Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 22 November 2020

REFLEKSI BUDAYA: Mengais Serpihan Kehidupan Selaras (ARGO TWIKROMO)


KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Kedua belas mata air didoakan oleh Kyai Pemangku dalam Upacara Adat Ngayu-Ayu yang diselenggarakan Lembaga Adat Gumi Sembahulun, Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (18/7/2019)

Kehidupan bersama dalam koridor keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan telah menjadi warna khas kehidupan yang tersebar di sejumlah wilayah Nusantara selama berabad-abad silam. Perjalanan panjang bangsa ini telah memberikan ruang terhadap hadirnya berbagai perjumpaan, pergumulan, bahkan silang budaya. Namun, tetap menyisakan nuansa ataupun serpihan keselarasan dalam pengelolaan kehidupan masyarakat di sejumlah wilayah.

Pengelolaan kehidupan dengan mengutamakan relasi selaras manusia dengan sesama, dengan alam, dengan Sang Pencipta, dan bahkan antara ketiganya telah membentuk tata kelola kehidupan bagi kelangsungan hidup bersama secara khas. Bahkan mengandung kepedulian terhadap kehidupan yang berorientasi jauh ke depan dan jangka panjang.

Logika pikir para pendahulu atau leluhur bangsa ini sering kali dibingkai oleh generasi sekarang sebagai logika pikir sederhana, kuno, tradisional, dan bahkan juga irasional. Padahal, para pendahulu ataupun nenek moyang bangsa ini dapat mewariskan atau memberikan tongkat estafet kebijaksanaan tata kelola kehidupan antargenerasi. Generasi saat ini masih tetap diwarisi ruang dan sarana kehidupan yang layak, lestari, dan indah bagi kehidupan bangsa ini.

KOMPAS/MELATI MEWANGI

Pemangku adat melakukan ritual memerciki tanaman padi siap panen dengan air dan beras dalam upacara adat Nyalin (ngala indung pare) di Desa Dukuhkarya, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Minggu (13/10/2019). Air yang telah didoakan diyakini membawa kesuburan bagi tanaman padi.

Perlu dipahami bahwa warisan tata kelola kehidupan dengan koridor keharmonisan telah memberikan ketersediaan sumber alam yang melimpah bagi kehidupan. Kenyataan ini tidak bisa dielakkan, terutama sebelum nilai kehidupan modern ataupun global relatif menjadi koridor utama tata kelola kehidupan dewasa ini. Ruang eksploitasi menjadi terbuka lebar dan kompetisi atau persaingan mensyaratkan gerak cepat dan instan untuk meraihnya.

Pergumulan tiada ujung

Koridor keselarasan dan keharmonisan telah memberikan daya lentur nan tangguh dalam pengelolaan kehidupan bersama bangsa ini. Berbagai perjumpaan dan pergumulan dengan berbagai nilai kehidupan yang berbeda tetap dapat terkelola secara padu serasi. Koridor keselarasan relasi manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta secara holistik relatif diutamakan dalam ambang batas penerimaan dan penolakan nilai-nilai dan kebijaksanaan bagi kehidupan bersama.

Nenek moyang atau leluhur bangsa ini tentunya mengalami pergumulan yang hebat dalam pengelolaan kehidupan bersama secara harmonis seiring dengan berbagai perjumpaan dengan kehidupan sosial-budaya yang berbeda. Kokohnya landasan kehidupan bersama secara harmonis memberikan ruang perjumpaan dengan berbagai kehidupan yang berbeda tetap berada dalam koridor keselarasan dan keharmonisan. Kebijaksanaan dan nilai-nilai kehidupan bersama relatif akan terus terjaga keberadaannya sebagai warna khas kehidupan leluhur bangsa ini.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Warga kampung adat Bena bergotong-royong memasang atap rumah suku Kopa di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu'u, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Senin (5/8/2019). Upacara pasang atap rumah dalam bahasa setempat disebut Wae Sao. Upacara diawali dengan tarian Ja'i oleh tuan rumah dan dilanjutkan dengan pemasangan atap. Upacara tersebut diwarnai dengan makan bersama oleh seluruh warga kampung adat. Kompas/Priyombodo (PRI)05-08-2019

Sinkronisasi dan transformasi pengelolaan kehidupan bersama terus menjadi ruang pergumulan sesuai dengan perkembangan zaman, namun tetap dalam koridor utama keharmonisan. Berbagai penyelenggaraan peristiwa sosial-budaya dalam kehidupan relatif terkelola dengan pengutamaan landasan keselarasan, keseimbangan, dan keharmonisan yang terkandung di dalamnya. Tanpa disadari, tatanan kehidupan semacam ini juga menghasilkan orientasi kehidupan jangka panjang dan jangkauan kehidupan jauh ke depan.

Ketika logika berpikir leluhur bangsa ini dibingkai dalam terminologi sederhana, kuno, tradisional, irasional, dan termasuk berbagai terminologi turunannya, proses internalisasi kehidupan selaras dan harmonis sering kali relatif kurang tersentuh pemahamannya menurut kacamata logika pikir saat ini. Dengan demikian, logika pikir leluhur tersebut hanya terbingkai dalam mitos atau narasi irasional semata.

Berbagai kebijaksanaan, cara pengelolaan, dan pandangan yang terkandung dalam tata kelola kehidupan selaras menjadi relatif terabaikan. Dalam konteks ini, logika pikir leluhur kurang mampu dipahami dengan logika berpikir yang sering kali hanya mengedepankan kebenaran tunggal dan rasionalitasnya sendiri dalam logika pikir yang relatif dominan saat ini.

Warga Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik memberi ucapan Selamat Hari Raya Waisak kepada para pemeluk agama Buddha, Minggu (19/5/2019). Acara itu berlangsung haru karena juga menjadi ajang saling bermaaf-maafan.

Dalam konteks ini, kehidupan harmonis masa lalu menjadi kehilangan keterhubungannya dengan logika berpikir saat ini. Kehidupan masa lalu nenek moyang bangsa ini relatif dipertentangkan dengan kehidupan modern atau global melalui berbagai dikotomi yang relatif memutus rantai keberlanjutan kehidupan bersama yang lebih mengutamakan relasi selaras manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta.

Pada gilirannya, para pelaku kehidupan bangsa ini menggeser kebanggaan, orientasi, dan logika pikirnya pada kehidupan modern atau global sebagai langkah kehidupan yang dianggap lebih rasional dan maju. Tata kelola kehidupan bersama secara selaras dan harmonis relatif tersisa dalam bungkus terminologi kearifan lokal semata. Keterkaitan dan rajutan komponen-komponen yang saling mendukung dan menopang dalam menghasilkan keselarasan kehidupan bersama dan berorientasi jangka panjang relatif menjadi kurang terpahami.

Mengais keharmonisan kehidupan

Pemahaman tentang kehidupan bersama secara harmonis tentunya membutuhkan proses internalisasi dan sinkronisasi antar-elemen kehidupan dan antarwaktu. Dalam konteks kehidupan bersama, keselarasan dan keharmonisan hubungan manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta perlu ditopang atau didukung oleh berbagai komponen dan ekosistem kehidupan yang saling terajut sebagai satu kesatuan secara relatif teratur.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Warga membawa beras dan hasil bumi saat puncak perayaan Seren Taun 1950 Saka Sunda di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Kamis (14/9/2017). Seren Taun di Cigugur ini disambut meriah baik oleh masyarakat Sunda Wiwitan maupun masyarakat umum yang berbaur menyatu dengan sukacita dalam perbedaan.

Logika pikir nenek moyang bangsa ini yang terbingkai dalam logika sederhana, kuno, tradisional, dan irasional ternyata mempunyai orientasi pengelolaan kehidupan jauh ke depan. Seolah-olah membuka ruang bagi para pelaku kehidupan di masa sekarang ini untuk menyelaraskan berbagai logika pikir yang kurang ramah dengan logika pikir dalam tata kelola keharmonisan kehidupan bersama yang telah diwariskan oleh leluhur bangsa ini.

Berbagai komponen dan ekosistem kehidupan yang membentuk tatanan kehidupan harmonis beserta turunannya relatif tercerabut dari akarnya karena tertaklukkan oleh dominasi keberadaan logika pikir yang bersumber dari belahan bumi lain tanpa melihat konteks kehidupan bangsa ini secara holistik.

Keselarasan kehidupan bersama tidak berdiri sendiri, tetapi perlu saling ditopang oleh komponen lain. Keberadaan penghormatan terhadap leluhur merupakan salah satu komponen yang ikut menopang terciptanya keharmonisan kehidupan bersama ketika terajut dengan komponen kehidupan yang lain.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Siluet Candi Borobudur dari kawasan Punthuk Setumbu, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (12/11/2020). Kawasan Punthuk Setumbu menjadi kawasan yang kian tumbuh di wilayah sekeliling Candi Borobudur. Borobudur berdiri kokoh melintasi zaman dalam harmoni.

Ketika penghormatan terhadap leluhur relatif kurang mempunyai nilai atau kebijaksanaan menurut logika pikir dominan saat ini, bukan hanya relasi dengan leluhur saja yang terputus, melainkan juga kebijaksanaan leluhur yang terkandung dalam pengelolaan kehidupan bersama secara harmonis juga menjadi kurang terhayati atau terabaikan. Kondisi semacam ini juga terjadi pada komponen kehidupan lain sebagai penopang utama terbentuknya kehidupan bersama secara selaras dan harmonis.

(Argo Twikromo, Anggota Dewan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta Periode 2020-2022)

Kompas, 21 November 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger