Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 12 Juli 2021

TAJUK RENCANA: Optimisme Hadapi Pandemi (Redaksi Kompas)


 

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Sejumlah sukarelawan memasukan nasi kotak ke dalam mobil di dapur umum peduli Covid-19 di di Karet Semanggi, Setiabudi, Jakarta Selatan, untuk kemudian didistribusikan, Kamis (8/7/2021). Dapur umum yang didirikan oleh beberapa komunitas pada masa PPKM darurat tersebut menyiapkan makanan untuk membantu warga yang terdampak Covid-19 atau sedang menjalani isolasi mandiri.

Optimisme biasanya muncul saat ada  harapan dan keyakinan akan kesuksesan atau setidaknya masa depan yang lebih baik. Sebaliknya, sikap pesimistis muncul ketika hal-hal yang tidak menguntungkan bahkan kefatalan terus terjadi.

Namun, memerhatikan data tren pertumbuhan kasus baru  maupun kasus kematian di dunia maupun Indonesia yang belum menunjukkan penurunan, alih-alih malah meningkat, rasa optimistis itu harus dibangun secara aktif.

Belum lagi, ketika kita mendengar suara ambulan yang mondar-mandir atau menerima kabar duka, baik  berupa teks, foto, atau video, yang banyak diunggah,  baik itu dari keluarga dekat, kerabat, sahabat, bahkan grup-grup di aplikasi pesan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Lahan makam khusus Covid-19 di Tempat Pemakaman Umum Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (8/7/2021) malam. Lonjakan kasus Covid-19 yang disertai gejala berat turut memicu tingginya angka pemakaman dengan protokol Covid-19 di Indonesia.

Berpikir positif dan fokus pada hal baik  merupakan salah satu cara  untuk membangun optimisme.  Khalil Gibran (1883-1931)  menuliskan, "Orang-orang optimistis melihat bunga mawar, bukan dari durinya. Orang-orang pesimistis terpaku pada duri dan melupakan mawarnya."

Adanya rentang yang sangat besar antara pasien sembuh dan meninggal akibat Covid  boleh jadi "bunga mawar" itu. Data dunia menunjukkan dari total kasus sebanyak 187,4 juta orang, pasien sembuh 97,69 persen sedangkan meninggal dunia 2,31 persen. Di Indonesia, dari 2,52 juta kasus terkonfirmasi positif, sebanyak 82,5 persen sembuh; 14,9 persen masih dalam pengobatan; dan 2,6 persen meninggal dunia.

Dalam kondisi serba sulit dan penuh kesedihan ini, semangat solidaritas sesama anak bangsa pun bermekaran. Mulai dari  saling membantu tetangga yang terinfeksi, menawarkan menjadi teman  melewati masa isolasi, membuat dapur umum untuk warga tak mampu yang tidak dapat bekerja atau diputus kerja, sampai membuatkan peti mati. (Kompas, Minggu 11/07/2021)

KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI

Satuan Tugas Jogo Tonggo Kelurahan Mintaragen, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal, Jawa Tengah mengemas bahan makanan untuk diberikan kepada keluarga pasien positif Covid-19 yang sedang menjalani isolasi mandiri, Sabtu (24/10/2020). Pemberian bantuan makanan dilakukan sebagai wujud solidaritas terhadap sesama supaya proses isolasi mandiri yang dijalani keluarga pasien positif Covid-19 berjalan dengan baik.

Tidak sedikit juga  yang telah berjibaku mempertaruhkan jiwanya untuk memenangkan pertarungan dalam setahun terakhir ini. Para dokter dan tenaga kesehatan, berada di garis paling depan. Mereka yang bertugas di sektor publik dan di lapangan pun tak sedikit yang terpapar dan bertumbangan, baik itu penyelenggara negara, aparatur sipil negara, TNI/Polri, sektor swasta di industri esensial, termasuk pers.

Mereka semua orang-orang luar biasa. "Orang-orang yang optimistis tidak menunggu terjadinya perbaikan, mereka mewujudkan perbaikan itu," kata  teolog asal Jerman, Paul Wilhelm von Keppler (1852-1926).

Dalam kondisi  penuh tekanan, selain mengoptimalkan berbagai upaya  mengatasi pandemi Covid-19, pembangunan mental tidak kalah pentingnya. Kisah 33 penambang Cile yang terjebak 69 hari di tambang tua  sedalam 700 meter membuktikannya. Mengatasi mental yang jatuh, mereka  bekerjasama saling menjaga. Selain mengatur makanan dan obat yang terbatas, ada juga yang berperan  membangun harapan.

Kita perlu menyebarkan virus optimisme 


Sumber: Kompas.id - 12 Juli 2021



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger