Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 18 Juni 2021

MERITOKRASI ASN: Meritokrasi ASN dan Kekuasaan(MIFTAH THOHA)

Kasus KPK sungguh bisa mencoreng sistem merit yang pada 2010-2014 kita perjuangkan untuk diwujudkan dalam UU No 5 Tahun 2014.

DIDIE SW

Didie SW

Meritokrasi adalah tatanan kepemerintahan atau kenegaraan yang melaksanakan sistem merit di dalam menjalankan tata kepemerintahan dan kenegaraan.

Sistem merit adalah sistem yang berdasarkan pertimbangan kebenaran yang obyektif dan tak didasarkan atas pertimbangan subyektif. Sistem ini berlandaskan pada aturan dan tataran formal berdasarkan hukum dan peraturan lain yang sudah ditetapkan dan berlaku di tata kepemerintahan dan kenegaraan. ASN adalah sebutan bagi aparatur sipil negara untuk membedakan dengan aparatur negara lainnya yang biasanya disebut aparatur negara militer TNI dan atau Polri.

ASN beda dengan TNI dan Polri walaupun ketiganya sama-sama di bawah pimpinan langsung Presiden RI. Dulu TNI dan Polri pernah ber-Dwifungsi, bisa ditarik beraktivitas politik. Namun, semenjak era Reformasi, TNI dan Polri kembali ke fungsi utama dan pokok negara di bidang pertahanan dan keamanan, tak boleh atau dilarang menjalankan aktivitas kegiatan politik.

Barangkali, presiden yang memimpin TNI dan Polri karena kedudukan presiden sebagai kepala negara. Dengan demikian, hanya tugas-tugas negara yang dibebankan oleh presiden kepada TNI dan Polri, khususnya di bidang pertahanan dan keamanan. Tugas TNI dan Polri adalah tugas negara, bukan tugas penguasa.

Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo pernah mengatakan bahwa politik TNI adalah politik negara, menjalankan tugas negara, pertahanan dan keamanan negara. Adapun ASN, karena merupakan aparatur negara sipil, berada di dalam sistem administrasi pemerintahan yang dipimpin presiden sebagai kepala pemerintahan.

Presiden memimpin ASN itu karena kedudukan presiden sebagai kepala pemerintahan.

Presiden memimpin ASN itu karena kedudukan presiden sebagai kepala pemerintahan. Wajar sebagai kepala pemerintahan, presiden setiap saat mengangkat dan mempromosikan pegawai negeri dan setiap Idul Fitri membuat surat keputusan menaikkan THR atau gaji ASN. Namun, kalau presiden meminta ASN membayar zakat malnya ke Baznas, dikhawatirkan ada maksud lain, dengan pertimbangan subyektivitas di luar tatanan agama dan administrasi pemerintahan. ASN Muslim punya pilihan sendiri mau memberikan zakatnya ke mana.

Di dalam UU ASN sendiri ditetapkan bahwa pembina karier ASN itu adalah presiden, yang kemudian mendelegasikan ke bawah kepada menteri, dan gubernur, bupati serta wali kota. Namun, sebagaimana kita pahami, presiden sebagai kepala pemerintahan adalah pejabat politik yang dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol. Identitas, kualitas, dan warna politiknya sangat menonjol.

Terkait sikap dan pemikiran presiden terhadap ASN, haruslah dipahami tentang sistem meritokrasi yang diterapkan kepada ASN itu. Dengan demikian, walaupun presiden orang parpol atau pejabat politik, bisa membedakan tendensi-tendensi politik dengan yang murni profesionalisme administrasi pemerintahan.

Presiden sebagai kepala negara tidak bisa mengintervensi dan memerintahkan TNI dan Polri membantu memainkan kegiatan politik untuk menjalankan pemerintahannya. Presiden sebagai kepala negara tidak boleh melibatkan TNI dan Polri ikut memilih dalam pemilu. Seharusnya, dengan ASN juga berlaku seperti itu. Namun, di tahun politik, keterlibatan politik ASN sering kali kita lihat sangat menonjol.

Tanpa aturan yang tegas, hubungan jabatan politik dan jabatan karier ASN akan selalu menjadi incaran kegiatan politik. Bahkan, semua parpol sangat dimungkinkan ikut memengaruhi ASN, padahal seharusnya menurut meritokrasi tidak diperbolehkan. Kedudukan ASN dalam arena kegiatan politik sangat rawan. Seharusnya presiden membatasi peran politiknya kepada ASN agar meritokrasi bisa diluruskan.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron (kiri) memberikan keterangan didampingi komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Mohammad Choirul Anam (tengah) di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (17/6/2021). Pimpinan KPK hadir untuk memenuhi panggilan Komnas HAM terkait dugaan pelanggaran HAM pada proses tes wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) pegawai KPK.

Meritokrasi dalam ASN

UU ini secara tegas melaksanakan dan mewujudkan sistem merit dalam menata manajemen pemerintahan. Roh dan jiwa ASN adalah meritokrasi atau sistem merit ini.

Menurut sejarah, meritokrasi atau sistem merit mulai dilakukan pada zaman Dinasti Qin dan Han di China. Dinasti ini mengenalkan sistem merit melalui sistem pendidikan dan pelatihan, diikuti dengan ujian dan seleksi bagi para calon pejabat pemerintahan.

Dalam upayanya untuk melaksanakan kekuasaan di tengah semakin luas, besar, dan menebarnya wilayah kekuasaan kerajaan, pemerintah Dinasti Qin dan Han menghadapi ruwetnya jaringan jabatan yang semakin kompleks. Prospektif jabatan tidak terbatas, bisa diisi oleh calon dan mobilitas pejabat pemerintah. Tingkatan atau rangking jabatan harus ditetapkan dengan melakukan sistem merit.

Akhirnya ditetapkan sistem sembilan tingkatan jabatan (nine-rank system), yang dibentuk oleh tiga dinasti kerajaan setelah Dinasti Qin dan Han. Kira-kira sama dengan eselonisasi jabatan di zaman pemerintahan Orde Baru kita.

Dari China ini konsep sistem merit kemudian menyebar, digunakan di British India pada abad ke-17 dan menyebar ke daratan Eropa dan Amerika. Di Indonesia, sejak awal kemerdekaan sampai sekarang telah pula dikenal dan dilaksanakan sistem merit dalam manajemen pemerintahan. Namun, upaya pelaksanaannya tak seperti yang diharapkan oleh disiplin ilmu meritokrasi.

Sistem merit merupakan suatu sistem yang menekankan pada pertimbangan dasar kompetensi bagi calon yang akan diangkat, ditempatkan, dipromosikan, dan dipensiun sesuai UU berlaku. Kompetensi calon itu mengandung arti calon harus punya keahlian, dan profesionalisme sesuai kebutuhan jabatan yang akan dipangkunya. Dan itu yang akan jadi pertimbangan utama.

Selain itu, netralitas pejabat pemerintah yang membutuhkan merupakan dasar pertimbangan pokok yang tak bisa diabaikan. Prinsip ini intinya tak mengandung unsur kedekatan kepentingan, baik kedekatan keluarga, suku, daerah, almamater, agama, politik, maupun konglomerasi.

Selain kompetensi dan netralitas, unsur kejujuran dan loyalitas yang menekankan pada akhlakul karimah menjadi pertimbangan bagi calon yang akan menjadi aparatur pemerintah, baik sipil maupun militer.

Manipulasi sistem merit

Apa yang terjadi selama ini, sistem merit dilaksanakan, tetapi banyak dimanipulasi secara sengaja. Proses pengangkatan calon diam-diam dilakukan melanggar konsepsi disiplin ilmu tersebut. Kompetensi calon diganti menjadi kepentingan pemegang kekuasaan.

Keahlian dan profesionalisme menjadi sebaliknya, sesuai persepsi dan keinginan pemegang kekuasaan. Netralitas digantikan dengan pertimbangan kedekatan dengan pemegang kekuasaan sehingga banyak terjadi satu kantor ditempati sanak famili, agama yang sama, bahkan pendukung parpolnya.

Hal seperti ini sudah berlangsung lama dalam praktik pemerintahan, terutama selama hampir 32 tahun pemerintahan Orde Baru, bahkan sisa-sisa pemerintahan Orde Baru itu masih dipraktikan sampai sekarang. Itu sebabnya, tahun 2014 dipelopori Komisi II DPR dan dibantu dua guru besar UGM dan dua guru besar UI, terbentuk UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang sarat dengan upaya menegakkan meritokrasi ini.

UU ini oleh pemerintah dulu pernah ditolak, bahkan aparat pemda dengan disponsori dan didukung pemerintah pusat berdemonstrasi menolak UU ini.

UU ini oleh pemerintah dulu pernah ditolak, bahkan aparat pemda dengan disponsori dan didukung pemerintah pusat berdemonstrasi menolak UU ini. Kalangan politik DPR juga menghadapi rintangan. Meski inisiatif pembentukan UU ini berasal dari DPR, ada upaya merevisi dan menghapus meritokrasi serta membubarkan Komisi ASN sebagai lembaga penjaga sistem merit (merit system protecting board).

Pendekatan kekuasaan

Tak efektifnya meritoktasi dilaksanakan salah satunya karena dijalankannya pendekatan kekuasaan oleh pejabat pemerintah. Politik kekuasaan yang bersumber pada kekuasaan politik inilah yang selama ini mewarnai manajemen pemerintahan kita. Ada dua macam kekuasaan dalam mengatur sistem administrasi pemerintahan: kekuasaan negara dan kekuasaan politik.

Kekuasaan negara bersumber dari negara atas nama rakyat secara keseluruhan, kekuasaan politik berasal secara subyektif dari parpol yang bertujuan mempunyai, melaksanakan, dan mempertahankan kekuasaan pemerintahan.

Pendekatan kekuasaan yang dilakukan secara subyektif dari pertimbangan pemegang jabatan bisa dihindari dengan mengendalikan emosi kekuasaan dan banyak mengamalkan pendekatan human government yang menekankan pada manajemen pemerintah berbasis pada penghargaan kepada faktor manusia yang kompeten dan profesional ciptaan Tuhan.

Jabatan politik

Pendekatan kekuasaan di atas erat kaitannya dengan hubungan antara jabatan-jabatan politik dan jabatan karier birokrasi yang belum pernah ditata dengan baik. Pejabat politik yang berasal dari kekuatan parpol di pemerintahan sudah lama kita kenal. Parpol adalah kesatuan aspirasi politik dari sekelompok rakyat yang bertujuan mencapai kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, dan mempertahankan kekuasaan.

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan yang ingin dicapai ialah kekuasaan pemerintahan. Manajemen pemerintahan yang aslinya ditempati para pejabat birokrasi mulai dipimpin pejabat politik dari parpol yang berkuasa atau yang memenangi pemilu, sejak kita melaksanakan pemerintahan yang demokratis. Mulai dari sinilah kehadiran jabatan politik dari parpol memimpin birokrasi pemerintahan.

Kekuasaan jabatan yang berkewajiban membuat dan merumuskan kebijakan kini dipegang oleh para pejabat politik dari parpol. Kebijakan itu yang harus dilaksanakan oleh manajemen pemerintahan atau oleh sistem birokrasi pemerintah. Maka, dengan demikian, jelaslah bahwa pejabat birokrasi pemerintah secara otomatis menjadi subordinasi atau di bawah kendali jabatan politik.

Dari gambaran hubungan kedua jabatan ini, sangat sulit pejabat birokrasi lepas dari pengaruh politik pemegang jabatan politik yang menjadi atasannya. Di pemerintahan kita terpengaruhnya ASN dalam proses politik banyak dijumpai di daerah-daerah ketika melaksanakan pilkada. Banyak pegawai daerah yang ikut kampanye mendukung calon yang akan memimpin mereka di pemerintah daerah. Mereka yang tak ikut mendukung, jika calon tersebut menang pilkada, kariernya bisa tersendat.

KOMPAS/HARIS FIRDAUS

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar (berdiri) berbicara dalam acara pernyataan sikap menolak tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (31/5/2021), di kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Kota Yogyakarta. Dalam acara itu, para tokoh mendesak Presiden Joko Widodo untuk membatalkan hasil tes wawasan kebangsaan TWK yang menjadi dasar pemberhentian bagi puluhan pegawai KPK.

Kasus ASN di KPK

Dalam upaya untuk menyeleksi pegawai dan pejabat di KPK dengan menguji wawasan nasional yang dimiliki, salah satu bentuk pertanyaannya jauh dari prinsip sistem merit yang diuraikan di atas. Pegawai yang diuji harus menjawab salah satu, memilih Pancasila atau Al-Quran. Ini pertanyaan yang mengarah ke gagasan politik.

Tidak ada orang di dunia, apalagi di Indonesia, yang tidak tahu bahwa Al-Quran adalah kitab suci orang Islam. Pancasila adalah falsafah dan dasar negara Indonesia. Bagaimana Al-Quran disandingkan dengan Pancasila? Bukankah ini mengada-ada dan mengarah pada politisasi ASN? Mereka yang memilih Al-Quran tak lulus.

Kasus KPK sungguh bisa mencoreng sistem merit yang pada 2010-2014 kita perjuangkan untuk diwujudkan dalam UU No 5 Tahun 2014. Sayang Presiden maupun Menteri PAN dan RB atau pemegang kekuasaan pemerintahan ini pun tak paham tentang sistem tersebut. Dalam UU ASN dikenal dua bentuk kepegawaian, yakni pegawai tetap atau pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah berdasarkan kontrak (P3K). Jika pegawai KPK tak lulus wawasan nusantara, bukan lalu di-non-job atau dipecat, melainkan bisa jadi P3K.

P3K ini diharapkan akan banyak dijumpai dalam sistem merit, dan kariernya didasarkan kompetensi dan keahlian calon, bukan karena anggota parpol. Apalagi semua pegawai KPK sebelum dites wawasan nusantara adalah orang-orang yang kompetensi dan keahliannya sudah banyak diketahui di bidang pengawasan dan pemberantasan korupsi.

Miftah Thoha Guru Besar (Ret) Universitas Gadjah Mada 

Sumber: Kompas.id - 18 Juni 2021


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger