Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 31 Maret 2013

Santet (Bre Redana)

Bre Redana
Serasa absurd membayangkan apa yang dilakukan para anggota DPR tatkala mereka melakukan yang disebut studi banding ke Eropa untuk urusan santet—sama absurdnya membayangkan pasal santet dalam KUHP sendiri. Eropa, santet. Apakah mereka rapat di ruang-ruang parlemen di Eropa? Atau membongkar arsip-arsip di perpustakaan-perpustakaan kuno? Atau termangu-mangu di depan etalase Louis Vuitton, sembari mencoba menembus waktu, untuk melihat penampakan sesuatu yang telah ditinggalkan Eropa selama ribuan tahun?
Ah, ada-ada saja. Zaman gelap atau Dark Ages Eropa sudah lama ditinggalkan. Bahkan di awal zaman pertengahan, mengenai runtuhnya Roma pada sekitar 400 tahun Masehi, Agustinus berujar: Roma runtuh bukan karena munculnya keyakinan baru, melainkan karena dosa-dosa lama yang terus berlanjut, yakni percabulan dan korupsi di kalangan politisi. Interregnum Roma adalah masa terburuk bagi imajinasi, serebral (maksudnya otak), serta mereka yang tidak beruntung. Ia hanya menguntungkan bagi yang kuat, punya senjata, sentosa, manipulator, dan makmur kurang lebih bisa berbelanja barang-barang mewah di Eropa, seperti para anggota DPR kita.
Ruang dan waktu. Ini perlu disinggung lagi. Zaman sebelum Galileo yang ada hanya keyakinan terhadap kalender. Tentang ruang, karena dunia dipercaya sebagai datar, kalau pergi kejauhan kita akan sampai ke tubir laut, tubir jurang: hati-hati, di sana banyak makhluk aneh siap memangsa manusia. Kesadaran akan ruang yang dibawa oleh para kartografer modern memberikan dimensi baru bagi manusia: mitos, takhayul, klenik, gugontuhon, mulai ditinggalkan.
Para anggota DPR sebenarnya tak perlu sampai ke Eropa—cukup ke taman bacaan desa saya—untuk mengetahui, bagaimana kemudian Eropa masuk ke zaman Renaisans. Selain perkembangan ilmu pengetahuan dan intelektualitas, para humanis pada abad ke-16 meletakkan dasar bagi perkembangan dunia ke depan: rasionalisme pada abad ke-17; Enlightenment pada abad ke-18; Marxisme pada abad ke-19; pragmatisme, determinisme, empirisme pada abad ke-20; dan seterusnya. Anda silakan tanya Rocky Gerung, Tommy Awuy, Romo Mudji, atau entah siapa. Bagi saya pribadi, zaman multikonduktor dan globalisasi di depan lebih dekat daripada zaman takhayul pada abad-abad yang lewat.
Pengertian sivilisasi sekarang ini adalah masyarakat yang secara relatif mencapai tingkat kebudayaan dan teknologi yang tinggi. Bahkan di lingkungan perguruan silat di Bogor yang mendalami mind-body-spirit, kalau mind diterjemahkan sebagai pikiran, body sebagai tubuh, spirit tidak serta-merta diterjemahkan "roh".
"Kita harus hati-hati," kata guru silat Gunawan Rahardja. "Kita ini kalau bicara spirit mudah tergelincir menjadi roh halus, hantu, pocong. Kita melatih tubuh dan otak untuk mencapai kesadaran," tambahnya. Tak ada tempat bagi irasionalitas.
Benar-benar absurd membayangkan pasal santet, yang konsekuensinya tentunya adalah hakim santet, hukum santet, pendidikan santet, komisi santet—para anggota komisi santet siapa saja nanti? Mbah, eyang, mbak, atau jeng siapa? Pakai jubah hitam seperti di televisi? Dilengkapi dengan sumpah pocong, tuyul, film-film hantu, mistik Cipularang, perdukunan para artis, televisi yang hidup di alam gaib, hendak kita kemanakan sebenarnya negeri ini? Ingat, bahkan salah satu Bapak Bangsa kita di zaman susah dulu pun telah menulis tentang materialisme, dialektika, logika. Madilog.
Ada yang berujar, nyatanya di kampung-kampung sering terjadi penganiayaan terhadap orang yang diduga melakukan santet, teluh. Kalau itu yang terjadi, yang dibutuhkan bukan pasal santet, melainkan pendidikan rakyat semesta.
 (Kompas cetak, 31 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger