Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 27 Juni 2012

Demokrasi Gagal

Yasraf Amir Piliang
Hasil survei lembaga riset The Fund for Peace 2012, yang menempatkan Indonesia sebagai negara gagal, telah membuat gerah pemerintah.Dengan indikator tekanan demografi, protes kelompok minoritas dan hak asasi manusia (HAM), Indonesia dianggap gagal dalam aspek pembangunan infrastruktur, pengangguran, korupsi, kekerasan terhadap kelompok minoritas agama, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Terpuruknya Indonesia di peringkat negara gagal bertentangan dengan cita-cita reformasi dan demokratisasi, karena implisit dalam indikator yang digunakan dalam penilaian adalah indikator tentang demokratisasi: kebebasan, toleransi, keadilan, HAM, hak atas pendidikan dan layanan kesehatan. Artinya, terpuruknya Indonesia menjadi negara gagal sama artinya dengan gagalnya proses demokratisasi, menghasilkan "demokrasi gagal".
Kegagalan demokratisasi karena tak ada pemahaman, kesadaran, dan penghayatan memadai soal prinsip demokrasi. Demokrasi sekadar prosedur yang ditunjukkan melalui pemilu langsung, atau melalui "kebebasan" terdistorsi, sehingga nyaris tak berbeda dari "anarkisme", tecermin dari kekerasan horizontal, kekerasan antar-aparat, kekerasan vertikal, serta merebaknya ormas anarkis, dalam kondisi absen dan lemahnya negara.
Mafia demokrasi
Gagalnya demokrasi karena dalam tubuhnya tumbuh "parasit", berupa elemen "para-demokrasi": mafia (anggaran, pajak, hukum, politik), geng (motor), preman (pasar, pengadilan), calo (anggaran, pemilu), dan para-militer (ormas anarkis). Akibatnya, ruang demokrasi jadi semacam "kamar gelap", di mana begitu banyak transaksi gelap, konsensus jahat, pertukaran ilegal dalam "pasar gelap politik".
Kekuatan "para-demokrasi" dan mafioso ini menciptakan relasi kekuasaan tak transparan, kabur, dan tak tersentuh, karena kekuasaan nyata bukan di tangan otoritas (aparat negara), tetapi di tangan semacam "kekuatan tak tampak". Inilah "kekuatan rahasia", yang dalam ketaktampakkannya melakukan aneka konspirasi, persekongkolan, komplotan, konsensus jahat, bahkan coup d'etat (Bobbio, 1987).
Kekuatan tak tampak ini menyebabkan pemberantasan korupsi gagal total, karena lembaga hukum sendiri tersandera kekuatan ini, sehingga terkesan tak independen dan menangani kasus korupsi sesuai "pesanan". Lembaga penegak hukum ini juga seakan menghadapi sebuah "tembok besar korupsi", yaitu korupsi dalam skala masif, berjemaah dan berjejaring, yang sulit diurai ujung pangkalnya, yang aktornya "bersembunyi" di dalam jejaring.
Merebaknya kekerasan, mafia, dan korupsi menunjukkan belum terbangunnya "rezim kebenaran" sebagai syarat mutlak demokrasi, yaitu karakteristik perilaku, pola, atau prosedur dan aparatus dalam menghasilkan kebenaran. Rusaknya "aparatus" rezim kebenaran ditandai mandulnya perangkat hukum, macetnya penegakan hukum, dan apatisme terhadap hukum. Hukum yang bertugas mengungkap kebenaran justru jadi "aparatus" manipulasi "kebenaran" (Foucault, 2007).
Demokrasi mensyaratkan terbangunnya "subyektivitas", yaitu individu-individu yang mengidentifikasi diri pada bahasa, gagasan, atau ideologi, yang diikat spirit toleransi dan penghargaan "sang liyan" (other), yang di atasnya ide "kebebasan" dimanifestasikan. Dalam sistem demokrasi kita "kebebasan individu" (liberalisme) "bertabrakan" dengan "kebebasan komunitas" (komunitarianisme), tanpa fondasi toleransi, yang memicu lingkaran konflik horizontal tak berujung.
Demokrasi memberi ruang hidup bagi "komunitas politik", berupa partai, ormas, gerakan sosial, atau organisasi keagamaan, untuk memperjuangkan "yang politik" (the political). Namun, di antara komunitas itu mesti dibangun relasi "adversari" (adversary), di mana keyakinan lawan kita tolak, tapi eksistensi mereka kita terima, bukan relasi "musuh", yang keyakinan dan eksistensinya kita tolak. Dalam tubuh demokrasi kita, relasi adversari ini gagal dibangun (Mouffe, 1993).
Akibatnya, konflik dan kekerasan horizontal terus merebak, tanpa ada yang dapat menghentikan: tawuran pelajar, kekerasan mahasiswa, pertarungan geng, perang suku, kekerasan antarkelompok agama, kekerasan lintas partai, atau kekerasan antar-aparat. Dalam kondisi demikian, negara seperti absen dan tak berdaya. Upaya penyelesaian konflik justru diserahkan kepada pemuka adat, suku, atau agama, karena negara sudah tak dipercaya.
Demokrasi lipstik
Demokrasi juga dianggap gagal karena ia hanya "demokrasi permukaan", demokrasi "kulit luar", yang ditunjukkan oleh dominasi citra dan pencitraan, tetapi gagal membangun hal-hal substansial: keadilan, kemanusiaan, toleransi, kejujuran, ketepercayaan, kebenaran, pengetahuan, dan intelektualitas.
Demokrasi layaknya gadis manja penuh aroma "lipstik" dan "parfum", tapi tak punya kecakapan dan kecerdasan. Demokrasi substansial terdistorsi "demokrasi prosedural" atau "demokrasi pencitraan", di mana peran citra dan pencitraan yang mestinya sekunder justru primer. Akibatnya, elemen-elemen hiburan, seduksi, retorika, permainan bahasa, permainan tanda, sensualisme, dan selebritas kini menjadi esensial. Ada proses "esensialisme yang banal" di dalam ruang demokrasi. Hanyut dalam strategi citra banal, para elite politik lupa tugas-tugas esensial demokrasi (Zi?ek, 2008).
Pikiran, kesadaran, dan energi para elite politik terserap melayani hasrat citra dan pencitraan, yang tanpa disadari jadi sebuah "ekses" sekaligus "perangkap demokrasi" berbahaya. Ini karena "demokrasi pencitraan" perlu dana sangat besar, yang harus diadakan untuk dapat merawat konstituen dan memenangi suara rakyat. Demokrasi pencitraan berbiaya tinggi ini jadi bumerang karena ia mendorong individu dan partai mencari dana ilegal, terutama korupsi.Ketika demokrasi gagal secara substansial, mestinya ada kekuatan pendorong lain. Kekuatan "demokrasi tandingan", yaitu kekuatan kelompok masyarakat, dengan fungsi surveillance, yaitu secara permanen mengawasi, memonitor, menyelidiki setiap gerak-gerik penguasa, sambil memberikan "tekanan permanen" berupa demonstrasi, petisi, atau solidaritas kolektif untuk menegakkan "kekuasaan rakyat" (Rosanvallon, 2008).
Dalam jerat intoleransi, kekerasan horizontal, kemiskinan, pengangguran, inhumanitas, banalitas demokrasi, rusaknya lingkungan, terancamnya kesehatan, rakyat justru terlupakan, sementara negara absen. Elite eksekutif tampak tak profesional, elite legislatif asyik dengan diri sendiri, sementara elite yudikatif sibuk cari uang saku. Tak ada yang mengurus infrastruktur, keadilan, kebenaran, kemanusiaan, lingkungan, dan kesejahteraan sosial.
Negara gagal karena demokrasi gagal. Demokrasi gagal karena negara-bangsa tak mampu membangun fondasi penting demokrasi, yaitu "keadaban". Adalah "keadaban" yang mendorong individu atau kelompok membangun budaya publik yang sehat, tempat ia berbuat jujur, santun, dan toleran; yang mengetahui bagaimana menghargai pihak lain sebagai adversari; yang tahu bagaimana mendengarkan orang atau kelompok lain; yang empati terhadap orang-orang tak beruntung; dan yang mendorong nilai-nilai kebaikan bersama (common good).
Ironisnya, arsitektur demokrasi kita ditopang ego individu, sentimen kelompok dan spirit sektarian yang kokoh. Demokrasi tanpa spirit kebaikan bersama—yaitu kebaikan bangsa—didominasi hasrat kekuasaan individu atau kelompok melalui pesta "demokrasi pencitraan", di mana mereka sibuk mencari uang untuk membiayai strategi pencitraan berbiaya tinggi, dan tak punya waktu mengurusi kebenaran, keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan—inilah "demokrasi gagal".
Yasraf Amir Piliang Pemikir Sosial dan Kebudayaan
(Kompas cetak, 27 Juni 2012)

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger