Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 28 Maret 2013

Keberpihakan Pemerintah (Tajuk Rencana Kompas)

Perkeretaapian menjadi berita. Lebih dari 2.000 orang memblokade jalur kereta api di Stasiun Bekasi. Mereka menolak penghapusan KRL Ekonomi.
Blokade pada Senin lalu mengakibatkan perjalanan kereta api dari Bekasi batal. Pengunjuk rasa menolak rencana direksi PT KAI menghapuskan KRL ekonomi lintas Bekasi-Serpong per 1 April 2013 dan KRL ekonomi lintas Bogor pada 1 Juni 2013. Direksi PT KAI memang berencana menghapuskan KRL Ekonomi karena kondisi armadanya sudah tidak memadai. Tarif KRL ekonomi Rp 1.000-Rp 2.000, sedangkan tarif KRL nonsubsidi Rp 7.000-Rp 9.000. Kebijakan inilah yang diprotes pengguna KRL ekonomi. Berpindah dari KRL ekonomi ke KRL nonsubsidi memang berat bagi penumpang dengan penghasilan pas-pasan.
Setelah diberitakan media, protes itu ditanggapi sejumlah komentar. Sayangnya, sikap pejabat pemerintah yang seharusnya satu itu tak satu pandangan. Kita kutip pernyataan Dirjen Perkeretaapian Tundjung Inderawan di media massa. Tundjung meminta PT KAI menunda lebih dahulu penghapusan KRL ekonomi sampai kebijakan tiket elektronik berjalan.
Di sisi lain, Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) melalui Deputi V UKP4 Nirarta Samadhi justru mendukung kebijakan PT KAI menghapus KRL ekonomi karena armadanya sudah tidak memadai.
Direktur PT KAI Ignasius Jonan patuh atas permintaan Dirjen Perkeretaapian untuk menunda penghapusan KRL ekonomi. Namun, Jonan meminta agar permintaan Dirjen Perkeretaapian itu disampaikan tertulis kepada PT KAI. Permintaan Jonan masuk akal karena PT KAI sebenarnya hanya menjalankan kontrak penugasan dari Dirjen Perkeretaapian. Perintah tertulis itu tentunya bukan sekadar perintah, tetapi juga menuntut tanggung jawab operasional dan finansial, termasuk di dalamnya meningkatkan anggaran pelayanan publik.
Perbedaan pandangan antarpejabat terjadi akibat tak baiknya hubungan antar-institusi yang akhirnya mengorbankan rakyat. Menyediakan transportasi publik yang nyaman dan aman tidak hanya tanggung jawab PT KAI, tetapi juga pemerintah. Manajemen PT KAI yang terus memperbaiki pelayanan dan hasilnya sudah bisa dirasakan hanyalah operator yang menjalankan kebijakan pemerintah. Namun, harus disadari, PT KAI adalah BUMN.
Di sinilah sebenarnya fokus gugatan kita, di mana sebenarnya keberpihakan pemerintah dalam hal pengelolaan transportasi publik. Jika pemerintah mampu dan mau memberikan subsidi bahan bakar minyak sampai Rp 175 triliun, mengapa subsidi untuk perkeretaapian tidak bisa ditingkatkan. Padahal, menurut pengamat perkeretaapian Djoko Setijowarno, di harian ini, 93 persen BBM bersubsidi dinikmati kendaraan pribadi. Jika Rp 175 triliun subsidi BBM bisa diberikan, seharusnya subsidi untuk transportasi publik yang dinikmati rakyat kecil sepatutnya juga bisa ditingkatkan.
(Tajuk Rencana, Kompas, 28 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger