona bahaya, membeli tanah-tanah di zona aman dengan menggunakan dana dari penambangan pasir. Jika terjadi letusan, mereka telah memiliki ruang aman.

Dengan konteks sosial ini, yang bisa dilakukan saat ini adalah memperkuat mitigasi dengan meningkatkan kapasitas pemantauan dan sistem informasi di daerah rentan, selain juga membangun jalur dan manajemen evakuasi yang baik, termasuk rutin berlatih.

Berbeda dengan gempa bumi yang datang tiba-tiba, erupsi gunung api biasanya didahului dengan prekursor atau tanda-tanda awal. Dengan memperbaiki sistem informasi dan kesiapsiagaan, Merapi bisa jadi contoh bagaimana warga hidup bersama bencana.

Kompas, 28 Oktober 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger