Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 27 April 2013

Fenomena Kebinekaan (Sjamsoe’oed Sadjad)

Oleh Sjamsoe'oed Sadjad

Kebinekaan bangsa saat ini jadi isu nasional yang dominan. Mungkin hal itu disebabkan sering terjadi benturan fisik dari yang sangat lokal seperti tawuran siswa dan mahasiswa sampai yang lebih luas seperti tawuran antardesa dan antarkesatuan.

Banyak komentar bermunculan, dari yang mendasarkan pada persoalan ekonomi yang bineka hingga yang lebih mengerikan menyangkut mentalitas anak bangsa yang sakit. Sejumlah saran memang dilontarkan, seperti perbaikan pendidikan dengan pembaruan kurikulum dan juga yang paling sederhana seperti anjuran meningkatkan toleransi.

Sebagai anak bangsa, kesadaran saya akan adanya kebinekaan bangsa baru semenjak mengenal lambang negara, Garuda Pancasila. Terpampang di kaki garuda semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Tanpa ada gereget untuk memperdalam arti dan maksudnya, saya hanya mengartikan bahwa perbedaan agama, suku, dan adat dalam bangsa ini harus bisa dipersatukan menjadi satu bangsa ialah bangsa Indonesia.

Saya pahami istilah-istilahnya secara sederhana yang perbedaan itu perlu menjadi tunggal ika yang berarti satu. Jadi, istilah "ika" dipahami sebagai "eka", padahal pemahaman itu sesudah dipikirkan lebih lanjut tentunya salah. Sebab, istilah "tunggal" itu sudah berarti satu. Tidak mungkin kalau pencipta semboyan dalam suatu lambang negara memerlukan dua kata untuk memberi arti "satu".

Arti "ika"

Sudah lama sekali saya ingat ada tulisan (entah di mana) tentang arti istilah "ika", tetapi sayang tak sedikit pun teringat di kepala saya. Hanya barangkali bisa menjadi pegangan saya bahwa istilah "ika" yang menjadi manunggalnya kebinekaan anak bangsa ini tidak berarti jelek.

Untuk memperkuat keyakinan ini saya coba mencari arti istilah "ika" dari buku-buku koleksi saya. Pertama saya mencari dari kamus bahasa Latin, tidak saya temukan. Dari kamus bahasa Belanda, Inggris, Jepang—yang barangkali memengaruhi pencipta lambang Garuda Pancasila mengunduh istilah "ika" dari bahasa-bahasa itu mengingat pengaruh zamannya—juga tidak ada.

Istilah 'ika" saya temukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai kata-kata "ikamah", sedangkan istilah "ika" saja tidak saya temukan. Bahkan, saya telusuri dengan menggantikan huruf "k" dengan huruf mati lainnya, mulai dari "iba" sampai dengan "iza" yang barangkali mendekati pengertian istilah "ika", juga tidak ada.

Istilah "ikamah" diartikan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai seruan terakhir untuk memulai sembahyang. Saya simpulkan, istilah "ika" tentu mengandung arti yang baik.

Belum puas sampai di situ, saya cari arti "mah" dalam kamus itu yang diberi keterangan dari kata "maha" dengan contoh "mahraja" sama dengan "maharaja". Saya kaitkan juga pencarian saya untuk mengerti istilah "ika" secara harfiah dengan kata-kata "mahardika" yang berarti "berbudi", "luhur". Jadi barangkali ada hubungan arti "ika" dengan "budi" dan "keluhuran".

Saya telusuri juga barangkali kata "ika" merupakan bahasa Jawa Kuno yang bisa saya temukan dalam buku Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie karangan Prof C van Vollenhoven (1918), tetapi tidak saya temukan istilah itu. Apa boleh buat, mudah-mudahan ada yang bisa mengungkapkan arti "ika" dari sumber lain dan menuliskan di harian Kompas. Redaksi barangkali juga bisa menemukan, atau siapa tahu yang pernah saya baca puluhan tahun lalu itu justru tulisan di harian ini.

Memprihatinkan

Terlepas dari pencarian pengertian istilah "ika", masalah kebinekaan bangsa ini kiranya perlu kita renungkan lebih mendalam karena sudah menjadi keprihatinan luas. Kebinekaan bangsa ini sudah takdir dan harus bisa diresapi keindahannya.

Sesuatu yang serba mono tidak selalu indah karena tidak terwujud harmoni. Sebuah lukisan yang merangkai berbagai bentuk dan warna menimbulkan harmoni yang dapat berupa keindahan yang bisa dinikmati, bahkan mewujudkan ketenteraman bagi yang dapat merasakan.

Kehidupan pribadi seseorang juga memerlukan kebinekaan. Hari demi hari kalau diperhatikan terjadi kebinekaan juga dalam kehidupan. Hidup monoton, kata orang, cepat buat mati. Secara falsafati, sakit pun perlu disyukuri karena bisa merasakan nikmatnya sehat. Dalam keluarga pun selalu ada kebinekaan. Karakter masing-masing anggota keluarga tidak mesti sama.

Kebinekaan itu menimbulkan harmoni yang menenteramkan. Begitu selanjutnya kebinekaan dalam wilayah RT, RW, kampung, desa, kota/kabupaten, provinsi, dan akhirnya negara.

Negara kita yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia terletak memanjang di garis khatulistiwa dari barat ke timur dengan kebinekaan dalam berbagai hal. Tidak bisa kita hilangkan kebinekaan itu. Bahkan, kebinekaan harus bisa menjadi kebanggaan kita karena sumber daya alam dan manusia itu, termasuk kebinekaannya, menjadi kekayaan seluruh bangsa kita untuk membangun ekonomi biru (kelautan) dan ekonomi hijau (pertanian) secara berkelanjutan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Wujudkan harmoni

Menghidupkan budaya daerah untuk tetap berbineka harus bisa kita rangkai sehingga mewujudkan keindahan harmoni yang menenteramkan batin sebagai budaya nasional. Tidak cukup sebatas lahiriah, misalnya, yang sekarang lagi tren, busana daerah yang menjadi aturan busana karyawan instansi pemerintah di hari-hari tertentu.

Demikian pula menggairahkan penciptaan kuliner daerah sebatas show business pada suatu event yang diorganisasi sesaat. Fenomena friksi antarkelompok sehingga sampai terjadi clash fisik yang menimbulkan korban tak cukup diatasi dengan sekadar anjuran peningkatan toleransi.

Terjadinya ekses kebinekaan memang bisa dilatarbelakangi berbagai sebab. Sebenarnya, hal itu bisa diatasi secara lebih mendasar kalau kita kembalikan kepada falsafah Pancasila, yang sesudah reformasi sepertinya meredup akibat barangkali jenuhnya kita dengan usaha menghayatinya pada era Orde Baru.

Pancasila sebagai karakter bangsa dengan menghayatinya secara menyeluruh kelima silanya hendaknya kembali perlu kita tanamkan di masyarakat melalui program pendidikan masyarakat yang tidak bersifat doktriner atau indoktrinasi. Khusus dalam mengisi kebinekaan, perlu kita kembali kepada lambang negara, Garuda Pancasila.

Seharusnya kita mencari bagaimana mengisi "menunggalkan keikaan" dalam menciptakan keharmonisan dalam kebinekaan kita. Saya kira ini menjadi PR kita seluruh anak bangsa dari Sabang sampai Merauke. Khusus bagi saya pribadi, memang masih ada PR untuk mengerti arti "ika" secara harfiah dalam konteks lambang negara Garuda Pancasila. Semoga saja ada yang menolong.

Sjamsoe'oed Sadjad Guru Besar Emeritus Fakultas Pertanian IPB

(Kompas cetak, 27 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger