Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 08 Maret 2013

RUU Pilkada dan Solusi Progresif (Laode Ida) 

Laode Ida
Pihak pemerintah yang mengajukan draf RUU itu mengusulkan—sekaligus gencar mengampanyekan—agar gubernur tidak lagi dipilih secara langsung, melainkan cukup dipilih DPRD provinsi. Sementara bupati dan wali kota tetap dipilih secara langsung oleh rakyat.
Beberapa alasan yang diajukan pemerintah mudah dipahami, antara lain pemilihan kepala daerah, dalam UUD 1945 (hasil amandemen), memang menggunakan istilah "dipilih secara demokratis", tetapi dianggap tidak harus selalu dipilih rakyat secara langsung.
Langgar hakikat reformasi
Berbeda dengan pemilihan presiden yang dalam konstitusi secara tegas dinyatakan "dipilih secara langsung" oleh rakyat sehingga jika hanya dipilih para anggota DPRD, itu sudah konstitusional juga. Pertimbangan penghematan biaya pemilihan gubernur (jika melalui DPRD) pun ditonjolkan karena saat ini dianggap terlalu besar. Demikian juga alasan kerap terjadinya konflik horizontal komunal antarpendukung, termasuk alasan titik tekan otonomi pada level kabupaten/kota sehingga posisi bupati/wali kota dianggap perlu diperkuat.
Argumen-argumen pembenaran itu sekilas memang terkesan masuk akal, tetapi sebenarnya merupakan suatu penyederhanaan dan mau gampangnya saja, yang pada tingkat tertentu bisa melanggar hakikat reformasi. Mengapa?
Pertama, istilah "demokratis" tidak bisa disederhanakan berdasarkan tafsir kontemporer menurut persepsi penguasa. Lokus demokrasi adalah individu. Setiap warga negara memiliki hak menentukan pilihan politiknya, termasuk dalam memilih pemimpinnya. Jika sudah diakui, disadari, dan dirasa dimiliki setiap warga, hak politiknya tak boleh lagi dirampas penguasa atas nama penyederhanaan pengaturan.
Jika hal itu dipaksakan, sama halnya dengan menginjak-injak substansi reformasi, atau juga mengkhianati para pejuang reformasi yang berdarah-darah, berkorban jiwa, dan materi.
Dalam praktik, demokrasi dalam pemilihan gubernur di DPRD berbeda secara signifikan dengan demokrasi dalam pemilihan langsung oleh rakyat. Para anggota DPRD memang individu-individu yang memiliki hak, tetapi siapa yang bisa menyangkal bahwa tak seorang pun di antara mereka terbebas dari koordinasi paksa oleh pimpinan parpol mereka. Mereka dikendalikan secara terstruktur langsung dari pimpinan pusat setiap parpol. Jika ada anggota yang membangkang, risikonya disingkirkan atau di-recall parpolnya, sesuatu yang lebih menakutkan lagi.
Tepatnya, demokrasi di DPRD pada dasarnya adalah rekayasa yang bisa bertentangan dengan aspirasi rakyat yang sesungguhnya, apalagi praktiknya tidak lebih dari oligarki sekelompok elite yang tergabung di lintas parpol; sungguh merupakan pelanggaran substansi demokrasi pada era reformasi ini.
Kecuali itu, ide pemilihan gubernur dipilih oleh DPRD, jika hal itu diwujudkan, sangat jelas merupakan kebijakan yang diskriminatif. Soalnya, dalam konstitusi istilah "dipilih secara demokratis" adalah untuk seluruh kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota), tidak dibedakan satu sama lain. Lalu, mengapa kemudian dalam praktiknya akan dibedakan?
Kedua, jika dibangun di atas logika pembiayaan, sebenarnya yang mesti dipilih DPRD bukanlah gubernur, melainkan bupati/wali kota. Soalnya, jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia (selain 5 kota dan 1 kabupaten administratif di DKI Jakarta) saat ini mencapai 503 (termasuk 11 kabupaten yang dimekarkan tahun 2012), sedangkan jumlah provinsi hanya 34 (termasuk satu provinsi Kalimantan Utara). Fakta statistik menyebut, anggaran jauh lebih banyak disedot untuk pembiayaan pilkada kabupaten/kota (perkiraan lebih dari Rp 15 triliun untuk kabupaten/kota, dan Rp 5 triliun untuk pemilihan gubernur).
Besar kecilnya biaya pilkada sebenarnya bergantung pada kebijakan yang digunakan. Komponen-komponen pembiayaan, dalam konteks ini, pada dasarnya bisa dikurangi secara signifikan tanpa mengurangi kualitas hasilnya. Misalnya, berkampanye secara tertutup-dialogis niscaya akan mengefisienkan biaya sekaligus memperkecil risiko konflik fisik antarpendukung. Demikian juga komponen biaya pendaftaran pemilih, yang diperbaharui dari waktu ke waktu, tidak diperlukan lagi karena cukup menggunakan kartu tanda penduduk, apalagi sekarang sudah ada E-KTP. Banyak komponen biaya lain juga bisa dikurangi secara signifikan, sekali lagi, jika aturan diperbaiki.
Perkuat posisi gubernur
Ketiga, memang benar bahwa pemerintah kabupaten/kota harus fokus pada pelayanan masyarakat, sedangkan pemerintah provinsi atau gubernur harus memainkan fungsi koordinasi dan pengawasan. Namun, jika logika ini digunakan, seharusnya posisi gubernur yang perlu diperkuat legitimasi sosio-politiknya secara langsung dari rakyat, bukan sekadar legitimasi hukum yang dipaksakan dari atas dengan kesepakatan para elite politik di DPRD. Tepatnya, gubernurlah prioritas pemilihan secara langsung, sedangkan bupati/wali kota bisa dipertimbangkan untuk disederhanakan pemilihannya, dan bukan sebaliknya.
Ada potensi instabilitas "delegitimasi" secara sosio-politik lokal terkait posisi gubernur, yakni kemungkinan akan adanya situasi pembangkangan dari bawah, baik oleh para bupati/wali kota maupun masyarakat. Apalagi, kedua unsur itu menyatu untuk "menghadapi atasan". Sebagian bupati/wali kota mungkin akan merasa memiliki dukungan rakyat yang kuat sehingga derajat kepatuhan pada gubernur akan rendah. Persoalan akan lebih parah saat parpol mengalami demoralisasi di mata publik seperti hari-hari ini.
Keempat, alasan mengurangi konflik horizontal sebenarnya juga terbalik. Sebab, pengalaman selama ini banyak terjadi konflik, termasuk benturan fisik dan atau perusakan fasilitas publik, pada pemilihan bupati/wali kota. Secara sosi-kultural, posisi bupati/wali kota memiliki derajat kedekatan fisik dan emosional dengan rakyat yang memilihnya sehingga wajar jika kerap terjadi persinggungan fisik secara langsung.
Bahkan, pada banyak kasus ditemukan terjadi keretakan keluarga atau persaudaraan yang berkepanjangan sebagai dampak dari perbedaan pilihan figur karena di antara kandidat yang menjadi kontestan masih memiliki hubungan darah atau keluarga satu sama lain.
Sementara terhadap gubernur, jarak fisik dan emosionalnya relatif jauh. Hanya kerap terjadi sentimen berbasis etnis atau wilayah asal calon/figur sehingga relatif bisa dikendalikan, apalagi jika dilakukan perubahan kebijakan ke arah yang lebih kondusif. Kecenderungannya, memang, derajat emosional dan potensi konflik di tingkat rakyat sejalan dengan jarak posisi jabatan yang sedang diperebutkan. Semakin dekat posisi jabatan strategis yang diperebutkan itu dengan rakyat pemilih, semakin kuat pula potensi konfliknya, dan sebaliknya.
Beberapa argumen di atas diharapkan menjadi renungan sehingga tidak mengesankan bahwa rencana perubahan lokus demokrasi pemilihan gubernur hanya karena "kebuntuan berpikir produktif" seraya memundurkan praktik demokrasi, seraya kemudian lari dari upaya pemecahan yang lebih progresif.
Laode Ida Wakil Ketua DPD RI
(Kompas cetak, 8 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger