Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 22 November 2020

CATATA URBAN: Hunian Vertikal atau Rumah Tapak, Mana Lebih Baik? (NELI TRIANA)


KOMPAS/J GALUH BIMANTARA

Rumah susun sederhana sewa Sukapura di Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (14/8/2018).

Para ahli menyatakan daya tarik kota tidak akan berkurang karena pandemi. Perkotaan akan terus tumbuh dan makin padat penghuni di masa depan. Prediksi para ahli itu, antara lain, terungkap dalam konferensi akbar Daring Cities 2020 yang dimotori International Council of Local Environmental Initiatives (ICLEI) dan Kota Federal Bonn, Jerman, pada 7-28 Oktober 2020 dan di Bloomberg New Economy Forum yang diikuti 2020 City Summit oleh National League of Cities pada 16-19 November ini.

Daring Cities mengumpulkan para pemimpin kota secara virtual bersama para ahli untuk memunculkan ide-ide serta praktik-praktik terbaik di dunia yang bisa diduplikasi di tempat lain dalam menangani keadaan darurat iklim di masa Covid-19. Hunian sehat dan inklusif termasuk agenda yang dibicarakan di sana.

Menyusul kemudian di Bloomberg New Economy Forum 2020, pembicara seperti Wali Kota Dublin, Irlandia, Hazel Chu, dan ekonom Universitas Harvard Edward Glaeser. Keduanya meyakini bahwa kepadatan yang kompak tetap sebagai instrumen pemulihan kota—dengan penekanan pada peningkatan sistem angkutan umum—membuat bangunan hunian maupun nonhunian yang lebih sehat. Mereka juga mendorong konsep "kota 15 menit" atau warga bisa mengakses banyak lokasi tujuan di dalam kota hanya dalam waktu 15 menit dengan bersepeda, berjalan kaki, dan menggunakan angkutan massal.

Kepadatan di perkotaan, asalkan tertata baik, diyakini akan terus mendorong pertumbuhan dan menyelamatkan ekonomi yang morat-marit akibat pandemi.

Secara tersirat muncul pemahaman bagi yang tidak mampu mengakses lahan perkotaan yang mahal, lebih baik hengkang menyingkir ke pinggiran atau ke kawasan lain yang jauh dari nukleus metropolitan tempat mereka bekerja.

Nurhayati (63), beserta seorang anak dan tiga orang cucu, berumah di selasar Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Waduk Pluit, Muara Baru, Blok B, lantai lima, sejak dua hari terakhir. Hal itu disebabkan sejak menetap di unit rusunawa akhir 2013 lalu, janda enam anak itu belum memiliki Surat Perjanjian Sewa. Padahal, segala syarat dan kelengkapan telah dia penuhi sejak 2014.

Muncul pertanyaan. Khusus untuk hunian, bangunan seperti apakah yang tepat dikembangkan di kota-kota padat itu?

Di Indonesia, jika melihat area metropolitan Jakarta yang telah menyatu dengan kawasan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, bahkan kini telah menyentuh sampai ke Cianjur, Legok, hingga Karawang, proyek perumahan tapak maupun rumah susun sama-sama tumbuh menjamur. Rumah susun atau apartemen dipastikan ada di semua area urban Jabodetabek plus.

Mencari apartemen lebih murah pada kisaran Rp 300 juta atau di bawah itu masih ditemukan di Serpong, Depok, hingga Bogor dan Bekasi. Pengembang juga masih menawarkan kompleks rumah tapak dengan harga miring pada kisaran Rp 100 juta per unit, antara lain di kawasan Legok, Banten.

Para pengembang apartemen maupun rumah tapak rata-rata masih melihat Jakarta sebagai tempat tujuan sehari-hari calon konsumennya dalam bekerja. Mereka menawarkan kemudahan akses menuju jalan tol yang diikuti akses menuju stasiun kereta api terdekat, yang sama-sama bisa membawa warga ke Jakarta dalam rentang waktu 30 menit hingga 2 jam.

Inilah dampak urban sprawl atau rebakan kota yang tidak terkontrol akibat pembangunan yang tidak seimbang selama puluhan tahun. Pusat-pusat ekonomi terus digenjot di kota-kota inti dan terlambat membagi rata peran dengan kawasan sekitarnya.

Ketika lahan di pusat ekonomi melonjak makin tidak terjangkau, para pencari rejeki di metropolitan menyebar ke segala arah, mencari tanah murah untuk ditinggali. Dan, semakin lama semakin jauh dari pusat kota.

KOMPAS/NELI TRIANA

Perumahan di Tenjo, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, seperti difoto pada pertengahan Agustus 2020 lalu.

Konsep rumah terjangkau

Seiring perkembangan kawasan urban itu, ada desakan untuk mewujudkan rumah yang terjangkau, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR. Akan tetapi, konsep rumah terjangkau sering disalahpahami. Perumahan terjangkau selalu diartikan proyek rumah murah, sempit, dan secara umum dapat disewa atau dicicil kepemilikannya dalam waktu lama. MBR akan mendapat dengan subsidi dari pemerintah berupa keringanan uang muka, bunga pinjaman, hingga kelonggaran berlebih masa waktu kredit.

Dengan alasan mahalnya harga lahan di perkotaan, secara tersirat, muncul pemahaman, bagi yang tidak mampu mengakses lebih baik hengkang menyingkir ke pinggiran atau ke kawasan lain yang jauh dari nukleus metropolitan tempat mereka bekerja. Faktanya, kelas MBR tidak serta merta tertolong dengan berbagai subsidi yang diberikan pemerintah.

Dengan subsidi tersebut, sebagian MBR tetap harus mengalokasikan 30 persen pendapatannya, bahkan lebih, untuk mencicil tanggungan tempat tinggalnya setiap bulan. Jarak rumah yang jauh dari tempat kerja, juga membuat biaya hidup kian membengkak. Pilihan untuk menghuni kawasan ilegal, kumuh dan padat, asalkan tetap di pusat kota, akhirnya selalu muncul dan jamak diambil sebagian warga MBR perkotaan.

Dengan konsep dan pelaksanaan yang jauh dari sempurna, kebijakan rumah terjangkau sampai sekarang belum bisa memenuhi kebutuhan rumah murah. Laporan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), angka backlog kepemilikan rumah pada 2015 mencapai 11,4 juta rumah. Angka tersebut menjelaskan bahwa ada 11,4 juta rumah tangga di Indonesia, baik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun yang non-MBR, menghuni rumah bukan milik sendiri. Hasil konversi atas data itu menunjukkan, provinsi dengan persentase kepemilikan rumah terendah (di bawah 70 persen) adalah DKI Jakarta (51,09 persen) dan Kepulauan Riau (67,67 persen).

Pada masa pandemi ini, berdasar data Kementerian Ketenagakerjaan, tenaga kerja sektor formal yang dirumahkan dan terkena PHK sekitar 3,1 juta orang, sedangkan jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2020 menjadi 9,77 juta orang atau naik 7,07 persen dari periode sama tahun lalu. Diperkirakan, orang-orang yang tidak bisa mengakses rumah layak terjangkau pun kian banyak.

Warga Kampung Pulo, Jatinegara, Kampung Melayu, Jakarta Timur, dibantu satuan polisi pamong praja, memindahkan barang-barang ke rumah baru mereka di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Jatinegara Barat, Minggu (23/8/2015).

Rebakan kota ke rebakan vertikal

Melihat kondisi saat ini, dorongan agar hunian yang benar-benar terjangkau bisa disediakan di dalam kota atau dekat tempat kerja menguat. Secara umum, dalam beberapa tahun terakhir sebelum pandemi telah ada program revitalisasi kampung eksisting dan penyediaan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dan rumah susun sederhana milik (rusunami). Namun, program itu juga belum menjawab sepenuhnya kebuntuan warga kota akan hunian terjangkau.

Revitalisasi kampung masih sedikit yang berjalan. Itupun diwarnai kontroversi, terutama terkait status lahan negara yang dipakai. Di masa selanjutnya, apakah model serupa akan bisa diterapkan di semua kampung eksisting di Jakarta? Belum ada jaminan pasti.

Pada saat bersamaan, proyek rusun tak luput menuai masalah. Ada gegar budaya yang dialami warga yang biasa tinggal di rumah tapak saat harus menghuni rusun dengan belasan hingga puluhan lantai. Ada yang berhasil beradaptasi dan meningkatkan kualitas hidupnya. Namun, banyak pula yang gagal.

Nyaris, setiap tahun dalam lima tahun terakhir ada laporan tunggakan sewa penghuni rusun yang mayoritas adalah warga yang dipindahkan dari kawasan yang lahannya tidak diperuntukkan sebagai hunian atau menjadi lokasi proyek pemerintah.

Ada juga penyewa mengembalikan unit rusunnya kepada pengelola, karena tidak sanggup bertahan akibat tidak lagi bisa mengakses pekerjaan. Itu karena lokasi rusun jauh dari tempat kerja atau tidak ada fasilitas pendukung seperti tempat menyimpan gerobak dagangan atau ijin buka warung di rusun. Mereka juga tak terbiasa membayar sewa bulanan ditambah biaya air bersih, listrik, dan kebersihan maupun perawatan lain yang ditagih rutin.

NIKOLAUS HARBOWO

Salah satu unit di Gedung Cenderawasih lantai 5, Rumah Susun Sederhana Sewa Rawa Bebek, Cakung, Jakarta Timur, telah disegel oleh pihak Unit Pelayanan Rumah Susun, Rabu (1/8). Segel itu merupakan peringatan dari pihak UPRS agar penghuni unit segera menyelesaikan syarat administrasi.

Persoalan yang sama tidak hanya terjadi di Jakarta. Dalam artikel di The Age ada ulasan tentang para ahli tata kota dan arsitek di Australia yang mengkritik euforia pembangunan gedung tinggi di sana, termasuk untuk hunian. Hunian di menara bertingkat tinggi berarti lebih banyak orang terlepas dari kehidupan jalanan.

Beberapa ahli yang dikutip dalam artikel itu menyebut tinggal di gedung jangkung membuat interaksi orang dengan orang lain serta dengan fasilitas publik terganjal. Bangunan menjulang ini juga lebih banyak diserbu kalangan menengah atas sebagai tropi alias bagian dari harta mereka.

Unit-unit hunian bagi kelas berpunya akan dilengkapi fasilitas memadai yang berarti menjamin kenyamanan penghuni. Sementara hunian vertikal bagi kelas menengah ke bawah, apalagi yang miskin, rata-rata berukuran mungil dan fasilitasnya standar atau kadang di bawah standar.

Gedung tinggi yang dibangun tidak dengan biaya murah membutuhkan perawatan terus-menerus rutin harian atau periodik mingguan sampai setiap tahun agar bisa bertahan digunakan, setidaknya dalam 30-50 tahun.

Dalam panduan Penyelenggaraan Rumah Susun dan Rumah Khusus dari Badan Kementerian PUPR tahun 2018 diketahui bahwa biaya pembangunan bangunan bertingkat terus naik untuk tiap lantainya. Untuk bangunan dua lantai, faktor pengali biayanya 1,090 dari standar harga gedung bertingkat. Untuk delapan lantai, faktor pengalinya 1,265. Kenaikan faktor pengali tergantung berapa banyak lantai bangunan yang akan dicapai.

Biaya itu masih harus ditambah biaya nonstandar, seperti penyiapan lahan, asuransi, perencanaan bangunan, penyambungan fasilitas air, listrik, internet, dan lainnya, serta banyak lagi. Total biaya nonstandar mencapai 150 persen dari biaya standar. Untuk itu, harga per unit ruang tinggal dengan ukuran tertentu di bangunan tinggi menjadi lebih mahal dibanding rumah tapak ukuran yang sama.

Masih dari The Age, diketahui pula rerata gedung tinggi yang ada dan sedang dibangun saat ini tidak tepat disebut menghemat ruang, apalagi hijau dan berkelanjutan. Sebagian besar ruang di semua lapisan lantai terserap untuk menjadi bagian dari kerangka bangunan, menjadi ruang bagi berbagai utilitas, dan ruang layanan seperti untuk lift, elevator, serta tangga darurat. Semua perawatan fasilitas di semua ruang non-hunian menjadi beban penghuni.

Tak cukup berhenti di sana. Saat sudah beroperasi, ada biaya servis, iuran pemeliharaan lingkungan (IPL), pemeliharaan saluran pembuangan dapur dan sampah, serta biaya listrik, air, parkir. Untuk kelas apartemen sederhana atau kelas menengah, biaya tambahan rutin ini minimal Rp 500.000-Rp 1 juta per bulan.

Untuk rusunawa, dengan adanya subsidi air bersih dan listrik pun, tagihan bisa tetap menjadi beban bagi para penghuni yang berasal dari masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan sewa rusunawa sekitar Rp 200.000-Rp 450.000 per bulan, biaya rutin servis bulanan bisa sama besar, bahkan lebih. Tidak heran jika kemudian banyak penyewa menunggak dan sebagian terpaksa keluar dari rusunawa.

Kasus rusunawa ataupun apartemen kelas menengah ke bawah yang tidak terawat baik dan menjadi kumuh juga bukan persoalan anyar. Di banyak kota lain di dunia, hal serupa terjadi. Di Amerika Serikat muncul istilah vertical sprawl alias rebakan vertikal yang mengacu pada apartemen-apartemen kumuh yang dihuni secara berlebihan dengan fasilitas umum minim.

Kesetaraan dalam satu gedung

Salah satu kiblat dunia, khususnya untuk penyediaan perumahan terjangkau bagi warganya adalah Singapura. The Conversation  menuliskan, sekitar empat dari lima orang Singapura tinggal di perumahan publik dan hampir semuanya bertingkat tinggi yang dimiliki serta dikelola pemerintah. Apartemen-apartemen yang lebih tua direnovasi secara teratur dan sebagian besar dekat pasar makanan lokal, taman, dan ruang olahraga. Beberapa bahkan memiliki taman langit dan jalur lari di puncak gedung.

Semua faktor ini dapat membantu menciptakan lingkungan yang tidak menimbulkan stres. Terlebih di Singapura, yakni di rumah susun dihuni aneka latar belakang etnis dengan pendapatan berbeda-beda pula. Pengelolaan yangh tepat akan membantu menghindari segregasi sosial yang cenderung terjadi di perkotaan.

Namun, Singapura tidak dalam sekejap mata mewujudkan hunian layak bagi lebih dari 90 persen dari sekitar 5,8 juta warganya. Negara kota seluas 725,7 kilometer persegi atau sekitar 100 kilometer persegi lebih luas dari Jakarta ini, dalam lima dekade terakhir terus membenahi kawasannya, termasuk menata hunian warga. Bangunan pencakar langit yang terdiri atas puluhan lantai dipilih sebagai hunian karena keterbatasan lahan di sana. Sisa lahan lain untuk memberi ruang bagi berbagai proyek pemutar roda ekonomi negara itu yang banyak bertumpu di bidang jasa, perdagangan, dan pariwisata.

Negara seperti Indonesia amat bisa mempelajari apa yang telah dilakukan Singapura. Rentang masa 50 tahun evolusi Singapura bisa dipersingkat untuk diwujudkan di sini, asalkan ada kemauan dan kesungguhan. Di Jakarta dan sekitarnya misalnya, dengan cadangan lahan yang jauh berlebih dibanding Singapura, masih amat dimungkinkan memelihara hunian horizontal yang eksisting.

AP PHOTO

Jembatan lintas negara Johor-Singapore Causeway tampak lengang, Rabu (18/3/2020). Gedung-gedung tinggi di Singapura sebagian di antaranya adalah perumahan publik milik pemerintah yang diperuntukkan bagi warga.

Kembali ke alternatif bentuk fisik hunian terjangkau, untuk kawasan yang memerlukan pembenahan, semisal kampung yang mengokupasi lahan obyek vital negara, menempati bantaran serta badan sungai, maka dapat diupayakan menggeser hunian dan menjadikannya bangunan bertingkat rendah sekitar 4-5 lantai yang tidak membutuhkan elevator ataupun lift.

Dalam beberapa kali berbincang dengan desainer urban kawakan Indonesia, Andi Siswanto, misalnya, ia menawarkan, jika diperlukan, bangunan bertingkat bagi masyarakat berpenghasilan rendah dapat dilengkapi lift yang ditempelkan di dinding luar gedung. Dinding keliling lift berupa teralis beratap sehingga tidak perlu pakai pendingin udara, tetapi tetap aman bagi penggunanya. Ini mengurangi biaya perawatan.

Di bangunan 4-5 lantai, kata Andi, fasilitas publik seperti taman bisa menggunakan yang tersedia di dekat lokasi rusun atau bisa juga disediakan di halaman rusun, sekaligus menjadi ruang untuk menciptakan suasana layaknya kampung. Usaha penghuni seperti warung kecil bisa difasilitasi.

Sementara untuk bangunan yang lebih tinggi, perlu ada alokasi lantai milik bersama dengan memangkas sebagian dinding sehingga tersedia ruang semi terbuka bagi penghuni meluapkan kebutuhan bersosialisasi, bersantai, sembari memutar roda ekonomi mikro di lingkungan mereka. Warga bisa membuka toko kelontong, warung makan, dan usaha mikro kecil lainnya di ruang ini. Konsep tersebut biasa ditemukan di perumahan vertikal bagi masyarakat kelas menengah ke bawah di China.

Akan tetapi, memang perlu keberpihakan kebijakan karena menyediakan hunian murah dan sehat di tengah kota berarti membutuhkan konsolidasi lahan serta aturan tata ruang yang ditegakkan dengan tegas. Seiring waktu berjalan, kota akan merasakan dampak baik dari hal ini. Setidaknya, sebagian warga akan tereduksi tingkat mobilitasnya karena telah tinggal di dekat tempat kerja.

Bayangkan jika ini diterapkan secara masif diikuti penyediaan fasilitas pendukung seperti sekolah dan pembangunan jaringan angkutan perkotaan. Mimpi kota seperti Jakarta akan bebas macet dan polusi udara bisa terealisasi.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Foto udara lanskap Kota Jakarta, Selasa (7/4/2020).

Harmoni hunian

Richard Florida, urbanis pencetus kelas kreatif urban dan kota kreatif, menyatakan, gedung tinggi dengan berbagai penggunaannya kini telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkembangan kota. Hal penting yang harus dilakukan pengelola kota dengan dukungan partisipasi warganya adalah memastikan kota jangan menjadi terlalu vertikal dan besar, juga jangan dibiarkan terlalu horizontal dan datar.

Jadi, tidak ada yang lebih baik antara rumah tapak dan hunian vertikal. Harmoni antara keberadaan rumah tapak dengan bangunan 4-5 lantai, bangunan 4-18 lantai, dan bangunan di atas 18 lantai perlu dikelola menjadi bagian dari upaya menjaga keberlanjutan kota dengan merangkul dan menaikkan kualitas hidup rakyat kecil.

Tujuan akhirnya, kata Florida, adalah mencapai keseimbangan penataan kota dan pemerataan kepadatan yang akan mendistribusikan kesejahteraan ke berbagai lini penghuni kawasan urban. Dengan demikian, terbangun suasana kebersamaan yang dapat mendorong kreativitas perkotaan dan mendorong inovasi demi kemakmuran semua pihak.

Kota inklusif berkelanjutan seharusnya memang bukan sekadar ilusi.

Kompas, 21 November 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger