Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 21 Maret 2013

Kemelut Harga Pangan (Khudori)

Khudori
Hanya kurang dari setahun kita telah dihadapkan pada gonjang-ganjing harga tiga komoditas: kedelai, daging, dan bawang.
Harga tiba-tiba melonjak tinggi, padahal tak ada tekanan pada sisi permintaan. Urusan pangan ternyata kian rentan karena ketergantungan terhadap pangan impor kian akut. Ketika harga pangan di pasar dunia bergejolak, harga akan langsung ditransmisikan ke pasar domestik.
Pemerintah tidak berdaya mengendalikan harga. Ada banyak sisi yang bisa menerangkan mengapa ini terjadi.
Pertama, dominasi orientasi pasar kebijakan pangan. Banyak komoditas pangan, termasuk kedelai, daging, dan bawang, diserahkan kepada mekanisme pasar. Kalaupun diatur, hanya waktu dan kuota impor. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen sudah pejal pada guncangan pasar.
Kedua, konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir pelaku. Orientasi pasar membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor. Ini terjadi hampir pada semua komoditas yang volume dan nilai impornya amat tinggi, seperti gandum, gula, kedelai, beras, jagung, dan daging, tak terkecuali bawang (putih). Bisnis impor ini bahkan sudah menjadi political rent-seeking.
Ketiga, instrumen stabilisasi amat terbatas. Sejak Bulog mengalami "setengah privatisasi" menjadi perusahaan umum, praktis kita tidak memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan. Bulog yang dulu amat perkasa, mengurus enam pangan pokok dan mendapatkan berbagai privilese, kini telah dipreteli. Saat ini Bulog hanya mengurus beras, itu pun dengan kapasitas terbatas.
Dalam stabilisasi kebutuhan pokok, Malaysia jauh lebih baik. Malaysia, sejak tahun 1946, memiliki The Price Control Act untuk mengontrol harga barang yang kebanyakan barang makanan. Juga ada The Control of Supplies Act yang berlaku 1961. UU ini mengatur keluar-masuknya barang di perbatasan. Dalam UU itu harga 225 kebutuhan sehari-hari warga dan 25 komoditas dikontrol pada hari-hari besar. Ada pula Majelis Harga Negara yang memonitor harga barang, menerima keluhan masyarakat, dan mendukung cadangan pangan nasional. Ditopang beleid komprehensif dan kelembagaan yang kredibel, inflasi di Malaysia bisa ditekan rendah.
Keempat, absennya kelembagaan pangan. Sejak Menteri Negara Urusan Pangan dibubarkan pada 1999, tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan. Otonomi daerah membuat produksi pangan domestik diurus daerah. Padahal, elite daerah tak menjadikan pertanian dan pangan sebagai tumpuan untuk pencitraan. Bahkan, peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah. Mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian pangan lahir dari daerah.
Urai problem struktural
Hasil akhir jalinan empat faktor itu membuat kinerja produksi pangan domestik merosot, diiringi melonjaknya pangan impor. Pada 2012, nilai impor pangan mencapai Rp 63,9 triliun, hortikultura Rp 12,9 triliun, dan peternakan Rp 15,4 triliun. Peningkatan impor terbesar terjadi pada subsektor pangan.
Saat krisis pangan meledak pada 2008, defisit subsektor pangan baru 3,178 miliar dollar AS. Tahun 2011, defisit meledak lebih dari dua kali lipat (6,439 miliar dollar AS). Nilai impor paling besar disumbang gandum, kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging, bakalan sapi, buah-buahan, dan bawang putih.
Saat ini Indonesia bergantung pada impor gandum (100 persen), kedelai (78 persen), susu (72), gula (54), daging sapi, (18), dan bawang putih (95). Sebagian besar diimpor dari negara maju. Sampai kini belum ada tanda ketergantungan akut impor itu menurun. Padahal, permintaan pangan terus melonjak. Laju permintaan pangan di Indonesia 4,87 persen per tahun. Agar kecukupan pangan tercapai, laju suplai pangan harus lebih besar dari permintaan. Artinya, laju suplai atau pertumbuhan produksi harus lebih dari 5 persen per tahun. Padahal, tidak mudah menggenjot produksi lebih dari 5 persen per tahun.
Untuk mengurai berbagai problem struktural itu, diperlukan sejumlah kebijakan. Pertama, meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha tani dan tata niaga komoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis berbasis sumber daya lokal, tak ada alasan untuk tak swasembada. Kebijakan ini harus ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur, pembenahan sistem informasi harga, pasar, dan teknologi. Dalam batas tertentu, kinerja produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk sistem perdagangan dan tata niaga yang tidak efisien, konsentris, dan oligopolis.
Kedua, merevitalisasi Bulog dengan cara memperluas kapasitasnya. Bulog tak hanya mengurus beras, tetapi beberapa komoditas penting lain disertai instrumen yang lengkap, seperti cadangan, harga, pengaturan impor (waktu dan kuota), dan anggaran yang memadai. Impor komoditas pangan pokok yang semula diserahkan kepada swasta bisa dikembalikan sebagian atau seluruhnya kepada Bulog.
Ketiga, segera menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal 126 UU Pangan. Kelembagaan baru ini diharapkan tak hanya berkutat pada perumusan kebijakan dan koordinasi pembangunan pangan, tetapi juga menuntaskan kemelut harga pangan.
Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
(Kompas cetak, 21 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®














Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger