Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 28 Maret 2013

Redesain Relasi Negara-Masyarakat (MUNAFRIZAL MANAN)

Oleh MUNAFRIZAL MANAN
Infrastruktur yuridis untuk melakukan redesain relasi negara-masyarakat telah dan sedang disiapkan oleh legislator. DPR dan pemerintah tampaknya bersepakat untuk membuat undang-undang yang memperkuat negara dan memperlemah masyarakat.
Alasan menjustifikasi urgensi pembentukan legislasi tersebut sepintas masuk akal. Namun, legislator gagal meyakinkan masyarakat sipil dan tidak memperoleh dukungan dari mereka. Sebab, paradigma yang dianut legislator adalah memperkuat negara dan memperlemah masyarakat.
Eksperimen pertama memperkuat negara atas masyarakat adalah melalui UU Intelijen Negara. Draf rancangan UU ini memberikan wewenang besar kepada intelijen negara. Setelah merevisi beberapa klausul krusial dalam RUU itu—karena mendapat kritik dan resistensi dari sejumlah kalangan—legislator akhirnya mengesahkannya. Sejumlah elemen masyarakat sipil menguji UU ini di Mahkamah Konstitusi. Putusan MK menolak mengabulkan pengujian UU tersebut.
Intelijen negara kini punya sandaran yuridis mengintensifkan aktivitas memonitor masyarakat. Masalahnya, bagaimana memastikan aktivitas intelijen dilakukan semata-mata untuk kepentingan negara, bukan kepentingan politik penguasa. Belum lama ini, Presiden SBY menyatakan mendapat informasi dari intelijen terkait upaya membuat gonjang-ganjing politik yang dilakukan oleh sebagian elite politik dan kelompok tertentu.
Pernyataan ini menyusul ditetapkannya Anas Urbaningrum sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan berkunjungnya sejumlah politisi partai dan tokoh nonpartai ke rumahnya (Kompas 4/3, halaman 2). Sulit membedakan laporan intelijen kepada Presiden itu untuk kepentingan negara atau untuk kepentingan politik Presiden yang juga sebagai petinggi Partai Demokrat.
Seolah berpacu dengan waktu, legislator menambah infrastruktur yuridis lain untuk memperkuat negara dan memperlemah masyarakat. Program Legislasi Nasional 2013 bersikukuh meloloskan RUU Keamanan Nasional, RUU Organisasi Kemasyarakatan, dan RUU Rahasia Negara. Padahal, tiga RUU ini menyulut kontroversi dan ditolak oleh sejumlah elemen masyarakat sipil.
Represi negara
Menyisir pasal demi pasal tiga draf RUU ini, tampak jelas perancangnya mengusung misi memperkuat negara dan memperlemah masyarakat. RUU Keamanan Nasional berpotensi memberangus kebebasan sipil, membungkam suara kritis publik, dan memfasilitasi represi negara atas masyarakat. RUU Organisasi Kemasyarakatan mengusik kebebasan berserikat dan menuntut kepatuhan organisasi masyarakat kepada negara. RUU Rahasia Negara berdaya mempersempit ruang keterbukaan informasi publik.
Sukses strategi meloloskan UU Intelijen Negara tampaknya dipakai untuk meloloskan ketiga RUU tersebut. Draf RUU sengaja memberi wewenang besar kepada negara. Karena alasan citra politik, DPR kemudian akan melakukan penghalusan atas klausul-klausul krusial, tetapi akhirnya tetap menyetujui memperkuat negara dan memperlemah masyarakat.
Peta kekuatan politik di DPR yang didominasi enam fraksi anggota Sekretariat Gabungan Partai Politik Pendukung Pemerintah sangat mungkin menyetujui pengesahan tiga RUU itu. Karena itu, ketiga RUU di atas beserta UU Intelijen akan menjadi paket UU yang ampuh mendesain ulang pola relasi negara-masyarakat.
Posisi negara kuat pada masa Orde Baru telah dilucuti sejak era Reformasi bergulir tahun 1998. Berbagai infrastruktur yuridis yang dibuat bertujuan mengurangi kekuasaan negara, khususnya lembaga eksekutif, dan memperkuat masyarakat. Secara langsung, penguatan masyarakat dilakukan dalam bentuk jaminan tertulis hak asasi manusia dan hak konstitusional.
Secara tidak langsung, penguatan masyarakat dilakukan melalui revitalisasi lembaga legislatif sebagai representasi wakil rakyat dan lembaga yudisial sebagai pelaku kekuasaan kehakiman untuk menegakkan negara hukum demokratis.
Menyusul ambruknya pilar- pilar kekuasaan otoritarian Orde Baru, gigantisme kekuasaan negara menyusut drastis, tetapi tidak takluk. Pada saat bersamaan, masyarakat mengalami penguatan vis-à-vis negara, tetapi kekuatan masyarakat tak kuasa mengambil alih kepemimpinan negara. Negara sekadar mengalami defisit legitimasi untuk terus mendominasi dan menghegemoni masyarakat karena dipretelinya infrastruktur yuridis otoritarianisme.
Selama periode transisi menuju demokrasi, pola hubungan negara-masyarakat ditandai oleh ketegangan di antara kedua belah pihak. Namun, masing-masing pihak tidak mampu mendominasi dan menghegemoni pihak lain. Keduanya memiliki daya tangkis dan daya tahan sejajar karena sama-sama mengalami penguatan relatif dan pelemahan relatif (Munafrizal Manan, Gerakan Rakyat Melawan Elite, 2005).
Gelagat reotoritarianisme
Dalam batas tertentu, pola relasi negara-masyarakat sekarang mulai mendekati idealisasi prinsip demokrasi, yaitu posisi negara dan masyarakat seimbang. Demokrasi tidak menghendaki negara terlalu kuat karena akan menciptakan otoritarianisme. Demokrasi juga menolak masyarakat terlalu kuat karena akan mengobarkan anarkisme. Demokrasi menghendaki negara dan masyarakat secara seimbang sama-sama kuat agar berlangsung mekanisme checks and balances di antara keduanya. Mekanisme checks and balances tidak hanya penting antarlembaga negara, tetapi juga antara negara dan masyarakat.
Praktik demokrasi mensyaratkan keseimbangan hubungan antara negara dan masyarakat. Pola relasi negara-masyarakat seperti inilah yang dapat menjamin demokrasi berlangsung persisten. Ketika negara menginisiasi legislasi untuk memperkuat negara dan memperlemah masyarakat, saat itulah prinsip demokrasi tercederai. Paket UU di atas menggoyang bandul keseimbangan pola hubungan negara-masyarakat. Paket undang-undang itu dapat disalahgunakan untuk kepentingan politik atau mempertahankan kekuasaan oleh penguasa sekarang atau berikutnya.
Alih-alih menciptakan keamanan nasional dan tertib sosial, paket UU ini justru menjadi sumbu pemicu hubungan negara-masyarakat konfliktual pada masa datang. Hukum sejarah menunjukkan, jika negara menjadi lebih kuat daripada masyarakat, cepat atau lambat akan muncul resistensi masyarakat mengembalikan keseimbangan itu. Membiarkan negara menjadi lebih kuat atas masyarakat sama artinya mempersilakan negara menjelma otoriter. Pengalaman panjang dibelenggu otoritarianisme telah mengasah sensitivitas masyarakat akan bahaya gelagat reotoritarianisme.
MUNAFRIZAL MANAN Dosen FISIP Universitas Al-Azhar, Indonesia
(Kompas cetak, 28 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger