Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 05 Februari 2021

REFLEKSI BUDAYA: Resolusi Bahasa 2021 (LILIANA MULIASTUTI)


KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR

Kepala Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan Badan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud Emi Emilia menjelaskan pentingnya orangtua dan guru membacakan buku untuk anak pada peluncuran Indeks Aktivitas Literasi Membaca di Jakarta, Jumat (17/5/2019).

Tahun 2021 menjadi tahun penting untuk merekonstruksi kembali pandangan kita terhadap isu-isu kebahasaan yang terkait dengan artikulasi dan daya nalar publik. Karena itu, sesuai kebiasaan memasuki tahun baru, ada baiknya kita membuat semacam resolusi kebahasaan. Resolusi ini bertujuan membangkitkan pemahaman dan kesadaran publik terhadap pentingnya berbagai isu kebahasaan.

Bahasa merupakan produk utama kebudayaan yang selama ini terpinggirkan. Publik, dengan kerapuhan pemahamannya sebagai penutur, hanya melihat bahasa sebagai alat komunikasi yang sudah mereka kuasai sejak kecil. Padahal, bahasa tidak sesederhana itu. Ibarat DNA dalam tubuh kita, bahasa adalah bank memori kolektif yang merekam seluruh aspek kehidupan kita.

"Bapak" linguistik modern Noam Chomsky pernah mengingatkan: bahasa bukan sekadar kata-kata. "Itu adalah budaya, tradisi, penyatuan komunitas, seluruh sejarah yang menciptakan komunitas itu. Itu semua terwujud dalam sebuah bahasa," kata Chomsky.

Filsuf besar abad XX, Ludwig Wittgenstein, meyakini sumbangan besar bahasa, bersama matematika dan logika, dalam membangun peradaban. "Membayangkan bahasa berarti membayangkan suatu bentuk kehidupan. Batasan bahasa saya berarti batas dunia saya," kata Wittgenstein.

Merujuk Wittgenstein, bahasa adalah dasar dari logika dan matematika. Kita meyakini perkembangan bahasa, logika, dan matematika menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam membangun peradaban.

Jika bahasa merupakan alat komunikasi, matematika adalah bahasa yang sangat simbolis dan mengajarkan pola berpikir deduktif. Jika logika memberi sumbangan membangun pola berpikir, bahasa adalah cerminan pola berpikir seseorang. Ambyar tidaknya logika seseorang akan tecermin melalui bahasa yang dihasilkan, baik lisan maupun tulisan (aksara).

Salah satu keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan adalah keterampilan mengutarakan gagasan dan pikiran secara komunikatif dan artikulatif baik secara lisan maupun tulisan. Kelisanan dan keberaksaraan kita menggambarkan tingkat keberhasilan pendidikan dan budaya literasi bangsa kita.

Sayangnya, belum banyak orang menyadari, bahasa yang kita gunakan sehari-hari adalah cermin diri kita sendiri. Banalitas penggunaan bahasa di media sosial, misalnya, bukti bangsa kita belum menjadi bangsa artikulatif yang memegang teguh keadaban publik. "De-artikulasi" terjadi ketika suatu bangsa masih terbatas dalam membangun budaya literasi, dan sekolah belum maksimal membangun aspek-aspek keterampilan bahasa, seperti membaca, menulis, menyimak, dan berbicara.

Bahasa dalam dunia pendidikan

Karena itulah, peran dunia pendidikan sangat penting. Saya sepakat dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud: pluralisme dan multilingualisme bahasa di Indonesia perlu dikelola untuk kebutuhan pembangunan sosial, politik, dan ekonomi melalui pendidikan. Kebijakan yang memasukkan tiga jenis bahasa dalam pendidikan (bahasa Indonesia, bahasa daerah, bahasa asing), harus dapat meningkatkan peran bahasa-bahasa yang hidup di Indonesia.

KOMPAS/KOMUNITAS LITERASI FOR EVERYONE PAPUA

Kegiatan literasi dari Komunitas Literasi For Everyone Papua bagi anak-anak di salah satu daerah pedalaman Kabupaten Keerom.

Tentu, peran keluarga dan masyarakat tidak kalah penting. Namun, dunia pendidikanlah yang utamanya menghubungkan sebuah teks, narasi besar bernama "Indonesia" ke dalam perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik anak. Pada titik itu, faktor bahasa memainkan peranan penting.

Sayangnya, kita masih harus terbentur dengan kenyataan pahit. Pemikiran penting tentang bahasa ini belum tecermin dari hasil pendidikan formal di Indonesia. Aspek kemampuan membaca saja, kita tertinggal dari banyak negara lain.

Beberapa tahun lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, kualitas pendidikan di Indonesia sangat tertinggal jika dibandingkan dengan sejumlah negara maju, khususnya negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Untuk kemampuan membaca saja, Indonesia harus menghabiskan waktu 45 tahun agar mencapai tingkat kemampuan setara mereka. Menurut Sri Mulyani, temuan itu tercantum dalam hasil penelitian World Development Report (Laporan Pembangunan Dunia) yang dirampungkan Bank Dunia.

Laporan Bank Dunia tahun 2011 memunculkan ancaman "kemiskinan belajar" (learning poverty) yang dialami pelajar Indonesia. Learning poverty merupakan kondisi ketidakmampuan anak pada usia 10 tahun atau kira-kira duduk di bangku kelas 4 SD dalam membaca dan memahami cerita sederhana. Meskipun laporan ini muncul sepuluh tahun lalu, saya meyakini kondisi di lapangan belum banyak berubah.

Kemampuan membaca dan memahami cerita sederhana merupakan kemampuan dasar yang seharusnya dimiliki setiap anak. Sebab, kemampuan dasar ini akan sangat memengaruhi kemampuan lainnya. Ketidakmampuan dalam membaca dan memahami cerita sederhana akan menghambat kemampuan lainnya pada tahun-tahun berikutnya.

KOMPAS/AYU SULISTYOWATI

Maestro dongeng Made Taro tengah beraksi di Klungkung. Dongeng salah satu upaya menaikan kemampuan literasi.

Masalahnya, menurut laporan Bank Dunia, lebih dari sepertiga anak-anak usia 10 tahun di Indonesia mengalamilearning poverty. "Banyak anak, bahkan saat ini di sekolah, mereka tidak belajar keterampilan dasar," kata Direktur Pelaksana Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Rolande Pryce (Kompas.com, 20/11/2019).

Kondisi ini menjelaskan mengapa pada jenjang asesmen berikutnya, Indonesia terkesan stagnan di peringkat bawah. Setidaknya dalam 15 tahun terakhir, kesan stagnan itu tecermin dari hasil program penilaian pelajar internasional (PISA). Untuk kompetensi pelajar usia 15 tahun dalam membaca, matematika, dan sains, nilai skor anak-anak kita masih di bawah rerata nilai 79 negara peserta PISA. Kondisi ini sungguh membuat kita masygul.

Perubahan paradigma

Lalu apa yang dapat kita lakukan? Dari segi kebijakan nasional, pemerintah kelihatan berusaha mengubah paradigma dan membangun kesadaran akan pentingnya literasi. Setidaknya hal ini dapat terlihat dari keputusan Kemendikbud mengganti Ujian Nasional menjadi Asesmen Nasional pada 2021. Keputusan ini juga dapat ditandai sebagai penanda perubahan terkait evaluasi pendidikan di Indonesia.

Komponen Asesmen Nasional terdiri atas Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. Yang menarik, AKM dirancang untuk mengukur capaian peserta didik dari hasil belajar kognitif, yaitu literasi dan numerasi.

Mendikbud Nadiem Anwar Makarim mengatakan, literasi dan numerasi merupakan dua aspek kompetensi yang menjadi syarat bagi peserta didik sehingga bisa berkontribusi di dalam masyarakat, terlepas dari bidang kerja dan karier yang ingin mereka tekuni pada masa depan.

Gerakan Literasi Nasional (GLN) Kemendikbud juga mengadopsi hasil kesepakatan World Economic Forum 2015 tentang enam literasi dasar yang perlu dikuasai (literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi digital, literasi budaya dan kewargaan).

Tentu perubahan di level kebijakan ini juga harus diikuti dengan perubahan nyata di lapangan. Kita harus membuat perubahan paradigma di dalam kelas. Guru harus memahami cara membangkitkan potensi siswa dalam kemampuan berpikir aras tinggi (HOTS). Kesadaran pentingnya bahasa sebagai piranti HOTS harus diturunkan sampai ke level perubahan cara mengajar guru di lapangan dan dimulai dari tingkatan pendidikan dasar.

Tentu saja, guru harus melek literasi dan tahu cara membangkitkan potensi literasi siswa. Impian kita di masa depan adalah melihat siswa-siswa di sekolah yang melek literasi dan artikulatif dalam menyampaikan pikiran dan perasaannya. Guru-guru bahasa, khususnya bahasa Indonesia, tak boleh lagi terjebak dengan cara mengajar lama. Pelajaran bahasa di sekolah harus menjadi pengalaman budaya yang memperkaya bahasa siswa.

Liliana Muliastuti, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta dan Ketua Umum APPBIPA 2019-2023

Kompas, 4 Februari 2021

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger