Mari Elka Pangestu Menteri Indonesia yang Aneh Kamis, 26 May 2011 09:30 WIB
RIMANEWS - Direktur Eksekutif Econit Advisory Group, Hendri Saparini mengatakan nasionalisme Mari Elka Pangestu yang sudah dua periode menjadi Menteri Perdagangan, patut dipertanyakan. Secara umum kebijakan Mari Elka menghancurkan basis industri dalam negeri dan di saat bersamaan menciptakan pengangguran yang merupakan basis kemiskinan yang meluas.
Menurut Hendri yang dihubungi beberapa saat lalu, bukti paling dekat dari nasionalisme Mari yang patut dipertanyakan itu adalah saat dia menjadi ketua delegasi Indonesia dalam forum renegosiasi China Asean Free Trade Agreement (CAFTA) bulan April tahun lalu.
Ketika itu ada 228 pos tarif yang sedang diperbincangkan. Renegoisasi tersebut sangat krusial karena kalau gagal dapat mengancam kehidupan sembilan subsektor industri dalam negeri. Tetapi, Mari Elka Pangestu seakan berpihak kepada RRC dengan menyatakan Indonesia siap menerima barang China dalam jumlah yang lebih banyak.
Hasil pembicaraan antara Mari Elka Pangestu dan Menteri Perdagangan China, Chen Deming, di Jogja itu dituangkan dalam tujuh butir kesepakatan.
Menurut Hendri kesepakatan Jogja itu jelas merugikan Indonesia. Misalnya butir kelima yang menggarisbawahi peningkatan kredit ekspor dan impor serta kredit buyer.
"Kebijakan ini jelas merugikan industri dalam negeri, karena akibatnya importir-importir Indonesia harus tetap mengimpor barang-barang dari Cina lebih banyak," ujar Hendri.
Dalam kesepakatan itu, juga disebutkan bahwa Indonesia dan China akan menekan defisit perdagangan kedua negara. Menurut hemat Hendri, dari pasal ini saja terlihat betapa Mari Elka Pangestu tidak berfikir lebih jauh mengenai dampak negatif yang akan terjadi di Indonesia, setelahnya.
"Indonesia ditekan untuk selalu megekspor bahan mentah dan bahan baku. Sedangkan China mengimpor barang-barang jadinya. Ini kan aneh. Jelaslah China sangat senang dan untung kalau dapat banyak bahan mentah dan baku dari Indonesia," ujar Hendri lagi.
Di sisi lain, kehadiran mass product China ke pasar domestik merusak industri dalam negeri. Dengan demikian, dapat dipahami bila kalangan yang akhirnya menilai bahwa kebijakan Mari Elka Pangestu selama ini anti ekonomi domestik.
Hendri juga mencatat Mari Elka Pangestu sebagai figur yang sangat agresif untuk memberikan keuntungan kepada bangsa lain.
Sikap ini juga terlihat dalam penyusunan kesepakatan Free Trade antara Uni Eropa dan Asean. Berbeda dengan negara Asean lain yang membutuhkan waktu untuk membangun sistem yang dapat memperkuat perekonomian dalam negeri mereka, Mari Elka malah sangat mendorong, agar kesepakatan itu terwujud secepatnya.
Hendri menuding Mari tidak pernah mempertimbangkan manfaat kesepakatan perdagangan bebas. Menurutnya, menteri tersebut sangat agresif di satu sisi, namun tidak memperhatikan solusinya di sisi lain. Mari seharusnya memperkuat industri dalam negeri dengan mempersiapkan strategi yang matang dan membangun iklim kompetisi dalam negeri yang kuat.
"Tetapi faktanya Mari justru lebih agresif dalam membela kepentingan asing sehingga industri dalam negeri kita terpukul. Dan itu dibiarkannya," demikian Hendri
Catatan Bambang Soesatyo
UNFAIR trade yang dipraktikan China terhadap Indonesia sedang merusak sendi-sendi kemandirian ekonomi bangsa. Semua elemen bangsa harus menyadari kecenderungan ini, serta terus berupaya menghentikan proses pengrusakan itu. Jika terus terbuai oleh produk impor dari China berharga murah, kita mewarisi bom waktu bagi anak-cucu kita.
Kasus pembelian 15 unit pesawat MA-60 buatan China yang dioperasikan Merpati Airlines memang tidak menyenangkan banyak kalangan. Tetapi, kalau pembelian itu menimbulkan kerugian bagi Indonesia, nilai kerugiannya tidak sebanding dengan proses pengrusakan sendi-sendi kemandirian ekonomi bangsa akibat praktik unfair trade China terhadap Indonesia. Namun, debat seputar untung-rugi pembelian MA-60 itu, berikut semua kejanggalan prosesnya, patut dijadikan momentum untuk memperbarui desakan kepada pemerintah untuk mengoreksi kebijakan kerjasama perdagangan dengan China.
Berdasarkan kepentingan dan semangat itulah, saya pekan lalu menyuarakan kecaman kepada Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu. Sebelumnya, dalam konteks hubungan dagang RI-China, saya mengecam para menteri ekonomi dengan mengatakan mereka tidak militan membela kepentingan nasional.
Lalu, ketika banyak kalangan mulai cemas melihat banjir produk China di pasar dalam negeri, muncul kesan pemerintah melakukan pembiaran. Ada juga yang menyebutnya sebagai legalisasi penyelundupan produk China. Pembiaran atau legalisasi penyelundupan itu saya ibaratkan sebagai subversi terhadap ekonomi negara. Dari penyikapan yang kritis-tegas itu, harapannya tak muluk-muluk, kecuali membangunkan keprihatinan pemerintah serta mendorong inisiatif mengoreksi kebijakan perdagangan dengan China.
Tercatat bahwa berbagai elemen masyarakat sudah berulangkali menyuarakan keprihatinan yang sama, serta mengingatkan pemerintah bahwa pembiaran terhadap agresivitas China sangat membahayakan kepentingan nasional. Deindustrialisasi sedang dan terus berproses. Itu berarti ketahanan ekonomi nasional sedang menghadapi ancaman sangat serius.
Kalau hanya berpikir tentang kepentingan jangka pendek, kita boleh saja tidak memedulikan agresivitas China yang unfair itu. Akan tetapi, marilah kita berpikir strategis dan demi kepentingan jangka panjang, kepentingan anak- cucu atau generasi penerus kita. Kalau pun generasi terkini belum mampu mewujudkan kemandirian ekonomi bangsa dalam artian utuh, kita setidaknya tidak mewarisi bom waktu kepada mereka. Pembiaran terhadap proses deindustrialisasi saat ini adalah bom waktu yang belum tentu mampu ditanggung anak-cucu kita di masa yang akan dating.
Itulah salah satu alasan strategis kita untuk terus dan terus mendesak pemerintah mengoreksi atau me-renegosiasi Kesepakatan Perdagangan Bebas ASEAN-China (CAFTA). Renegosiasi mutlak diperlukan karena kita harus menjaga dan melindungi kepentingan nasional, terkini dan masa depan. Sebagai pasar yang besar, kita menolak jika Indonesia hanya dijadikan pasar oleh China atau India. Kita yakin mampu mewujudkan kemandirian, dan karena itu kita menolak skenario yang akan menjadikan Indonesia memiliki ketergantungan pada negara lain atau raksasa-raksasa ekonomi dunia. Kita menerima kesepakatan perdagangan bebas dengan siapa saja, tetapi semua negara mitra dagang harus fair, tidak boleh mengeksploitasi kelemahan dan kekurangan kita.
Akan tetapi, karena imbauan dan keprihatinan publik itu tidak juga ditanggapi pemerintah, sebuah kecaman yang lebih keras diperlukan agar presiden dan para menteri selalu sadar dan tahu bahwa rakyat tidak sependapat dengan sikap dan kebijakan pemerintah menghadapi agresivitas dan unfair trade yang dipraktikan China. Sebab, kebijakan mengenai hubungan dangan China sudah menimbulkan kerusakan yang sangat mengkhawatirkan.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sudah memastikan bahwa banjir produk China mendorong pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) mengalihkan orientasi atau banting setir menjadi importir atau penjual produk impor karena lebih menguntungkan. Apindo memprediksi, kecenderungan itu akan berlanjut bila banjir produk China serta India dengan modus dumping tidak dibendung.
Kalau sebelumnya banyak UMKM mengkreasi produk, kini semangat itu sudah tidak ada lagi. Skala usaha kecil sudah diturunkan menjadi skala mikro, sementara usaha berskala mikro diturunkan sektor informal. Apindo mencatat, kecenderungan perubahan itu melanda sektor garmen, kerajinan tangan, furniture, serta sektor makanan dan minuman.
Keberpihakan
Itulah proses deindustrialisasi. Risikonya sangat menakutkan, karena kemampuan UMKM menyerap tenaga kerja anjlok. Kalau pada 2009, sekitar 52 juta unit bisnis UMKM mampu menyerap hingga 96 juta pekerja, kini sisa daya serap itu hanya sekitar sepertiganya saja. Harap digarisbawahi, 30% UMKM dimiliki dan dikelola oleh kaum perempuan. Kalau ilustrasi singkat ini tidak juga membuat pemerintah prihatin, kepada siapa sebenarnya pemerintahan ini mengabdi?
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), defisit perdagangan China – Indonesia kian melebar. Impor dari China ke Indonesia per Maret 2011 mencapai 1,37 miliar dari bulan sebelumnya (Februari) yang 1,34 miliar dolar AS. Mayoritas produk impor dari China adalah barang modal dan barang konsumsi..
Para ahli perdagangan dan praktisi sudah memberi banyak masukan atau opsi untuk membendung agresivitas dan unfair trade yang diterapkan China. Opsi renegosiasi bilateral RI-China bagi implementasi CAFTA ternyata tidak terlaksana. Inisiatif pemerintah kedua negara dalam pertemuan di Yogyakarta untuk memperketat pengawasan ekspor-impor pun nyaris tidak membuahkan hasil apa pun. Lalu, sampai pada opsi membuat hambatan dengan menerapkan kebijakan Bea Masuk Antidumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atau safeguard. Opsi BMAD dan BMTP pun tidak ditanggapi.
Lalu, tidakkah rakyat Indonesia berhak bertanya; dengan strategi apa pemerintah akan menjaga dan melindungi kepentingan negara dan melindungi perekonomian rakyat Indonesia dari agresivitas dan unfair trade yang dipraktikan China? Ketika kita mendapatkan jawaban yang meyakinkan, apakah semua warganegara pun harus diam saja? Lalu, siapa lagi yang akan menjaga negara ini kalau bukan rakyatnya sendiri?
Kita mencatat bahwa sudah sejak awal Menteri Perindustrian MS Hidayat mengungkap kecurangan China dalam implementasi CAFTA, yang mengakibatkan terjadinya proses deindustrialisasi di Indonesia.. Dia sudah mengambil prakrasa untuk renegosiasi, namun dia diperintah untuk membatalkan agenda renegosiasi itu. Padahal, dalam konteks mengamankan kepentingan nasional, implementasi CAFTA harus dikoreksi melalui kesepakatan bilateral RI-China.
Kalau pemerintah terlihat begitu minimalis, wajar bila muncul pertanyaan tentang keberpihakan pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam konteks CAFTA itu. Berpihak pada negara atau mitra dagang? Juga aneh jika pemerintahan ini tidak prihatin dengan proses deindustrialisasi yang berkelanjutan di dalam negeri. Padahal deindustrialisasi itu sendiri bukan isapan jempol. Banyak bukti sudah dikemukakan, bahkan termasuk oleh institusi pemerintah sendiri. Beberapa kalangan seperti sudah kehilangan argumentasi, sehingga tidak tahu lagi bagaimana caranya agar pemerintahan ini bisa disadarkan tentang fakta deindustrialisasi itu.
Pembiaran terhadap proses deindustrialisasi adalah bom waktu bagi anak cucu. Sebab, deindustrialisasi akan mereduksi dan menghilangkan puluhan juta lapangan kerja di dalam negeri, kegiatan produksi barang modal maupun barang konsumsi sangat minim. Sektor manufaktur akan lumpuh, karena aneka ragam keperlun dipenuhi dengan cara impor.Karena lapangan kerja yang tersedia sangat minim, akan ada begitu banyak orang yang sulit mencari penghasilan karena menganggur. Kegagalan negara mengatasi pengangguran menyebabkan terjadinya proses pendalaman masalah kemiskinan.
Gelisah karena menganggur dan miskin akan menjadi sumbu pemicu ledakan sosial. Sekarang ini, Kita boleh saja meremehkan potensi masalah itu. Tetapi, siapa yang bisa menduga apa yang akan terjadi dalam rentang waktu lima hingga 10 tahun mendatang, ketika jumlah penganggur dan warga miskin terus membengkak?
Tidak ada maksud apa pun ketika saya mengecam Mari Pangestu. Apalagi dibelok-belokan ke soal sara, etnis atau isu rasis. Saya hanya ingin mengingatkan agar Presiden dan para menteri ekonomi tidak mewariskan bom waktu.(RM/rima)
http://www.rimanews.com/read/20110526/29420/mari-elka-pangestu-menteri-indonesia-yang-aneh |