Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 15 Desember 2020

Lagu Perlawanan terhadap Korupsi (FRANS SARTONO)


Memuat data...

Frans Sartono, Wartawan di Kompas Gramedia 1989-2019

"Hidup sederhana  

Gak punya apa-apa tapi banyak cinta

Hidup bermewah-mewahan

Punya segalanya tapi sengsara  

Seperti para koruptor…."

Itu kata Slank dalam lagu "Seperti Para Koruptor". Korupsi disindir dalam lagu dari masa ke masa. Lagu pop, rock, sampai gending Jawa mengingatkan orang untuk tidak berperilaku koruptif.

Pada era 1950-an, ketika negeri ini bisa dikatakan masih "muda", sudah terdengar gending dolanan yang berbicara tentang korupsi, yaitu "Kuwi Opo Kuwi" gubahan Ki Tijtrowasito (1909-2007). Ada empat pupuh atau bait tembang yang berisi peringatan agar orang berlaku jujur, tidak korupsi, dan hidup rukun bersatu agar negeri ini makmur dan maju. Kita kutip bait awal.

"Kuwi opo kuwi e kembang melathi/sing tak puja-puji ojo dho korupsi/Mergo yen korupsi negarane rugi...." Baris pertama merupakan semacam sampiran. Adapun larik selanjutnya adalah isi yang berupa nasihat. Artinya sebagai berikut: 'Itu apa itu, o kembang melati. Yang aku harap dan doakan janganlah pada korupsi. Karena jika korupsi, negara akan menanggung rugi'.

Korupsi disindir dalam lagu dari masa ke masa. Lagu pop, rock, sampai gending Jawa mengingatkan orang untuk tidak berperilaku koruptif.

Kita lanjutkan ke bait kedua yang terkait dengan sikap jujur. "Kuwi opo kuwi, e kembange menur/Sing tak puja puji mbok yo podho jujur/Amargo yen jujur negarane makmur…" Artinya, 'Itu apa itu, o kembang menur. Yang aku doa dan harapkan semua pada jujur. Karena jika jujur, negara akan makmur'.

Kata korupsi pada "Kuwi Opo Kuwi" jelas merupakan serapan dari bahasa asing dalam bahasa Jawa. Begitu pula kata "bersatu" pada bait selanjutnya, merupakan unsur bahasa Indonesia.

Memuat data...
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Grup musik Slank tampil di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, menyatakan sikapnya menolak rencana revisi UU KPK, Senin (22/2/2016). Slank merupakan salah satu seniman yang konsisten mendukung pemberantasan korupsi.

Sebagai tembang dolanan, "Kuwi Opo Kuwi" memang ditulis dengan bahasa "gaul" pada zamannya. Tembang disampaikan dengan bahasa percakapan sehari-hari, menggunakan bahasa Jawa ngoko. Sebagai pembanding, di atas ngoko ada tataran bahasa Jawa halus ataukromo inggil.

Bahasa Jawa ngoko digunakan orang dalam kedudukan setara dengan sikap egaliter. Bahasa Jawa ngoko bisa dikatakan lebih mudah dan lebih luas digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Tataran ngoko digunakan dari usia anak-anak sampai dewasa di segala lapisan. Mungkin, dengan menggunakan bahasa pergaulan ini, pencipta lagu berharap pesan akan lebih menjangkau berbagai kalangan.

Baca juga : Nasionalisme Bukan Musiman

Begitu pula penggunaan medium tembang atau gending dolanan, mungkin dimaksud agar lebih mudah dicerna dan disukai khalayak luas. Tembang dolanan bersifat riang, ringan, ringkas, mudah dihafal dan diingat. Unsur "main-main", menyenangkan, dan komunal terasa pada setiap akhir bait, yaitu pada larik yang berbunyi: "Piye Mas/Dik piye... Alla ngona, ngona ngono...."

Larik ini merupakan semacam pertanyaan atau penegasan tentang hal yang disampaikan pada bait lagu. Artinya kira-kira seperti ini, 'Bagaimana menurut Kakak/ Adik… Nah, bagaimana korupsi menurut Anda?'.

Memuat data...
KOMPAS/HADI TJAHJAINDRA

Koes Plus saat tampil di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (20/8/1972).

"Tul Jaenak"

Tembang "Kuwi Opo Kuwi" terasa sekali sebagai ajakan simpatik kepada semua orang untuk berperilaku jujur, tidak korupsi, dan mencintai negeri. Ajakan serupa juga disampaikan Koes Plus lewat lagu "Tul Jaenak". Ini merupakan lagu pop Jawa yang ditulis dengan gaya tembang dolanan oleh Yok Koeswoyo.

Lagu ini termuat dalam album Pop Jawa Volume 1 lepasan tahun 1973. Dalam lirik lagu memang tidak secara langsung disebut kata korupsi. Akan tetapi, secara tersamar disampaikan ajakan untuk tidak melakukan perbuatan mencari jalan pintas dalam memperoleh kekayaan.

Coba simak bait pertama berikut. "Gulo Jowo rasane legi/Kripik mlinjo dipangan asu/Arep mulyo kudu marsudi/Buto Ijo ojo digugu...." Mengambil model parikan atau pantun, baris pertama dan kedua merupakan sampiran. Sementara dua baris berikutnya berupa isi.

Baca juga : Pahlawan di Mana Lagumu Kini?

Sebagai sampiran, baris pertama ditulis lebih untuk mengejar rima atau bunyi, tidak ada kaitan makna antara larik pertama dan larik-larik yang lain. Terjemahannya adalah: 'Gula Jawa berasa manis/Keripik melinjo dimakan anjing/Jika ingin hidup mulia haruslah berusaha/Buto Ijo jangan dipercaya'.

Buto Ijo dalam mitologi atau legenda Jawa divisualkan sebagai raksasa hijau. Ia dipercaya sebagai sesuatu yang dapat mendatangkan kekayaan, kemuliaan, pada seseorang tanpa harus berusaha.

Dalam "Tul Jaenak" digunakan kata marsudi yang artinya berupaya, berikhtiar, bekerja sungguh-sungguh. Yok Koeswoyo yang juga penyanyi lagu tersebut mengajak orang untuk tidak menggunakan cara-cara pintas. Dalam ajakan ini, ia menggunakan personifikasi Buto Ijo.

Seperti pada tembang dolanan, "Tul Jaenak" juga ditulis dalam bahasa Jawa sehari-hari. Yok menggunakan model parikan. Lagu ini merupakan salah satu lagu yang sangat populer dari Koes Plus, khususnya di kalangan masyarakat pengguna bahasa Jawa.

Memuat data...
KOMPAS/FRANS SARTONO

Yok Koeswoyo, personel Koes Plus dan Koes Bersaudara, di rumah keluarga Koeswoyo, Jalan Haji Nawi, Jakarta Selatan, Jumat (1/7/2016).

"Bobrokisasi Borokisme"

Kasus korupsi yang terus marak dari waktu ke waktu membuat gemas musisi, termasuk Slank. Band rock dengan massa kaum muda ini bisa dikatakan cukup kritis menyikapi situasi sosial politik di negerinya, termasuk pada perilaku koruptif.

Salah satunya lewat album Jurus Tandur, singkatan dari maju terus pantang mundur, terbitan Agustus 2010. Di album ini terdapat satu lagu berjudul "Bobrokisasi Bobrokisme" yang secara lugas dan telak menyindir para koruptor.

Kita kutipkan beberapa bait yang bicara soal perilaku koruptif. "Minta disuap, doyan disogok/Seneng disuapin sambil disogok-sogok/Cari yang basah, yang banyak air/Alirkan deras dari hulu sampai hilir...."

Baca juga : 35 Tahun Sengatan Virus Slank

Slank memang menggunakan bahasa lugas, apa adanya, tanpa dibungkus-bungkus bunga-bunga kata agar terkesan "indah". Slank menggunakan istilah yang sedang populer di media massa pada zamannya, misalnya "korupsi berjamaah". Istilah ini digunakan untuk menggambarkan korupsi yang dilakukan oleh sejumlah orang.

Kita simak bait berikutnya, "Dibagi rata semuanya diam/Rame-rame kita korupsi berjamaah..." Kemudian bait selanjutnya, "Tutup telinga, mulut, dan mata/Tapi bau busuk masih tercium juga...." Setiap bait diakhiri dengan kata seperti yang menjadi judul lagu, yaitu "bobrokisasi borokisme...." Kata-kata bentukan yang diambil dari kata "bobrok" dan "borok".

Slank memang paling getol menohok korupsi. Di luar tema lagu cinta, Slank menyusupkan satu dua lagu berupa kritik sosial pada setiap albumnya. Dengan berbagai cara, Slank juga menyampaikan pesan bahwa korupsi, perilaku koruptif, itu perbuatan nista.

Memuat data...
ARSIP KOMPAS

Mogi Darusman

Dalam "Bobrokisasi Borokisme", Slank langsung bicara pada pokoknya, yaitu korupsi. Mereka juga bisa dengan pintar menyisipkan rasa muak kepada para pelaku korupsi lewat lagu cinta berjudul "Seperti Para Koruptor".

Lagu ini cukup lembut untuk ukuran lagu pop rock. Lirik tidak berbeda dengan lagu cinta yang berisi ungkapan keinginan akan rasa sayang, cinta, dan kejujuran. Misalnya, pada bait pertama: "Aku gak butuh uangmu/Aku gak butuh hartamu/Yang kubutuh hanya cintamu/Setulus cintaku padamu...." Pada setiap bait disertakan refrein seperti ini: "Hidup sederhana/Gak punya apa-apa tapi banyak cinta/Hidup bermewah-mewahan/Punya segalanya tapi sengsara/seperti para koruptor...."

Dari sejumlah lagu yang menyinggung korupsi, terasa bagaimana Slank "mendoktrin" penikmat musiknya yang kebanyakan kaum muda bahwa korupsi itu menjijikkan. Lewat lagu, Slank menanamkan persepsi bahwa korupsi adalah perbuatan bobrok dan menyengsarakan.

Baca juga : Gending Masa Depan Rahayu Supanggah

Begitulah, seniman tak henti-henti menyerukan bahwa korupsi itu jahat dan menyusahkan rakyat. Ada yang melagukan dengan gaya halus, lugas, sampai sarkastis. Mogi Darusman pada akhir era 1970-an dengan keras melabrak koruptor lewat lagu "Rayap-rayap". Ia menggunakan personifikasi "rayap" dan "babi". Simak refreinnya.

"Rayap-rayap yang ganas merayap

Berjas dasi dalam kantor

Makan minum darah rakyat

Babi-babi yang gemuk sekali

Dengan tentram berkembang biak

Tak ada yang peduli...."

Nyanyian mungkin tidak akan mengubah kedaan. Akan tetapi, setidaknya para seniman telah memberi kesaksian. Lewat lagu, mereka memberi penyadaran bahwa perbuatan yang tidak benar harus dihindari dan tidak boleh dibiarkan.

Kompas, 10 Desember 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger