Oleh Ignatius Haryanto
Katakanlah orang-orang Indonesia itu kreatif atau jahil. Namun, kreativitas sejumlah orang itu tadi sebenarnya menunjukkan suatu pemberontakan diam-diam atas tayangan media massa yang kerap melebih-lebihkan berbagai gejala yang ada.
Perseteruan panas Adi Bing Slamet dengan Eyang Subur telah berminggu-minggu memakan waktu dan mengisi segmen infotainmen di berbagai media. Entah sudah berapa ratus jam aneka segmen disuguhkan menggambarkan perseteruan keduanya.
Belakangan muncul seorang Arya Wiguna yang mengaku sebagai korban "ajaran Eyang Subur". Lepas dari benar tidaknya "ajaran Eyang Subur", menarik melihat bagaimana inisiatif dilakukan beberapa orang yang mengedit, memberi komposisi baru, dan mengunggah sejumlah video pendek dengan dasar perseteruan Adi Bing Slamet-Arya Wiguna-Eyang Subur ini. Aneka video pendek ini bertumpu pada konferensi pers Arya Wiguna yang meluapkan kekesalan kepada Eyang Subur dengan cara amat dramatis.
Sila ketik "Arya Wiguna" pada laman Youtube, segera Anda temukan sejumlah video. Sejumlah pihak mengedit potongan adegan ekspresif itu dengan menambahkan aneka hal lain. Ada potongan musik masuk untuk memberi tambahan efek dramatis ketika Arya memukul-mukul meja di hadapannya sambil berteriak, "Demi Tuhan...." Ada pula potongan video yang diambil dari film tahun 2012, Lord of the Rings, yang menunjukkan efek teriakan Arya dan pukulannya berkali-kali ke meja itu.
Ada yang mempermainkan elemen suara dari teriakan Arya Wiguna itu sehingga terdengar seperti suara mencicit. Ada pula video yang memadukannya dengan lagu mendunia PSY–Gangnam Style—dengan segala efek yang membuat kemarahan dan ekspresi muka Arya menjadi suatu tontonan yang menggelikan.
Mungkin tidak berlebihan apabila gejala ini dipandang sebagai suatu pemberontakan diam-diam sejumlah orang yang muak dengan dramatisasi yang berlarut-larut dari kasus Adi Bing Slamet-Arya Wiguna-Eyang Subur ini. Perkara yang sebelumnya sangat pribadi kini merambah karena sudah memasukkan sejumlah lembaga formal ke dalamnya seperti Kepolisian, Komnas HAM, Majelis Ulama Indonesia, dan DPR.
Apa maknanya?
Paul Johnson, sejarawan Amerika Serikat, pernah menyebutkan, media massa memiliki tujuh dosa yang mematikan, antara lain dramatisasi fakta palsu, mengganggu kehidupan pribadi, distorsi informasi, eksploitasi seks, dan meracuni pikiran anak-anak. Astaga, lima poin dari tujuh dosa mematikan ada semua dalam gejala media yang mengangkat masalah perseteruan ini.
Khalayak akhirnya bosan, muak, dan terganggu ketika berita seperti ini ditayangkan berlebihan atau mewabah di media. Sementara hal yang terkait dengan kepentingan publik tak ada di sana. Perlawanan diam-diam tadi, menurut saya, muncul dalam sejumlah video yang memarodikan perseteruan mereka.
Tak berlebihan bila dikatakan, hal itu merupakan bentuk respons dari audience strikes back pada era media sosial seperti sekarang ketika audiens tidak lagi tampil semata-mata sebagai sasaran pesan, ia pun bisa memproduksi pesan yang lain. Bahkan, pesan yang dibuatnya sangat subversif dengan pesan awal yang mau disampaikan. Perangkat pembuat pesan dan keahlian mengemas pesan memang tak lagi monopoli orang-orang media.
Kita tak tahu berapa lama lagi perseteruan ini akan berakhir, dan bagaimana akhir kisah ini se- belum tergeser dengan pemberitaan heboh lainnya. Yang pasti, gejala ini dalam bahasa kelompok Project Censored pimpinan Peter Phillips dari Sonoma State University, AS, sudah masuk kategori junk food news, berita yang diekspos berlebihan oleh media, tetapi sangat kecil urusannya dengan kepentingan publik (projectcensored.org).
Media, dalam menghadapi situasi seperti ini, terlihat gamang. Meski sadar urusan ini tak ada kaitan apa pun dengan kepentingan publik, soal seperti ini mengundang banyak orang untuk menonton (mempertinggi peringkat) atau mengundang banyak orang mengkliknya secara online (klik inilah yang menghasilkan penghasilan iklan bagi media daring), pun menjual puluhan hingga ratusan ribu eksemplar tabloid. Apakah media akan berubah atau tidak, keputusan akan datang dari para pengelola media itu sendiri.
Syukurlah, audiens memiliki perangkat, cara, dan ekspresi untuk menunjukkan bahwa merekalah yang aktif mendekonstruksikan makna perseteruan itu. Ini juga menunjukkan, audiens bisa berdaulat dengan membaca pesan-pesan tersebut secara terbalik. Perlawanan seperti ini tidak akan pernah berakhir selama isi media dipenuhi dengan sampah dan sedikit bermakna bagi kepentingan publik.
Ignatius Haryanto Pengamat Media; Direktur LSPP Jakarta
(Kompas cetak, 10 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar