Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 29 September 2012

Harapan untuk Kurikulum Baru

Oleh Paul Suparno

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengungkapkan bahwa akan ada perubahan kurikulum. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang kini sedang berlangsung—meski baik—dianggap kurang cocok dengan zamannya, maka perlu diperbarui (Kompas, 5/9).

Apa yang diharapkan dari kurikulum baru? Kurikulum baru idealnya memperhatikan minimal konteks anak zaman yang mau dibantu, kritik pendidikan yang banyak muncul terhadap Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) saat ini, dan kebutuhan bangsa ke depan.

Konteks anak zaman

Anak sekarang termasuk anak generasi Z (generation net). Mereka kebanyakan sudah terbiasa berkomunikasi menggunakan internet, Facebook, Twitter, Blackberry. Mereka hidup dalam budaya serba cepat sehingga tak tahan dengan hal-hal yang lambat. Mereka anak-anak budaya instan yang serba ingin berhasil dalam waktu cepat dan kalau bisa tanpa usaha keras.

Anak-anak ini butuh model pendekatan dan model belajar yang berbeda. Mereka sudah terbiasa dengan internet, maka model pembelajaran harus menggunakan teknologi modern itu. Kalau tidak, mereka akan bosan.

Mereka sudah sering mengerjakan berbagai persoalan dalam satu waktu. Kalau mereka mengerjakan PR, mereka sekaligus juga membuka laman lain, sambil masih bicara dengan teman lewat HP dan chatting dengan teman lain lagi lewat Facebook.

Perhatiannya biasa terpecah dalam berbagai hal. Dalam mempelajari suatu bahan mereka tak mau urut, kadang dari belakang, kadang dari tengah, kadang dari muka. Ini berarti model pendekatan linear sudah kurang tepat bagi mereka. Perlu dicarikan model-model yang berbeda.

Kemajuan teknologi internet dan media menjadikan anak sekarang dipenuhi berbagai informasi dari segala penjuru dunia. Di tengah kekacauan informasi dan nilai ini mereka dituntut lebih punya keterampilan menganalisis secara kritis, memilih secara bijak, serta mengambil keputusan bagi hidupnya. Maka, ke depan, kurikulum, model dan cara pembelajaran harus mampu membantu anak menganalisis secara kritis, memilih, dan mengambil keputusan dalam hidup.

Karena guru bukan lagi satu- satunya sumber belajar dan pengetahuan, sikap anak terhadap guru pun berubah. Guru bukan satu-satunya yang harus dihormati. Maka, sikap guru pun harus berubah: bukan sebagai orang pinter yang akan menggurui, melainkan lebih sebagai fasilitator yang menjadi teman belajar. Guru tidak perlu marah bila kurang didengarkan oleh anak.

Beberapa kritik terhadap sistem pendidikan kita, terutama level SD hingga menengah, mengungkapkan bahwa mata pelajaran terlalu banyak, ada 14-16 macam. Jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dengan jam yang sedikit, menjadikan siswa tidak terlatih belajar bertekun dan mendalam. Mereka mudah puas pada lapisan atas saja. Maka, kemampuan mengolah bahan, menganalisis secara kritis bahan, kurang terjadi.

Pendidikan kita masih terlalu menekankan segi kognitif. Ini pun masih terbatas pada mencari nilai angka, bukan kemampuan menganalisis secara kritis dan mendalam suatu bahan. Akibatnya, nilai karakter sangat dibutuhkan bagi kejayaan bangsa ini kurang mendapatkan tekanan.

Tujuan pendidikan pada jenjang SD, SMP, SMA kurang begitu jelas. Sebenarnya apa yang diharapkan bila anak lulus SD, SMP, dan SMA? Kompetensi atau tujuan yang ingin dicapai ini perlu jelas, tak terlalu banyak, dan dapat dimengerti oleh siapa pun.

Kita perlu sadar, kita mendidik anak Indonesia, bukan manusia dewasa Indonesia. Maka, tuntutan kepada anak pun harus terbatas. Dalam UU Sisdiknas dan juga dalam standar pendidikan, anak- anak kita terlalu banyak dituntut sesuatu yang sebenarnya lebih merupakan tuntutan bagi orangtua. Akhirnya, kalau hal itu tidak terjadi, kita frustrasi dan anak mengalami beban berat.

Demi keutuhan bangsa ini, anak-anak bangsa harus rela menerima perbedaan di antara kita dan belajar hidup dalam semangat perbedaan itu. Maka, semangat multikultural dan penghargaan kepada tiap-tiap pribadi manusia harus ditekankan.

Kurikulum ke depan

Berdasarkan beberapa analisis di atas, kurikulum baru diharapkan memuat beberapa hal. Pertama, tujuan yang jelas untuk setiap jenjang SD, SMP, dan SMA. Tujuan ini harus singkat, sederhana, sesuai jenjangnya, dan mudah dimengerti oleh siapa pun.

Kedua, jumlah mata pelajaran perlu dikurangi sehingga anak dapat belajar lebih mendalam, dapat berpikir lebih kritis.

Ketiga, pendidikan sikap dan karakter harus dapat tekanan, bukan hanya pengetahuan.

Keempat, kurikulum yang membantu anak dapat belajar memilih dan mengambil keputusan dalam levelnya.

Kelima, kurikulum yang juga menunjang kesatuan bangsa, maka pendekatan multibudaya dan penghargaan pada nilai manusia mendapatkan tekanan.

Keenam, metode dan model pembelajarannya disesuaikan dengan situasi anak zaman.

Ketujuh, bentuk evaluasi, termasuk UN, perlu dikembangkan dengan menekankan kemampuan berpikir kritis dan bernalar.

Paul Suparno Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 29 September 2012
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger