Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 13 April 2013

Kepemimpinan Politik Pasca-Yudhoyono (Tata Mustasya)

Oleh Tata Mustasya

Turun gunungnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Ketua Umum Partai Demokrat tidak tepat dibaca sebagai dinamika internal partai semata. Lebih dari itu, hal tersebut menunjukkan pola kontestasi politik Indonesia menjelang habisnya masa jabatan Yudhoyono pada 2014.

Secara umum, situasi yang terjadi di Partai Demokrat (PD) juga berlangsung di partai besar lain dan partai menengah. Pola kontestasi ini menentukan kepemimpinan politik Indonesia jangka pendek hingga 2019, dan sangat dimungkinkan dalam jangka menengah.

Dua pola kontestasi politik

Pertama, kegagalan generasi "kedua" era Reformasi menjadi elite yang berkuasa, paling tidak melalui Pemilu 2014. Generasi ini adalah kelompok muda dibandingkan generasi "pertama" era Reformasi, seperti Wiranto dan Yudhoyono, yang berlatar belakang militer; serta Abdurrahman Wahid, Megawati, Amien Rais, dan Akbar Tandjung yang berlatar belakang aktivis dan politisi. Generasi kedua merupakan aktivis, intelektual publik, dan pimpinan organisasi mahasiswa di tingkat nasional pada 1998.

Kontestasi politik antara generasi pertama dan generasi kedua juga terjadi setelah Revolusi Kemerdekaan 1945. Saat itu, generasi pertama didominasi intelektual berpendidikan Belanda seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Sementara generasi kedua terwakili kelompok tentara seperti Jenderal Soedirman dan tokoh kiri muda seperti DN Aidit dan Njoto.

Benedict Anderson di dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946, menjelaskan lahirnya kelompok tentara dalam jumlah besar—yang merupakan kekuatan baru—yang dilatih pemerintah pendudukan Jepang. Mereka, secara umum, berusia sangat belia serta memiliki latar belakang pendidikan dan sosial-ekonomi beragam.

Ketegangan antara generasi pertama dan kedua pascakemerdekaan kerap terjadi. Selama sekitar 20 tahun, generasi pertama—yang direpresentasikan oleh Soekarno—berhasil mengendalikan kepemimpinan politik. Generasi kedua—yang didominasi perwira tinggi TNI AD dan elite Partai Komunis Indonesia—menguat posisinya pada tahun 1960-an dan mencapai puncaknya ketika Jenderal Soeharto merebut kepemimpinan politik pada tahun 1965-1966.

Saat ini, generasi kedua era reformasi menghadapi stagnasi peran di tiga parpol besar, yakni PD, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Golkar. Anas Urbaningrum sebagai ketua umum PD berhenti, yang kemudian digantikan Yudhoyono dan dibantu para tokoh senior PD. Hal serupa terjadi di parpol menengah. Pengecualian dapat ditemukan pada Partai Kebangkitan Bangsa. Muhaimin Iskandar mengendalikan kepemimpinan partai secara riil. Namun, pada saat bersamaan, PKB tertatih-tatih mempertahankan basis elektoralnya.

Situasi kedua adalah keengganan generasi pertama era Reformasi untuk melembagakan demokrasi internal di parpol. Terdapat paradoks, demokrasi secara liberal dijalankan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten, tetapi titah personal masih menjadi kuasa di internal parpol.

PD merupakan contoh konkret. Secara faktual, Yudhoyono telah menerapkan demokrasi "terpimpin" di dalam PD. PD saat ini tak lebih dari personalisasi Yudhoyono.

Anderson (1972) menjelaskan bagaimana dalam budaya Jawa, yang sangat memengaruhi politik Indonesia, pihak yang lebih muda harus menghormati yang lebih tua. Tak terlampau penting apakah kepatuhan dan penghormatan itu dilakukan dengan tulus atau tidak. Dalam konteks ini, kecil kemungkinan generasi kedua era Reformasi berani mengambil kepemimpinan politik tanpa restu generasi pertama, kecuali dalam kondisi yang luar biasa seperti revolusi.

Politik pasca-Yudhoyono

Kelemahan generasi kedua era reformasi menjadi penyebab situasi di atas. Pertama, minimnya kemampuan dalam menggalang jaringan dan pendanaan untuk berebut pengaruh di parpol, termasuk di tingkat dewan pimpinan daerah dan dewan pimpinan cabang (DPC). Kedua, terbatasnya basis elektoral mereka dibandingkan generasi pertama.

Sebelum memiliki masalah hukum, Anas sebetulnya berada di jalur yang "benar" untuk melawan situasi itu. Tanpa restu Yudhoyono, dia terpilih menjadi ketua umum PD pada 2010. Sejak itu, dia memperkuat jaringan hingga ke tingkat DPC dan menggalang dana dengan otoritasnya sebagai ketua umum tanpa bergantung kepada Yudhoyono sebagai patron.

Apa yang akan dilakukan generasi pertama pada tahun 2014 dan setelahnya? Generasi pertama Reformasi masih akan menjadi elite yang berkuasa pada 2014-2019. Kecil kemungkinan generasi kedua mampu mendobrak kuasa para seniornya.

Setelah itu, generasi pertama cenderung akan mewariskan kekuasaan kepada loyalis dan keluarga. Namun, pengalaman pada 1960-an dan 1990-an menunjukkan, cara ini sulit berhasil karena penerimaan publik yang rendah dan adanya resistansi elite.

Maka, pihak yang berpotensi menjadi elite yang berkuasa setelah 2019 bukanlah loyalis generasi pertama. Generasi kedua di dalam lingkar kekuasaan juga akan layu sebelum berkembang.

Ada dua tipologi kelompok yang bakal menguasai kepemimpinan politik di tahun 2019. Pertama, para kepala daerah yang sukses membuktikan integritas dan kredibilitas kepemimpinannya. Kedua, kelompok muda—antara lain intelektual dan pengusaha—yang kini "menjaga jarak" dengan kekuasaan dan menunjukkan kredibilitas konkret di jalur nonpolitik.

Tata Mustasya Peneliti Senior Pol-Tracking Institute; Ketua Yayasan Nusantara Emas

(Kompas cetak, 13 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger