Berbeda dengan sembilan kurikulum sebelumnya—sejak Indonesia merdeka sampai 2012—kali ini ada uji publik di Jakarta, Yogyakarta, Medan, Makassar, dan Denpasar, 29 November-29 Desember 2012.
Kurikulum memang harus terus dikembangkan dan berubah. Masalahnya, perubahan macam apa dan bagaimana infrastruktur disiapkan agar sekecil mungkin dihindari jurang perbedaan antara kurikulum di atas kertas dan yang dipraktikkan di lapangan.
Saat ini siapa pun bisa mengunduh drafnya dari situs http:/kurikulum kemendikbud.go.id. Kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim, masukan masyarakat dijadikan bahan penyempurnaan.
Tidak kita persoalkan rumusan kurikulum ini sebagai persiapan generasi emas 10 tahun Indonesia merdeka. Setiap perubahan kurikulum selalu begitu walaupun saat baru dua-tiga tahun jalan sudah digugat ketinggalan.
Tidak kita persoalkan filosofi dasar kurikulum. Setiap perubahan narasinya rasional, ilmiah walaupun selalu dilatarbelakangi kepentingan politik. Dalam draf ini menonjol keprihatinan merosotnya mutu karakter dan penyiapan generasi masa depan yang serba siap sebagai bagian dari warga dunia.
Masalah muncul ketika kurikulum diterjemahkan dalam silabus mata pelajaran. Friksi terjadi. Misalnya, penyatuan mata pelajaran IPA dan IPS atau mata pelajaran Agama seminggu lima jam. Bagaimana kekhasan IPA dan IPS dijadikan satu begitu saja? Bagaimana kemerosotan karakter begitu saja diselesaikan dengan pelajaran Agama?
Dua contoh di atas sekadar nuansa penilaian jumlah mata pelajaran, belum isi pelajaran, belum bagaimana disampaikan. Namun, urusan besar persoalan terletak pada seberapa jauh infrastruktur disiapkan, terutama guru.
Di sinilah kebesaran hati Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Masukan hendaknya tak hanya lip service, te- tapi juga dicerna bisa tidaknya, untuk kemudian jadi bahan penyempurnaan. Dengan perubahan dunia yang tunggang langgang, kita apresiasi tawaran dilaksanakan bertahap.
Namun, saat infrastruktur belum siap—terutama guru dan mempertimbangkan faktor heterogenitas Indonesia— menunda penerapan pun sebagai alternatif elegan. Lebih baik kurikulum diterapkan dengan sekecil mungkin adanya jurang kurikulum di atas kertas dan di lapangan.
Kita harapkan masukan uji publik dipakai sebagai penyempurnaan bahan. Termasuk di dalamnya—mengingat faktor heterogenitas Indonesia—harapan tidak hanya ada satu kurikulum nasional.
Kurikulum nasional minimal satu (standardisasi minimal), tetapi terjemahan ke dalam silabus mata pelajaran bisa berbeda sesuai kondisi Indonesia yang serba majemuk! Masalah ujian nasional yang dari tahun ke tahun jadi perdebatan, misalnya, teratasi. Mengapa tidak?
(Tajuk rencana Kompas, 5 Des 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar