Dari tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014, bagi partai politik yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilihan umum, Senin (22/4) adalah batas akhir penyampaian daftar calon sementara anggota DPR dan DPRD.
Batas waktu yang sama berlaku pula bagi perseorangan yang berminat menjadi senator (anggota DPD) untuk menyampaikan bukti dukungan minimal pemilih dari daerah pemilihan. Bagi parpol, penyusunan dan pengajuan calon merupakan pelaksanaan Pasal 54 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk menentukan nama-nama yang akan ditawarkan kepada pemilih. Namun, dengan ambang batas parlemen 3,5 persen, dapat dipastikan penyusunan daftar calon anggota legislatif (caleg) sekaligus menjadi skenario penting bagi parpol dalam meraup suara pemilih.
Oleh karena itu, sejumlah parpol memberi ruang kepada segenap lapisan masyarakat untuk menjadi calon dengan cara mendaftarkan diri. Tidak hanya pasif menunggu masyarakat mendaftar, parpol pun menggunakan strategi "jemput bola", terutama bagi tokoh publik yang potensial dapat dukungan besar pemilih. Andai tak semuanya terpilih, paling tidak kehadiran mereka telah memberikan sumbangan signifikan terhadap parpol.
Berkaca dari pengalaman selama ini, tokoh publik yang menjadi sasaran parpol untuk dijadikan pendulang suara (vote getter) di antaranya adalah artis, olahragawan, akademisi, dan (pensiunan) birokrat. Bahkan, pada level lebih tinggi, tanpa peduli dengan logika sistem presidensial, sebagian parpol dalam koalisi Presiden SBY mengajukan menteri sebagai calon anggota DPR. Logikanya jelas: meraih suara sebanyak mungkin sekalipun harus "meninggalkan" kader sendiri.
Apa pun pertimbangan di balik semua itu, di tengah keprihatinan kita atas meruyaknya perilaku koruptif yang melanda sebagian anggota DPR dan DPRD, proses pencalonan anggota legislatif menjadi fase mahapenting. Sebagai pintu masuk menuju kursi legislatif, tahapan ini harusnya dijadikan saringan awal untuk mendesain dan sekaligus memperbaiki citra lembaga perwakilan rakyat hasil Pemilu 2014.
Syarat longgar
Dalam posisi sebagai hukum dasar, UUD 1945 menyatakan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan sama dalam pemerintahan. Namun, kesempatan itu dipersempit oleh Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah parpol. Karena itu, UU No 8/2012 hanya memberi ruang bagi parpol mengajukan calon. Karenanya, parpol jadi satu-satunya pintu masuk bagi calon anggota DPR dan DPRD. Sayang sekali, posisi sentral dalam penentuan calon tak diikuti dengan ketentuan UU No 8/2012 yang dapat memaksa parpol mengajukan calon yang mampu merawat DPR dan DPRD sesuai makna hakiki kehadirannya sebagai lembaga perwakilan rakyat. Merujuk Pasal 51 UU No 8/2012, tak satupun persyaratan yang dapat memaksa parpol mengajukan calon dengan rekam jejak yang tidak diragukan bila terpilih sebagai wakil rakyat.
Satu-satunya syarat yang memungkinkan menghambat laju mereka yang bermasalah: tak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah punya kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Dalam konteks membangun lembaga perwakilan yang kredibel, syarat ini pun terasa sangat formal-legalistik. Tak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa persyaratan menjadi calon anggota DPD dan DPRD sangat longgar.
Bahkan, untuk persyaratan yang diperlukan dalam menopang kemajuan ekonomi saja tak dicantumkan, yaitu keharusan calon memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kalau NPWP saja tidak ada, bagaimana mungkin menelusuri ketaatan calon membayar pajak. Padahal, sebagai wakil rakyat, kepatuhan membayar pajak adalah salah satu bukti dalam menilai keberpihakan kepada rakyat. Kalau NPWP tidak hadir sebagai sebuah persyaratan, tentu saja syarat lain yang memiliki risiko tinggi tidak akan pernah muncul.
Menjadi calo
Secara faktual, parpol telah menyampaikan nama calon anggota DPR-DPRD ke KPU. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU tidak bisa melakukan banyak perubahan dari nama calon yang diusulkan. Dalam hal ini, tugas KPU hanya sebatas memverifikasi keterpenuhan persyaratan calon. Dalam posisi demikian, tak mungkin bagi KPU menolak calon yang dinilai bermasalah. Artinya, jangan pernah membayangkan bahwa calon yang, misalnya, tak punya komitmen melawan korupsi dan tak memiliki penghormatan terhadap penegakan konstitusi dan HAM akan tertapis dalam proses verifikasi di KPU.
Karena itu, seandainya memiliki komitmen dalam mengajukan calon anggota DPR dan DPRD dengan kredibilitas yang tidak diragukan, parpol dapat membuat kriteria yang lebih ketat untuk melakukan penyaringan awal. Kriteria itu sangat dimungkinkan oleh Pasal 52 Ayat (2) UU No 8/2012, yaitu dengan cara memformulasikan dalam aturan internal parpol peserta pemilu. Sekiranya itu dilakukan, parpol mampu memosisikan diri sebagai penyaring awal sebelum disaring pemilih.
Meski demikian, berkaca dari proses yang ada, jangankan memosisikan diri sebagai penyaring awal, sebagian parpol peserta pemilu enggan keluar jebakan lama penyusunan calon. Padahal, seperti dilansir Tajuk Kompas (22/4), menjadi anggota DPR (dan juga DPRD) bukanlah seperti melamar pekerjaan, di mana pengurus parpol adalah majikan. Bahkan, yang paling ditakutkan banyak kalangan, jangan-jangan parpol terjebak perilaku calo dengan hanya menghitung kemungkinan besarnya peluang meraih suara pemilih.
Untuk keluar dari kekhawatiran itu, parpol harus mampu menangkap secara benar kegelisahan publik atas calon yang dinilai bermasalah. Caranya amat sederhana, keluarkan mereka dari daftar calon. Meski nama-nama telah disampaikan ke KPU, parpol masih punya kesempatan menjadi penyaring, yaitu ketika KPU menyampaikan hasil verifikasi. Dalam kesempatan itu, parpol tak hanya memiliki ruang memperbaiki syarat yang belum terpenuhi, tetapi dapat juga mengganti nama bermasalah. Membiarkan nama bermasalah menjadi calon sama saja memelihara kebusukan yang dapat menghancurkan citra lembaga legislatif. Dari pengalaman yang ada, mereka yang bermasalah cenderung memanfaatkan lembaga legislatif sebagai benteng berlindung dari proses hukum. Sebagian besar waktu mereka yang bermasalah digunakan untuk "memperdagangkan" kewenangan lembaga legislatif demi kepentingan sesaat.
Oleh karena itu, hasilkanlah calon dengan proses yang benar dan kredibel, bukan layaknya hasil dari sebuah proses percaloan. Tawarkan kepada pemilih calon-calon yang menggunakan wibawa lembaga legislatif untuk kepentingan rakyat, bukannya calon yang setelah terpilih berubah menjadi calo di lembaga legislatif.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
(Kompas cetak, 26 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar