DPR dan pemerintah dewasa ini tengah membahas RUU Pilkada, tetapi sama sekali tidak dikaitkan dengan efektivitas pemerintahan daerah. Kalau demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh dan/atau oleh yang mewakili rakyat, dan untuk rakyat, RUU Pilkada yang mengatur sistem pemilihan umum kepala daerah perlu didesain demi efektivitas pemerintahan daerah.
Pemerintahan daerah yang efektif ditandai sekurang-kurangnya oleh dua hal. Pertama, kebijakan publik daerah yang disepakati oleh kepala daerah dan DPRD sesuai aspirasi warga daerah.
Kesesuaian antara kebijakan publik yang ditetapkan dan aspirasi warga daerah terlihat pada dua tataran. Anggota DPRD dan pasangan calon kepala daerah terpilih dalam pemilu berarti alternatif kebijakan publik yang ditawarkan pada masa kampanye sesuai dengan aspirasi sebagian terbesar warga daerah. Pada tataran berikutnya, proses pembahasan rencana kebijakan publik itu melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat.
Kedua, kebijakan publik daerah tersebut dapat diimplementasikan menjadi kenyataan sehingga manfaatnya dapat dirasakan warga daerah. Dengan demikian, kesejahteraan warga sebagai tujuan pemerintahan daerah terwujud.
Pemilu lokal serentak
Sekurang-kurangnya enam aspek infrastruktur politik perlu diciptakan untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang efektif. Dari enam unsur sistem pemilu, yang dipandang berkaitan erat dengan keenam "infrastruktur" politik tersebut adalah pola kalender waktu penyelenggaraan sejumlah jenis pemilu.
Dari enam pola kalender pemilu di dunia ini, tampaknya pola pemilu nasional serentak dipisah dari pemilu lokal serentak selang waktu 24-30 bulan, yang paling mampu menciptakan keenam aspek infrastruktur politik daerah tersebut.
Pemilu nasional serentak (pemilu presiden/pilres dan pemilu anggota DPR dan DPD) sudah dapat dilaksanakan pada 2019 tanpa memerlukan penyesuaian yang berarti. Adapun pemilu lokal serentak (pemilu kepala daerah/pilkada dan pemilu anggota DPRD, baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota) dapat dilaksanakan pada 2021 setelah melewati sejumlah penyesuaian berdasarkan konsensus nasional pada masa transisi.
Infrastruktur politik yang perlu diciptakan itu, pertama, adalah demokratisasi politik lokal dalam dua aspek: (a) partai politik yang memiliki kursi di DPRD secara terus-menerus akuntabel ("takut" ditinggal pemilih) kepada konstituen, dan (b) pemilih memiliki akses secara berkelanjutan menyatakan hasil penilaian terhadap kinerja partai dan kadernya dalam bentuk "punishment and reward'" (dipilih lagi kalau kinerjanya dinilai bagus, dan meninggalkan partai tersebut kalau kinerjanya dinilai buruk). Karena dalam lima tahun diselenggarakan dua kali pemilu (nasional dan lokal), maka tidak hanya partai politik yang harus terus-menerus memelihara dukungan dari konstituen, tetapi juga pemilih memiliki kesempatan menyatakan penilaian atas kinerja partai dan kadernya dalam pemerintahan nasional ataupun daerah.
Kedua, rencana kebijakan publik yang diajukan kepala daerah kepada DPRD mendapatkan dukungan solid dari DPRD. Karena kepala daerah, wakil kepala daerah, dan anggota DPRD dipilih pada hari, jam, dan TPS yang sama, partai politik punya waktu cukup panjang mempersiapkan koalisi dua atau tiga partai atas dasar kedekatan visi, misi, dan program pembangunan daerah dan kesepakatan calon kepala daerah. Koalisi yang akan terbentuk tidak bersifat transaksional, melainkan bersifat transformatif.
Dalam sejumlah kajian yang dilaksanakan di beberapa negara, muncul fenomena coat-tale effect. Artinya, kalau pemilih memberikan suara kepada kepala daerah yang dicalonkan oleh Partai X, dia juga cenderung memilih Partai X untuk DPRD. Apabila suatu koalisi partai memenangi pemilu lokal, yang dimenangi tak saja jabatan kepala dan wakil kepala daerah, tetapi juga mayoritas DPRD. Karena itu, dukungan yang solid dari DPRD pada rencana kebijakan publik yang diajukan kepala daerah akan dapat terjamin, tidak saja karena kepala daerah dan mayoritas anggota DPRD berasal dari suatu koalisi yang solid, tapi juga karena rencana kebijakan publik tersebut merupakan penjabaran visi, misi, dan program koalisi.
Infrastruktur ketiga, jumlah partai politik di DPRD tidak terlalu banyak, tetapi juga tidak terlalu sedikit. Partai yang terlalu banyak di DPRD menyebabkan saluran aspirasi rakyat akan sangat terfragmentasi sehingga kesepakatan yang muncul bukan demi masyarakat daerah, melainkan bersifat kolutif alias bancakan antarpartai. Jumlah partai politik yang terlalu sedikit di DPRD akan menyebabkan aspirasi sejumlah kelompok masyarakat tak terwakili dalam perumusan kebijakan publik.
Jumlah parpol di DPRD dapat berkurang, tidak hanya dengan ambang batas masuk DPRD, tapi juga karena pemilu lokal serentak tersebut. Berdasarkan perilaku memilih yang disebut coat-tale effect tersebut, jumlah partai di DPRD akan berkurang secara alamiah. Pengurangan partai dengan cara ini malah lebih "demokratis" daripada dengan ambang batas. Sebab, yang pertama tidak menimbulkan suara sah terbuang, sedangkan yang kedua menimbulkan suara sah terbuang.
Keempat, kepala daerah memiliki kapasitas kepemimpinan politik dalam tiga hal: (a) kemampuan menggalang seluruh partai, unsur masyarakat, dan pemilih untuk menyepakati suatu kebijakan publik, serta untuk mendukung pelaksanaan kebijakan publik tersebut; (b) kemampuan memilih pasangan, wakil kepala daerah, yang menempatkan diri sebagai orang kedua yang loyal kepada kepemimpinan kepala daerah; dan (c) kemampuan mendelegasikan sejumlah tugas dan kewenangan yang tepat kepada wakil kepala daerah, tapi tetap ada di bawah tanggung jawab kepemimpinan orang pertama.
Dua pihak yang akan menentukan apakah kepala daerah terpilih memiliki kapasitas kepemimpinan politik atau tidak, yaitu seleksi yang dilakukan oleh partai baik pada tataran pengurus (tim seleksi) maupun pada tataran anggota (pemilihan pendahuluan), dan kemampuan pemilih menilai calon yang memiliki kapasitas kepemimpinan politik. Karena koalisi dapat dipersiapkan dalam waktu memadai atas dasar kedekatan visi, misi, dan program pembangunan daerah dan kepemimpinan calon, maka pemilu lokal serentak ini diperkirakan memungkinkan kemunculan kepala daerah yang memiliki kapasitas kepemimpinan tersebut.
Infrastruktur kelima adalah calon wakil kepala daerah dipilih satu pasangan dengan calon kepala daerah melalui pemilihan umum. Namun, calon wakil tidak diajukan oleh partai politik, tetapi ditentukan sendiri oleh calon kepala daerah yang sudah dinyatakan memenuhi syarat. Mekanisme seperti ini tak hanya akan menjamin loyalitas orang kedua kepada kepemimpinan orang pertama, tetapi juga efektivitas pemerintahan daerah.
Keenam, proses penyelenggaraan pemilu yang berkualitas tinggi akan dapat dilihat pada dua hal berikut: (a) pemilu diselenggarakan berdasarkan asas-asas pemilu demokratis, (b) derajat partisipasi pemilih yang tinggi, jumlah suara tidak sah rendah, dan integritas hasil pemilu (hasil pemilu yang ditetapkan KPU sesuai suara pemilih senyatanya), dan (c) pemilu diselenggarakan secara efisien.
Lebih berkualitas dan efisien
Pemilu yang diselenggarakan dua kali dalam lima tahun dengan selang waktu 24-30 bulan akan melahirkan pemilu yang lebih berkualitas. Sebab, pemilu dapat dipersiapkan secara lebih saksama, baik oleh peserta dan penyelenggara maupun oleh pemilih, sehingga partisipasi pemilih lebih besar, jumlah suara tak sah semakin sedikit, dan integritas hasil pemilu lebih terjamin.
Tak kalah penting adalah efisiensi dana. Kalau sebelumnya negara harus mengeluarkan tiga kali honorarium untuk sekitar 5 juta petugas di tiga pemilu lokal yang terpisah, dengan pemilu lokal serentak negara hanya mengeluarkan satu kali honor untuk 5 juta petugas tersebut. Efisiensi dana tak hanya untuk donor petugas, tetapi juga dalam pengadaan dan distribusi berbagai kelengkapan administrasi proses pemungutan dan penghitungan suara.
Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga
(Kompas cetak, 29 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar