Oleh YUDI LATIF
Demokrasi memakan korban anak- anaknya sendiri. Musibah yang menimpa Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq bukanlah yang terakhir. Apabila KPK bekerja jujur tanpa pandang bulu, masih ada beberapa ketua partai dan pembesar negeri ini yang bisa ditangkap karena kejahatan korupsi.
Cukup terang bahwa demokrasi padat modal adalah kuburan moral yang bisa membunuh cita-cita demokrasi. Apabila kita ingin menyelamatkan demokrasi dengan melakukan pertobatan nasional seperti yang dipekikkan presiden baru PKS, Anis Matta, harus ada perubahan fundamental dalam modus vivendi dan operandinya. Demokrasi tidak bisa dijalankan hanya dengan mengikuti rutinitas prosedural tanpa memenuhi prasyarat, prinsip, dan penyesuaiannya dalam konteks keindonesiaan.
Harus disadari, betapapun kita memilih demokrasi sebagai takdir kebangsaan, pemerintahan demokratis sungguh sulit kita jalankan. Pendiri bangsa memandang demokrasi sebagai pilihan yang tak terelakkan. Baik pendukung republik maupun monarki sepakat bahwa kepala negara Indonesia hendaklah dipilih oleh rakyat. Alasan utamanya, seperti dikatakan Muhammad Yamin, "negara Indonesia merdeka tidak bisa dihubungkan begitu saja dengan tradisi monarki dahulu", karena tak satu pun monarki terdahulu yang diterima legitimasi kekuasaannya oleh rakyat di seluruh Tanah Air.
Meski memilih pemerintahan demokratis, para pendiri bangsa menyadari benar perlunya mengembangkan sistem sendiri, mengingat ketidakcukupan prasyarat yang diperlukan untuk mengembangkan demokrasi ala Amerika Serikat (AS). Demokrasi pada hakikatnya pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat yang relatif setara: kesetaraan dalam pemilikan sumber daya politik dan distribusi kekuasaan. Ketika Republik Amerika Serikat didirikan, kondisi rakyatnya memenuhi prasyarat kesetaraan, kecuali orang-orang kulit hitam, Indian, dan perempuan yang pada mulanya dikucilkan secara politik. Sebagai imigran dengan "kaki telanjang", rakyat AS relatif setara dalam kekayaan, penghasilan, dan kedudukan sosial; juga dalam derajat pengetahuan-pendidikan. Mereka juga memiliki kesetaraan dalam melakukan kontrol atas pemerintah.
Prasyarat seperti itu tak hadir ketika Republik Indonesia didirikan. Sebagai masyarakat pascakolonial yang terperangkap dalam dualisme ekonomi, ketimpangan sosial mewarnai negeri ini. Segelintir orang yang menguasai sektor modern menguasai perekonomian, membiarkan rakyat di sektor tradisional terus termarjinalkan. Hal ini berimbas pada kesenjangan di bidang pendidikan—hingga kini pun sekitar 70 persen warga masih berlatar pendidikan dasar. Bertahannya hierarki tradisional feodalisme juga melanggengkan ketidaksetaraan dalam otoritas legal dan kontrol warga atas pemerintah.
Dalam multidimensi ketidaksetaraan, watak pemerintahan yang akan muncul, baik di bawah rezim otokratik maupun demokratik, tetap saja akan bersifat oligarki. Bedanya, jika oligarki di masa otoritarianisme bercorak militeristik, di masa demokrasi liberal bercorak kapitalistik. Dengan kata lain, Indonesia belum bisa menjalankan demokrasi substantif. Sejauh yang berkembang hanyalah oligarki dalam mantel demokrasi.
Sementara pemerintahan berwatak oligarki, kebebasan sebagai paket demokratisasi tidak selalu mengarah pada kesetaraan, tetapi bisa juga memperlebar ketidaksetaraan. Liberalisasi politik yang memacu liberalisasi pemilikan dan perusahaan, dalam lebarnya ketimpangan sosial, bisa memperkuat dominasi pemodal besar. Pertumbuhan ekonomi tidak diikuti oleh pemerataan. Dalam memperkuat dominasinya, para pemodal bisa menginvasi prosedur demokrasi.
Menyadari potensi destruktif demokrasi liberal dalam konteks ketidaksetaraan rakyat Indonesia, para pendiri bangsa berusaha merancang demokrasi "sistem sendiri". Disadari, untuk jangka tertentu, watak demokrasi Indonesia masih akan bersifat oligarki. Desain sistem harus mengupayakan agar oligarki yang muncul adalah oligarki benevolent yang berhikmat kebijaksanaan, yang berempati pada penderitaan rakyat dengan memperjuangkan keadilan sosial.
Mengantisipasi kemungkinan prinsip keadilan liberal berbasis "equal liberty" bisa mengarah pada ketidaksetaraan yang lebih lebar, sistem sendiri berusaha mengimbanginya dengan prinsip keadilan multikulturalisme berbasis the principle of difference, dengan melakukan pengakuan politik atas kelompok-kelompok marjinal.
Arsitek demokrasi di era Reformasi tampaknya melupakan imperatif prasyarat demokrasi; langsung mengadopsi institusi demokrasi liberal yang tidak sepenuhnya kompatibel dengan kondisi sosio-historis Indonesia. Kegagalan paling nyata dari desain demokrasi cangkokan ini adalah ketidakmampuan institusi demokrasi menciutkan kesenjangan guna menghadirkan kesetaraan sebagai prasyarat demokrasi.
Dengan institusi demokrasi yang menggelembungkan biaya kekuasaan, kekuatan modal mendikte demokrasi. Penguatan partai politik identik dengan penguatan modal. Korupsi politik menjadi tak terelakkan. Parpol secara tak sadar melakukan bunuh diri. Pertobatan nasional mengharuskan kita segera keluar dari jalan sesat ini jika kita sungguh-sungguh ingin berdemokrasi demi kebaikan bangsa.
Yudi Latif, Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
(Kompas cetak, 5 Feb 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar