Wijayanto Samirin
Pada Mei 2010, Anas Urbaningrum begitu mendominasi berita politik nasional. Politisi muda itu terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat yang meraup 20 persen lebih suara pada Pemilu 2009.
Saat itu, karier politik Anas tampak benderang. Kini, nama Anas kembali mendominasi berbagai media, tetapi dengan nuansa teramat lain. Ia menjadi tersangka kasus korupsi besar.
Berita itu seolah menjadi justifikasi, politik itu kotor. Bayangkan, dalam dua minggu KPK menetapkan ketua umum dua partai politik besar sebagai tersangka kasus korupsi. Penetapan Anas sebagai tersangka seolah kelanjutan dari sejumlah kasus korupsi politik yang melibatkan sosok-sosok potensial. Tidak hanya itu, kasus Anas diprediksikan menjadi kunci pembuka kotak pandora korupsi masif di dunia politik negeri ini.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, tentu saja hal ini sebuah sukses. Namun, terkait upaya membangun demokrasi, hal itu tamparan besar. Perdebatan tentang demokrasi substantif atau prosedural akan segera berakhir mengingat fakta-fakta terbaru menunjukkan, demokrasi yang kita miliki jauh lebih buruk dari sekadar demokrasi prosedural. Ia adalah demokrasi primitif yang tidak lebih dari sebuah kontes perebutan kekuasaan, dan uang menjadi senjata utama untuk bertanding dan memenangi kompetisi.
Ruang kotor
Negara ibarat sebuah rumah yang terdiri dari sejumlah ruang yang masing-masing memiliki fungsi berbeda. Tanpa keberadaan ruang-ruang itu, rumah tak akan berfungsi baik. Bahkan, tanpanya, sebuah bangunan tidak layak untuk disebut rumah.
Ruang terdepan dan terbersih pada umumnya ruang tamu. Dalam konteks negara, ia diwakili oleh perguruan tinggi dan masyarakat sipil. Mereka berbicara tentang konsep, teori, dan nilai-nilai luhur sehingga menjadi bersih adalah suatu kewajaran.
Ruang berikutnya ruang makan yang biasanya lebih kotor daripada ruang tamu. Sering kita temui sisa makanan tercecer. Dalam konteks negara, ia adalah dunia usaha dengan mesin ekonomi bergerak dan mendistribusikan kue ekonomi kepada rakyat. Di dalamnya terdapat banyak transaksi yang diatur regulasi pemerintah dan standar profesi.
Selanjutnya dapur yang pada umumnya lebih kotor daripada kedua ruang di atas, tempat makanan diolah. Di sana terdapat sampah, asap, dan tumpahan minyak. Dalam suatu negara, ia adalah pemerintah dan birokrasi, tempat berbagai kebijakan diterapkan dan dimonitor. Ia memegang otoritas dan monopoli atas berbagai fungsi negara.
Terakhir adalah kamar kecil. Ia biasanya lebih kotor dibandingkan seluruh ruang yang ada, tempat berbagai hal yang tidak layak ditonton publik terjadi. Dalam suatu negara, ia adalah dunia politik tempat berbagai kepentingan bertarung yang pada umumnya melibatkan kontes kekuatan politik dan lobi.
Meski relatif kotor, kita semua memerlukan proses politik. Sama halnya sebuah rumah perlu kamar kecil, apalagi dalam sebuah negeri yang terdiri atas beragam kelompok dan kepentingan. Sejarah membuktikan, proses politik adalah cara paling teruji untuk membicarakan perbedaan, mencari persamaan, dan menyusun tujuan bersama.
Adalah tuntutan yang berlebih jika berharap dunia politik sama bersih dengan dunia pendidikan atau dunia usaha. Di berbagai belahan dunia, fakta membuktikan, ruang politik selalu relatif lebih kotor daripada ruang-ruang yang lain. Di negeri dengan birokrasi dan sektor swasta yang bersih seperti Jepang, Korea, Swedia, Finlandia, dan Norwegia, dengan mudah kita temukan berbagai skandal korupsi politik dalam berbagai skala.
Politik punya karakteristik khas dan cenderung koruptif. Mewujudkan dunia politik yang bebas dari "kotoran" tidaklah mungkin, tetapi perlu diupayakan menjaga agar tingkat kekotoran itu masih bisa diterima akal sehat dan tak merusak. Banyak hal bisa diterapkan, termasuk membatasi biaya kampanye, mendorong transparansi keuangan partai, memberikan bantuan dana melalui APBN, dan lain sebagainya. Namun, cara-cara itu punya banyak loop holes yang dapat dengan mudah dimanfaatkan.
Oligopoli politik
Melihat situasi Indonesia saat ini, strategi yang paling mungkin diterapkan adalah mengurangi monopoli atau oligopoli partai, termasuk proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Fenomena ekonomi menunjukkan, monopoli dan oligopoli selalu berdampak pada kenaikan harga yang akan merugikan konsumen. Dalam konteks politik Indonesia, biaya tinggi ini akan merugikan konsumen tingkat satu, yaitu para politisi. Mereka harus mengeluarkan biaya besar untuk membangun karier politik. Juga konsumen tingkat kedua, yaitu rakyat yang kepentingannya akan semakin dikorbankan.
Monopoli dan oligopoli oleh partai besar bisa dikurangi dengan meniadakan ambang batas pencalonan presiden 20 persen atau dengan melakukan pemilihan presiden dan legislatif pada saat yang bersamaan. Hal ini akan mengurangi biaya dan memperbaiki proses politik secara keseluruhan. Upaya ini belum terlambat untuk dilakukan pada Pemilu 2014, yang tentunya diperlukan proses uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Bila ini berhasil diwujudkan, semua pihak akan diuntungkan, terutama rakyat, termasuk para politisi. Adapun mereka yang akan merasa dirugikan adalah para elite partai besar yang sudah berinvestasi "membeli" tiket guna bertarung dalam Pilpres 2014. Para elite itu semestinya paham, investasi selalu mengandung risiko, dan investasi politik adalah investasi yang paling berisiko.
Upaya perbaikan sangat mendesak untuk dilakukan. Kita yang saat ini punya kekuatan untuk mendorong perubahan harus turut mengupayakannya, atau kita akan dipersalahkan oleh generasi mendatang sebagai generasi yang melakukan pembiaran atas terjadinya pembusukan politik di negeri ini. Politik yang relatif bersih masih mungkin kita wujudkan asal kita mau memanfaatkan kesempatan.
Wijayanto Samirin Deputi Rektor Universitas Paramadina; Co-founder and Managing Director Paramadina Public Policy Institute
(Kompas cetak, 29 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar