Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 26 April 2013

Memahami Aceh

Oleh Sulastomo

Pada 1964, sebagai dokter sukarelawan Dwikora, kami ditempatkan di sebuah rumah di Desa Lamprik.

Terdiri dari tiga kamar besar dan satu paviliun, rumah itu ternyata disediakan bagi Teuku Da- ud Bereuh, tokoh Darul Islam di wilayah Aceh. Namun, Teuku Da- ud Bereuh tidak pernah tinggal di situ. Kok bisa kepada tokoh Darul Islam, yang mengangkat senjata melawan pemerintah, disediakan tempat tinggal seperti itu?

Lamprik sekarang termasuk daerah elite di Banda Aceh. Jalan besar di depan rumah itu menghubungkan Banda Aceh dan Darussalam, bahkan dinamai Jalan Daud Bereuh. Inilah pendekatan ala Aceh, pikir kami.

Pada 1990-an, beberapa kali kami jalan darat dari Medan ke Banda Aceh. Darul Islam sudah tak ada, muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak 1970-an. Namun, perjalanan Medan-Banda Aceh aman-aman saja. Tahun 2006, kami berkunjung ke Sigli. Di kanan kiri jalan terpampang sekretariat GAM. MOU Helsinki waktu itu sudah ditandatangani (2005): diakui hak-hak khusus bagi Provinsi Aceh. Selain itu, dalam konsep otonominya, diberlakukan Syariat Islam. Tahun 2013 timbul masalah bendera Aceh. Apa yang harus dilakukan?

Daerah bergolak

Dalam sejarah, Aceh barangkali termasuk daerah yang selalu bergolak: sejak zaman penjajahan Belanda sampai Indonesia merdeka. Tokoh-tokohnya, termasuk Tjut Nyak Dien yang wanita, terkenal gigih melawan Belanda. Namun, di awal kemerde- kaan, rakyat Aceh jadi pelopor kemerdekaan dengan menyumbangkan sebuah pesawat terbang.

Kenyataan itu mengindikasikan bahwa rakyat Aceh selalu gelisah dengan lingkungannya. Kegelisahan bersumber dari terganggunya kehormatan, harga diri, atau ketidakadilan. Menolak penjajahan Belanda atau bagaimana wilayah RI yang kaya sumber daya alam itu kondisinya masih sangat tertinggal: antara lain ditandai dengan tingginya prevalensi penyakit TBC. Inilah momentum tampilnya tokoh pejuang Aceh menghadapi Belanda ataupun Pemerintah RI.

Sumber moralnya agama. Untuk meredakan pergolakan itu, peran pendekatan agama sangat besar. Antara lain, selaku provinsi yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, pemberian otonomi dengan memberlakukan Syariat Islam adalah salah satu wujud pendekatan itu. Pencarian pewujudan rasa keadilan tampaknya harus disertai pemberian hak-hak tertentu untuk mengelola wilayah itu, termasuk sumber daya alamnya. Pembagian kekuasaan jadi tuntutan sehingga dalam MOU Helsinki, Aceh punya kebebasan yang lebih dibandingkan dengan wilayah lain di RI.

Ketika semua itu tercapai, Aceh akan menyatu. Tak ada Darul Islam dan tak ada lagi GAM sebab semua sudah terakomodasi dalam pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam. Tokoh-tokohnya dihormati sebagaimana contoh penghormatan terhadap Teuku Daud Bereuh. Dan, bendera Merah Putih masih berkibar sebagai bendera nasional.

Memahami fenomena seperti itu, perundingan Pemerintah RI dan GAM yang menghasilkan MOU Helsinki menunjukkan pemahaman yang tepat para perunding kita. Hal ini terlepas dari adanya pendapat mengapa kita harus berunding dengan gerakan yang hendak memisahkan diri? Demikian juga Pemerintah RI yang waktu itu menugasi para Perunding RI.

Sikap sama masih diperlukan ketika harus menyikapi "bendera Aceh". Bahwa keputusan DPR Aceh mengenai bendera Aceh tak terkait dengan semangat menghidupkan kembali GAM atau Darul Islam meski bendera itu mirip bendera GAM. Aceh masih dalam pangkuan NKRI dan Merah Putih masih berkibar di Aceh.

Jalan keluar

Dengan mencermati pengalaman menangani masalah Aceh, insya Allah masalah bendera Aceh dapat diselesaikan. Syaratnya: harus ada saling percaya. Bahkan, harus saling paham posisi dan budaya lokal. Tujuannya agar Aceh tetap dalam pangkuan NKRI. Untuk itu, baik gubernur maupun DPRD Aceh harus mampu meyakinkan bahwa Aceh akan tetap dalam pangkuan NKRI. Sebaliknya, pemerintah pusat juga harus dapat menghilangkan prasangka bahwa Aceh hendak keluar dari NKRI.

Saling percaya ini yang sempat dirusak prasangka berlebihan dan bersumber pada kecurigaan: dengan bendera itu, GAM masih eksis dan mengindikasikan masih kuat semangat memisahkan diri dari NKRI. Padahal, dengan pendekatan itu, justru keberadaan GAM akan hilang. Inilah pendekatan Aceh sebagaimana Aceh juga menyelesaikan masalah Darul Islam dengan menghormati Teuku Daud Bereuh sebagaimana dikemukakan di atas.

Memberi inspirasi kepada daerah lain untuk menempuh jalan yang sama? Ini berlebihan. Daerah lain tak memiliki sejarah, budaya lokal, dan nasib seperti Aceh.

Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus

(Kompas cetak, 26 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger