Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 15 Desember 2020

Indonesia Rumah Persaudaraan (STEPH TUPENG WITIN)


Memuat data...
Kompas/Hendra A Setyawan

Mural para pejuang dan aktivis hak asasi manusia yang memperjuangkan kebenaran hingga titik darah penghabisan terpampang di kawasan Bojongsari, Depok, Jawa Barat, Rabu (09/11/2020). Nilai perjuangan mereka dalam menegakkan kebenaran selalu abadi di mata masyarakat.

Pada 10 Desember 2020 ini kita merayakan 72 tahun deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM). Dekalarasi ini merupakan kulminasi dari fakta kekerasan tak terkendali segelintir negara kuat. Selama masa ini, dunia menjadi arena pertarungan kekuatan fisik yang menumbalkan warga.

Dunia yang berjalan tanpa kepastian hukum dan norma yang berlaku umum telah mengubah kehidupan menjadi keadaan darurat yang konstan. Filsuf Thomas Hobbes melukiskan kondisi ini: bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua.

Para penguasa bertindak sewenang-wenang. Warga kehilangan kepercayaan pada para pemimpin. Hukum tak punya arti dan taring karena ditafsirkan sesuka hati seturut kuasa dan uang. Kondisi ini mengantar dunia ke jurang kehancuran tragis.

Situasi kelam ini memunculkan kesadaran pentingnya sebuah panduan bersama yang menggerakkan keyakinan para pemimpin negara Barat pada paruh pertama abad ke-20 untuk mendeklarasikan paham universal HAM. Ada kesadaran bersama bahwa kehidupan masyarakat global tidak dapat dibangun atas dasar kekuatan fisik.

Ada kesadaran bersama bahwa kehidupan masyarakat global tidak dapat dibangun atas dasar kekuatan fisik.

Adagium usang, si vis pacem para bellum: jika mau berdamai, bersiap-siaplah berperang, tidak memiliki kekuatan lagi karena telah menelan jutaan korban. Totalitarianisme abad ke-20, baik totalitarianisme atas nama bangsa (fasisme), atas nama ras (rasisme) maupun atas nama kelas sosial (sosialisme), telah berakhir pada pembantaian massal jutaan manusia. Dalam bahasa Rousseau, kekuatan belaka harus diterjemahkan ke dalam bahasa hukum, ketaatan buta menjadi kewajiban rasional sebagai jaminan perdamaian sosial.

"Der Starkste ist nie stark genug, um immerdar Herr zu bleiben, wenn er seine Staerke nicht in Recht und den Gehorsam nicht in Pflicht verwandelt: Yang paling kuat sekalipun tidak pernah cukup kuat untuk tetap menjadi tuan jika ia tidak berhasil menerjemahkan kekuatan itu ke dalam hukum dan ketaatan menjadi kewajiban (JJ Rousseau, Der Gesellschaftsvertrag, I,3: 8)".

Maka, dalam konteks sosio-historis ini, deklarasi HAM merupakan bentuk protes moral dan jawaban politis atas sejarah penindasan yang mendera umat manusia. Deklarasi HAM dapat dipandang sebagai puncak prestasi intelektual abad pencerahan yang menjadikan martabat manusia sebagai basis legitimasi etis universal kehidupan bersama pada umumnya serta konsep negara hukum demokratis khususnya (Otto Gusti Madung: Dialektika antara Agama dan Teori Diskursus dalam Diskusi tentang Hak-hak Asasi Manusia, 2013).

Memuat data...
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga melintasi mural kritikan terhadap asas keadilan di Segara Makmur, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Rabu (30/9/2020). Mural menjadi media seniman dan penggiat hak asasi manusia untuk menyuarakan kritikan di ruang publik.

Deklarasi universal melihat HAM sebagai hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia secara kodrati, universal, dan abadi. Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Hak asasi ini keberadaanya mendahului institusi negara. Maka, negara tidak berhak menghilangkan HAM setiap warga. Pengakuan negara atas hak setiap warga merupakan bukti negara menghormati martabat manusia.

Maka, hak adalah suatu klaim yang dapat dibenarkan, berdasarkan landasan moral dan hukum untuk memiliki atau memperoleh sesuatu atau untuk bertindak dengan cara tertentu (Dorkwin 267: 1978). Locke menegaskan bahwa klaim-klaim HAM itu semata-mata karena kita adalah manusia (Natural Rights Theory, Locke).

Locke menegaskan bahwa klaim-klaim HAM itu semata-mata kita adalah manusia.

Malu dan bosan

UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis (basic law) sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Deklarasi universal HAM termuat dalam UUD 1945 dalam Pasal 27-34 mencakup hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pasal-pasal ini telah merepresentasi empat elemen dalam deklarasi universal HAM, yaitu penghargaan terhadap individu tiap manusia berhadapan dengan kelompok sosial, penghargaan pada pribadi individual, kebebasan sipil dan hak politik, serta pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya (ecosoc).

Fakta ini membuktikan bahwa Deklarasi Universal HAM telah menjadi jantung konstitusi negara kita. Pertanyaannya adalah apakah jantung konstitusi itu masih berdegup atau tidak di tengah realitas kehidupan berbangsa?

Sebagai rakyat kecil yang mengais hidup di pinggiran negeri ini, sejujurnya ada rasa bosan dan malu untuk menulis realitas bangsa yang diseraki perilaku tidak terpuji para pemimpin. Mata manusiawi telah lama sakit dan nurani kemanusiaan terkoyak oleh pesta pora elite di atas derita rakyat. Tragedi kemanusiaan yang menginspirasi lahirnya deklarasi HAM tetap eksis dalam kemasan baru.

Memuat data...
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga berada di rumah alang di Kampung Mbukabani, Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, yang sebagian besar warganya miskin, beberapa waktu lalu. Tinggginya angka kemiskinan dan kebodohan di Sumba Barat Daya mendorong tingginya angka kriminalitas.

Mengutip Antologi 100 Puisi Taufiq Ismail, "Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia" (YI, 2003), rakyat sekadar menjadi pasien penderita rasa malu di negeri yang sedang sakit dan dokter-dokternya gagap memberi terapi. Reformasi 1998 hanya sebentuk pil penenang.

Bangsa di negeri yang subur makmur kaya-raya nan molek permai ini terpuruk karena dongeng kebesaran ekonomi yang kehilangan daya bius; dan rakyat terus merasa sakit disuntik dengan retorika dan slogan-slogan yang kehilangan mujarabnya menyembuhkan amnesia sejarah.

Para elite kekuasaan, baik politik maupun ekonomi, dari Jakarta hingga ke daerah terus saja memerintah berbendera korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Mereka memerintah dengan cara korup (mencuri milik bersama dan makan sendiri), kolusi (mencuri milik bersama dan makan di antara sesama koruptor) dan nepotisme (mencuri milik bersama dan makan bersama keluarga). Hasil curian mereka terus melegenda, bahkan semakin menggila di tengah penderitaan rakyat akibat pandemi Covid-19.

Bosan itu bukan sekadar istilah psikologi. Ada riak politis yang membeku dalam perasaan muak dengan cara elite mengelola bangsa. Bosan itu semacam manuver batin rakyat jelata yang menuntut perubahan dengan jalan membosani sepak terjang pengelola negara yang tak kunjung memberi solusi di tengah keterpurukan. Rasa bosan itu bisa saja memasuki wilayah populis berskala sosial politik, bahkan berpotensi menuju matinya rasa kebangsaan. (VOX, Ledalero, Seri 43/1/1999: 7).

Bosan itu bukan sekadar istilah psikologi.

Rumah rakyat

Indonesia adalah hasil konsensus bersama seluruh bangsa. Mereka adalah pribadi-pribadi yang dalam konsepsi HAM dan agama-agama didefinisikan sebagai wajah, citra Allah (Imago Dei). HAM mesti menjadi landasan demokrasi. HAM adalah ungkapan dari prinsip martabat manusia.

Dari perspektif ini, martabat manusia dipahami sebagai prinsip etis yang memiliki validitas transhistoris serta kriteria yang melampaui segala model masyarakat. Maka, proses kerja pemerintahan yang demokratis mesti memperhatikan eksistensi setiap individu yang diselaraskan dalam konstitusi negara.

Prinsip utama adalah kesetaraan, kebebasan, kesejahteraan, dan keamanan. Nilai-nilai dasar ini telah lama menjadi kemewahan bagi mayoritas rakyat. Kondisi ini semakin diperparah dengan perilaku elite yang terasing dari demokrasi dengan basis HAM yang menjadi jantung konstitusi.

Memuat data...
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI

Aliansi Malang Bersatu yang terdiri dari berbagai kelompok ormas di Malang, Selasa (13/10/2020), berunjuk rasa menentang vandalisme, termasuk dalam unjuk rasa. Mereka menyerukan kebebasan berpendapat yang konstitusional, tidak merugikan masyarakat umum, dan tetap menjaga persatuan dan keutuhan NKRI. Tampak peserta aksi dari Alumni Halokes Mbois Ngalam mengulurkan salam persaudaraan kepada para polisi yang berjaga.

Kembali ke rumah rakyat adalah sebuah solusi rasional atas rasa malu dan bosan bernada cemooh. Kebosanan rakyat lebih dahsyat dari teror terang-terangan sebab menyertakan unsur kompulsif yang oleh Sigmund Freud diidentifikasi sebagai "kompleks terdesak". Pemberontakan model ini cenderung irasional. Rakyat tetap dalam kesangsian abadi.

Dalam perspektif filsuf Rene Descartes, kembali ke rumah rakyat berarti menguji suatu kebenaran dengan pendekatan rasional-konstitusional sambil mempertanyakan segala hal yang terjadi menuju perubahan. Hal ini dapat mencegah kesangsian abadi versi kompleks dengan ekspresi keputusasaan yang parah, seperti sebagian rakyat Papua yang menuntut opsi kemerdekaan karena hak-hak dasarnya terabaikan.

Rumah rakyat adalah kota adil yang kembali menyatukan seluruh rakyat yang telah lama mengungsi karena bosan dan malu menjadi bagian bangsa ini. Rumah rakyat adalah Indonesia tempat rakyat hidup bersama sebagai satu keluarga yang demokratis di bawah hukum yang adil dan benar. Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa kita perlu memperluas hukum kekeluargaan untuk membentuk suatu bangsa, yaitu keluarga dalam lingkungan yang luas, tempat semua orang hidup bersaudara (Gandhi, 2009: 145).

(Steph Tupeng Witin, Penulis, Alumnus STFK Ledalero, Flores)


Kompas, 10 Desember 2020





Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger