Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 25 April 2013

Memberantas Perusakan Hutan (Usep Setiawan)

Oleh Usep Setiawan

Kerusakan hutan sungguh memprihatinkan. Dampak berupa banjir dan longsor pada musim hujan serta kekeringan dan kebakaran pada musim kemarau telah menjadi masalah kita bersama.

Perusak hutan seharusnya jadi musuh bersama. Namun, kesepakatan membuat undang-undang untuk memberantas perusakan hutan ternyata jadi soal lain. Kini bola panas legislasi kehutanan bergulir di Senayan. Rancangan UU Pemberantasan Perusakan Hutan (PPH) menuai kontroversi di tengah menghangatnya suhu politik menjelang Pemilu 2014.

Sejumlah pihak telah melontarkan komentar miring atas RUU ini. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan, Dewan Kehutanan Nasional, dan Komnas HAM telah mengkritik dan menolak RUU yang dinilai banyak mengandung cacat ini.

Cacat proses dan isi

Analisis Koalisi Masyarakat Sipil menunjukkan sejumlah cacat politik hukum yang melekat dalam proses pembahasan dan isi RUU ini. RUU ini juga dianggap bukan kebutuhan mendesak, bahkan bisa menambah tumpang tindih peraturan yang ada.

RUU ini dinilai cacat dari proses pembentukan ataupun aspek substansi yang dikandungnya. Substansi RUU ini membuka potensi kerugian masyarakat juga bagi upaya melestarikan hutan. Kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan lokal yang hidup di hutan pun dapat dengan mudah terjadi. Di lain sisi, RUU ini diprediksi tak akan mampu menghentikan degradasi hutan dan tak akan berkontribusi pada pemulihan kerusakan hutan. RUU ini bahkan berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi di sektor kehutanan.

Padahal, isu krusial status tanah di kehutanan sebagai inti masalah yang harusnya dituntaskan belum tersentuh. Isu penguasaan tanah di kawasan hutan mestinya diutamakan daripada membuat UU baru yang mengkriminalisasikan rakyat sekitar hutan.

Kini, sejumlah momentum guna membenahi kebijakan kehutanan telah tersedia. Nota kesepakatan bersama 12 kementerian/lembaga tentang "Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan", di bawah supervisi KPK dan UKP4, perlu digenjot implementasi aksinya. Kesepakatan baru ini jangan hanya "baru kesepakatan". Butuh aksi nyata yang sistematis.

Momentum lain, uji materi UU Kehutanan di Mahkamah Konstitusi berkenaan status tanah adat di kawasan hutan kini dinantikan keputusannya. Revisi UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 sebagai agenda Prolegnas di DPR hendaknya segera digulirkan.

Banyak pihak mengingatkan RUU PPH ini bisa menambah karut-marut konstruksi hukum. Jika diteruskan, bukan menjawab permasalahan pembenahan tata kelola hutan, melainkan justru makin mengkriminalisasi dan memosisikan rakyat sebagai pencuri. Faktanya, sekitar 30.000 desa ada di kawasan hutan dan belum jelas statusnya.

Menuju keadilan agraria

Selama ini perhatian pemerintah terhadap masyarakat miskin yang hidup di sekitar hutan sangat minim. Pihak yang bergantung secara langsung dengan hutan bukan hanya masyarakat adat, melainkan juga masyarakat lokal sebagai warga negara rentan yang sering kali tidak menjadi perhatian khusus dalam pelaksanaan pembangunan.

Pelaksanaan kebijakan yang tak adil setiap saat dapat menjadi pemicu konflik. Apalagi, jika pelaksanaan RUU PPH ini hanya akan memperhatikan bukti-bukti sah/legal atas lahan dan hutan masyarakat adat/lokal yang tentunya bukti itu tidak ada di sebagian besar lokasi.

Di Jawa saja sekitar 4.500 desa berada di kawasan hutan. Dalam operasi hutan lestari, perusahaan kehutanan dan aparat keamanan kerap memanipulasi keadaan dan berdampak pada polemik izin pengelolaan hutan. Polemik hukum antara pemerintah dan masyarakat juga kerap terjadi. Di sisi lain, perjanjian internasional kehutanan kerap merugikan posisi masyarakat.

Saat ini yang ditunggu ialah implementasi TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Pelaksanaan konsensus nasional ini mesti mewujudkan keadilan agraria, penyelesaian konflik, dan pemulihan ekologi dengan memassifkan peran aktif rakyat.

Daripada gaduh memaksakan RUU PPH lebih baik matangkan langkah pembaruan penguasaan tanah di kawasan kehutanan sebagai agenda krusial reforma agraria. Intinya, berikan akses dan kontrol kepada rakyat miskin untuk menguasai dan mengusahakan tanah serta hutan secara adil dan berkelanjutan.

Usep Setiawan Aktivis Gerakan Reforma Agraria
(Kompas cetak, 25 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger