Belum terlihat program terobosan, tetapi telah mencuat lagi silang pendapat tentang perlu atau tidaknya ujian nasional. Di tengah polemik itu, Badan Pemeriksa Keuangan menyarankan, proses tender, penggandaan, dan distribusi naskah soal ujian nasional diserahkan kembali kepada provinsi masing-masing seperti tahun-tahun lalu.
BPK juga mengusulkan, penyiapan materi, pengamanan, pemantauan, dan proses evaluasi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Masukan BPK dinilai penting di tengah masih lemahnya keinginan dan upaya mencegah terulangnya kekisruhan Ujian Nasional 2013.
Sampai sekarang, pemerintah sendiri, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, belum menjelaskan kepada publik langkah taktis dan strategis untuk mencegah kekisruhan pelaksanaan ujian nasional di tahun-tahun mendatang.
Tentu saja masyarakat akan tetap bingung jika tidak ada kejelasan dan penjelasan tentang apa yang harus dilakukan untuk mencegah terulangnya kekacauan ujian nasional. Sungguh menarik pula mengamati perilaku masyarakat dalam menanggapi kekisruhan pelaksanaan ujian nasional. Semua mengeluh dan mengecam, tetapi tidak terlihat desakan kuat ke arah upaya perbaikan.
Persoalan kekacauan Ujian Nasional 2013 tentu saja bukan sekadar masalah kedodoran percetakan dan distribusi naskah soal ujian, tetapi lebih menyangkut visi dan manajemen pendidikan nasional yang kedodoran. Segera kelihatan pula bagaimana penyelenggaraan pendidikan dilakukan dalam kultur yang sama sekali tidak mendukung. Naskah soal ujian begitu gampang dibocorkan, yang memperlihatkan rendahnya kualitas kejujuran.
Tantangan yang dihadapi sangat kompleks. Penyelesaian soal teknis, seperti percetakan dan distribusi naskah soal ujian, tentu saja penting, tetapi jauh lebih penting bagaimana meletakkan sistem pendidikan dalam orientasi untuk kepentingan penguatan sumber daya manusia Indonesia.
Pengalaman banyak negara membuktikan, kemajuan tidak pertama-tama datang dari sumber daya alam, tetapi dari sumber daya manusia. Keberlangsungan dan kesinambungan pembangunan selalu berpijak pada sumber daya manusia yang terdidik. Peluang mencetak sumber daya manusia berkualitas sangatlah terbuka bagi bangsa Indonesia. Alokasi dana pendidikan tergolong tinggi.
Jelas pula, proyeksi Indonesia menjadi salah satu negara ekonomi tinggi tahun 2030 menjadi ilusi jika pendidikan tidak segera dibenahi. Orientasi pendidikan bangsa Indonesia dikhawatirkan akan kacau dan kedodoran jika terus dibiarkan menjadi arena tarik-menarik kepentingan politik, kekuasaan, dan bisnis, tanpa memperhatikan masa depan generasi muda Indonesia yang menjadi taruhannya.
(Tajuk Rencana Kompas, 27 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar