Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 30 April 2013

Belajar dari Negara Lain

PT Pertamina tahun lalu mengumumkan bahwa pendapatan bersih pada 2011 sebesar Rp 24 triliun. Jumlah itu meningkat 40 persen dibandingkan tahun 2010.

Namun, dibandingkan perusahaan minyak dan gas bumi di belahan bumi lain, pendapatan bersih mereka juga rata-rata naik 40 persen. Kenaikan itu ternyata terutama ditopang kenaikan harga minyak mentah dunia. Pada saat sama, perusahaan migas Malaysia, Petronas, dan perusahaan migas Brasil, Petrobras, pendapatan bersihnya bahkan tujuh kali lipat Pertamina. Ilustrasi ini menunjukkan pentingnya belajar dari negara lain bagaimana mengapitalisasi cadangan minyak sehingga dapat mengembangkan ketahanan energi dalam negeri. Dengan perbandingan itu, akan diketahui apakah tata kelola migas Indonesia sudah tepat.

Tata kelola migas terdiri dari tiga fungsi, yaitu fungsi kebijakan, regulasi, dan bisnis. Dunia migas mengenal dua jenis tata kelola, yaitu kebijakan dua kaki fungsi dan kebijakan tiga kaki fungsi. Kebijakan dua kaki menggabungkan fungsi regulasi dan bisnis. Penganut kebijakan dua kaki antara lain Malaysia, Angola, Arab Saudi, Rusia, dan Venezuela. Kebijakan tiga kaki adalah pemisahan ketiga fungsi. Penganutnya antara lain Norwegia, Brasil, Aljazair, Meksiko, Nigeria, dan Indonesia.

Selain dua jenis tata kelola ini, sesudah tahun 1999, Angola, Rusia, dan Venezuela meletakkan fungsi kebijakan dan regulasi di bawah kementerian. Di Indonesia, fungsi kebijakan dijalankan pemerintah dan DPR. Fungsi operasi dijalankan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas. Sementara fungsi bisnis dijalankan Pertamina. Sekarang, yang menjadi perdebatan, apakah Indonesia hendak menganut kebijakan tiga atau dua kaki. Apakah perbedaan kebijakan itu berpengaruh pada produksi? Kajian terhadap model kebijakan ini telah dilakukan Mark C Thurber dan kawan-kawan dari Universitas Stanford dengan judul Mengekspor Model Norwegia: Pengaruh Desain Administrasi pada Kinerja Sektor Minyak (Energy Policy, 2011).

Lima negara yang dianggap bagus kinerja hulunya dalam studi ini adalah Norwegia, Brasil, Arab Saudi, Angola, dan Malaysia. Alasannya, pemerintah mereka mendukung eksplorasi dan produksi migas, baik finansial maupun nonfinansial, terlepas dari ada atau tidak adanya pemisahan ketiga fungsi kebijakan, regulasi, dan bisnis. Permasalahan utama itu adalah tata kelola yang terfragmentasi. BUMN yang mengelola migas Indonesia adalah Pertamina. Namun, sumbangan terhadap total produksi minyak siap jual Pertamina hanya 16-17 persen. Ditambah produksi minyak siap jual perusahaan migas swasta nasional, total sumbangan perusahaan migas domestik sekitar 23-24 persen.

Dibandingkan dengan perusahaan migas nasional di sejumlah negara di dunia, produksi Pertamina paling kecil. Saudi Aramco di Arab Saudi, yang terbesar, hampir 100 persen produksi terhadap minyak nasional. Petronas pun menyumbang 60 persen dari total produksi minyak nasional Malaysia. Dari kondisi itu terlihat ada kesalahan tata kelola migas yang sangat fatal. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 mengatur, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketika diterjemahkan dalam tata kelola migas, tujuannya adalah meningkatkan produksi minyak siap jual.

Produksi minyak jual memerlukan tiga komponen. Pertama, modal sangat besar. Kedua, teknologi yang sangat kompleks. Ketiga, kemampuan mengelola risiko yang cukup baik. Tiga komponen itu hanya dimiliki perusahaan internasional. Perusahaan nasional Indonesia lemah dalam tiga hal ini. Akibatnya, jika produksi minyak jual yang memerlukan tiga komponen itu jadi tujuan, tentu saja tata kelola migas seolah-olah pro-asing.

Nasionalisme energi

Oleh karena itu, perlu suatu nasionalisme energi yang terukur. Tujuan tata kelola migas adalah membangun industri migas nasional, tetapi tetap menjaga keseimbangan produksi minyak siap jual sehingga tak anti-asing.

Agar suatu tata kelola migas berjalan baik, perlu strategi kompak atau strategi yang komprehensif. Hal inilah yang tak ada di Indonesia. Tak ada seorang pun atau tidak ada satu institusi pun di Tanah Air yang mengambil alih tanggung jawab strategi "perahu" migas ini mau dibawa ke mana.

Kembali ke pengalaman Norwegia, tahun 1969 ditemukan cadangan migas yang sangat besar di sana. Pemerintah Norwegia bukan mengundang investor atau perusahaan asing, melainkan mendirikan perusahaan migas nasional Statoil. Padahal, saat itu mereka belum mampu mengelola migas. Dengan sejumlah kegagalan, minyak baru bisa diproduksi tahun 1975-1976.

Pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman Norwegia itu adalah mereka menetapkan tujuan dari tata kelola migas, yaitu membangun industri migas nasional. Masalah yang terjadi itu bukan masalah transfer teknologi yang dapat dipelajari tiap hari, tetapi bagaimana mengelola harapan, yaitu bagaimana seluruh komponen bangsa mengerti bahwa kita sedang membangun suatu industri migas nasional. Karena itu, kita harus membayar mahal dengan APBN. Apa yang salah dengan industri migas nasional saat ini? Pengelolaan hasil pendapatan dari sumber energi migas cenderung berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rutin APBN. Tujuan utama Indonesia adalah tujuan miopik jangka pendek, yaitu produksi minyak siap jual yang cepat menghasilkan dana segar. Akibatnya, alokasi dana bagi pengembangan infrastruktur dan kegiatan eksplorasi cukup lama relatif terabaikan. Tidak ada dimensi upaya membangun industri pendukung, industri hulu, atau industri hilir.

Contohnya adalah dalam alokasi belanja modal. Belanja modal Petronas hampir sepuluh kali lipat Pertamina. Hal Ini bukan kesalahan Pertamina, tetapi kesalahan negara. Kesalahan itu antara lain dalam hal strategi mengelola modal. Jika Malaysia berorientasi pertumbuhan, Indonesia berorientasi pada laba.

Jika strategi mengelola modal berorientasi pada pertumbuhan, modal dari pendapatan bersih diinvestasikan kembali untuk mendukung pertumbuhan. Pertumbuhan yang dimaksud adalah pembangunan kapasitas, akuisisi riset dan teknologi, serta pembangunan budaya perusahaan. Modal itu juga untuk membiayai proyek-proyek baru. Misalnya, 70 persen laba Petronas dikembalikan ke Petronas sehingga eksekutif punya ruang merespons dinamika pasar karena belanja modal besar.

Laba Pertamina dari tahun 1965 hingga 2000-an yang dikembalikan sebagai investasi hanya 5 persen. Itu pun masih dipajaki. Artinya, Pertamina kekurangan modal secara kronis. Akibat dari kekurangan modal kronis dapat dilihat dari perbandingan antara lahan konsesi dan produksi. Lahan konsesi Chevron Indonesia Company, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) asal AS, sekitar 5.000-7.000 km2. Lahan konsesi Total E&P Indonesie, KKKS asal Perancis, hanya 2.000-3.000 km2. Bandingkan dengan Pertamina yang memiliki lahan konsesi 140.000 km2.

Namun, produksi Chevron Indonesia Company mencapai 45 barrel per km per hari, Total E&P Indonesie 23 barrel per km per hari, sedangkan Pertamina hanya 0,9 barrel per km per hari.

Kesimpulannya, Pertamina perlu kapitalisasi. Lebih luas dari itu, perlu suatu strategi cerdas, sistematik, dan komprehensif. Yang paling penting lagi, perlu kepemimpinan yang berani, berintegritas, dan memberi inspirasi. Kepemimpinan itu diharapkan mampu menggerakkan seluruh komponen bangsa sehingga strategi itu bisa ditransformasi ke implementasi yang efektif.

(Kompas cetak, 30 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger