Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 13 Maret 2013

Islam dan Teologi Pengharapan (ZULY QODIR)

Oleh ZULY QODIR
Teolog Jerman, Hans Kung, pernah menulis bahwa atas dasar investigasi literatur yang dilakukan pada lima pokok ajaran Islam; sahadat, shalat, pembayaran zakat, puasa, dan haji merupakan hal yang esensial untuk menuju paradigma teologi harapan pascapemerintahan Islam masa kenabian, khulafaur rasyidin, dan para sahabat dengan perspektif baru (Hans Kung, 2008).
Kutipan di atas sengaja dipergunakan untuk memulai tulisan ini. Hal itu penting karena setelah masa kenabian, khulafaur rasyidin, dan sahabat salafus salih, Islam sering kali mengalami banyak distorsi dalam praktik dan penyebarannya di Indonesia. Bahkan, pasca-Perang Dunia I dan Perang Dingin, Islam di Indonesia seakan-akan menjadi Islam yang memiliki penampilan galak dan sadis.
Islam hadir di Indonesia penuh dengan kekerasan dan kurang bersahabat dengan sesama pemeluk agama Tuhan di bumi Indonesia. Sebagai agama mayoritas, Islam di Indonesia bahkan menampakkan seakan-akan sebagai agama yang penuh dengan persoalan internal sehingga kontribusinya untuk perkembangan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia mengalami kebuntuan.
Komunitas Muslim Indonesia non-arus utama (bukan Muhammadiyah dan NU) sering menampakkan aktivitas yang cenderung menakutkan sesama umat Muslim. Komunitas non-arus utama sering melakukan aktivitas ritual dan pengajian yang sangat mengutamakan fashion. Fashion dalam maknanya yang serba glamor, bukan yang sederhana dan merakyat.
Islam Indonesia yang dianut para elite politik benar-benar berbeda dengan teladan yang ditinggalkan khulafaur rasyidin dan para sahabat segenerasi mereka yang kita sebut kaum salafus salih. Islam yang dianut para elite politik Indonesia penuh kepalsuan. Meski menganut Islam, para tersangka korupsi dan terpidana korupsi tetap mampu tersenyum di depan kamera televisi dan tanpa beban berkomentar bahwa peristiwa ini adalah fitnah. Peristiwa yang sedang menimpa dianggap sebagai pembunuhan karakter anak bangsa, serta kalimat lain yang jelas sekali sebagai pembelaan.
Perhatikan peristiwa yang mengenaskan dan terus menghantui kaum minoritas Ahmadiyah di Lombok. Perhatikan pula peristiwa yang menimpa Jemaah Syiah (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) di Madura yang menjadi bulan-bulanan Islam mayoritas. Kaum Muslim di dua daerah tersebut seakan-akan tidak rela atas kehadiran Ahmadiyah dan Jamaah Syiah. Padahal, dua komunitas itu hadir sejak lama di sana. Pertanyaannya, mengapa baru-baru ini saja mereka mengalami perlakuan yang mengerikan, diusir dari tanah airnya sendiri oleh kaum mayoritas?
Islam ke depan
Lalu, teologi macam apa yang kita harapkan tumbuh dan berkembang dari Islam di Indonesia? Di sinilah relevansi kutipan dari teolog Hans Kung perlu mendapatkan perhatian serius kalangan Muslim Indonesia.
Perspektif baru berteologi Islam ke depan adalah paradigma Islam yang mampu berdialog dengan dunia nyata. Islam harus mampu dihadirkan untuk dialog dengan kondisi kekinian. Islam harus mampu dihadirkan untuk membangun dialog sebab dengan dialog Islam akan mampu memberi kontribusi bagi perkembangan peradaban dunia. Peradaban dunia merupakan karakter dari keislaman yang membela kemanusiaan, bukan Islam yang bertentangan dan melawan kemanusiaan.
Islam yang sesuai dengan kemanusiaan itulah Islam yang berperadaban, bukan Islam yang monopolistik, tiranik, apalagi sadis dan teroris. Islam yang sesuai dengan kemanusiaan merupakan Islam yang dianut kaum Muslim yang panjang akal, bukan kaum Muslim yang pendek akal.
Islam panjang akal jelas merupakan keinginan sebagian besar bangsa di muka bumi, khususnya bumi Indonesia yang tercinta. Sementara Islam pendek akal merupakan Islam yang berkarakter menipu, tirani, ingin benar sendiri, dan tidak menghargai kehadiran umat lain yang sama-sama menanamkan kebajikan. Umat lain, sekalipun berbuat bajik, tetap saja dihakimi dengan caranya sendiri sebagai pengkhianat dan ingkar akan Tuhan.
Sungguh sebuah perspektif keislaman yang harus segera ditinggalkan agar Islam beranjak dari buritan menuju peradaban yang utama, peradaban yang menghargai keragaman dan kebajikan umat lain yang berbeda keyakinan. Muslim pendek akal hanya akan mendistorsi otentisitas dan semangat kemanusiaan.
Ringkasnya, Muslim panjang akal merupakan aktualisasi Islam yang santun, ramah, damai, dan menyejahterakan sesama umat Tuhan. Sementara itu, Muslim pendek akal merupakan aktualisasi Islam yang "belepotan" dengan kebencian, penipuan, kepalsuan belaka, kecurigaan, dan pertumpahan darah karena semangatnya menghabisi dan merendahkan liyan.
Karena itu, paradigma keislaman yang kita harapkan sebagai bentuk konkret dari teologi pengharapan seperti disarankan Hans Kung adalah Islam yang tidak mengumbar janji-janji politik kepada publik. Harapan atas teologi Islam ke depan adalah Islam yang mengajarkan sekaligus mengamalkan ajaran menyejahterakan umat manusia sebagai bentuk kebajikan. Sebab, kelak lebih baik ketimbang sekarang di muka Bumi, wal akhiratu khairu laka minal dunya, dan di akhirat kelak lebih baik daripada di dunia!
Oleh karena itulah, mari kita sambut gagasan teologi harapan versi Islam Indonesia sebab kontribusinya sangat diharapkan sebagai agama besar di Indonesia. Ketika Islam gagal menghadirkan teologi harapan, ancaman perang antarperadaban yang akan membumihanguskan kemanusiaan akan semakin nyata.
Di Indonesia, Islam amat penting kontribusi dan kehadirannya. Islam sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini akan turut menentukan maju dan hancurnya bangsa yang sedang tercabik-cabik pelbagai macam kepalsuan para elite politik. Kepada para ulama, kaum terdidik, dan pendakwah yang tercerahkan, Islam masa depan sebagai harapan. Islam Indonesia tidak bisa diharapkan dari mereka yang pendek akal.
ZULY QODIR Sosiolog
(Kompas cetak, 13 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger