Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 10 Mei 2013

Birokrasi yang Kedodoran (Tajuk Rencana Kompas)

Kisruh ujian nasional belum selesai, kini muncul kontroversi mengenai program KTP elektronik. Surat edaran Mendagri yang terlambat jadi pemicu.
Kementerian Dalam Negeri membantah surat edaran mengenai KTP elektronik itu terlambat dikeluarkan meski nyatanya surat edaran
baru dikeluarkan 13 April 2013. Surat ditujukan kepada lembaga pemerintah non-kementerian dan lembaga lain, termasuk Gubernur BI, Kepala Polri, dan lembaga swasta, untuk menyediakan mesin pembaca (card reader) KTP elektronik. Kemendagri juga melarang KTP elektronik difotokopi untuk menghindari kerusakan pada cip KTP elektronik tersebut.
Sejumlah kalangan menilai kerja Kemendagri tidak profesional dan mencerminkan birokrasi yang kedodoran. Karena surat edaran baru dikeluarkan pada 13 April, sudah banyak warga masyarakat yang telah memfotokopi KTP elektronik untuk keperluan berbagai transaksi. Kenyataannya, lembaga pemerintah pun belum menyiapkan mesin pembaca KTP elektronik. Untuk keperluan pemilu, KPU pun masih mensyaratkan fotokopi KTP sebagai syarat dukungan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kejadian ini jelas merugikan masyarakat!
Dalam sebuah kesempatan pada awal tahun, Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, perekaman 172 juta KTP elektronik sudah selesai dilakukan dan telah didistribusikan. Program KTP elektronik ini menghabiskan biaya Rp 5,6 triliun.
Klaim Kemendagri tersebut tak sesuai dengan kondisi di lapangan. Kenyataannya, masih banyak warga masyarakat yang belum mendapatkan KTP elektronik meski data mereka sudah direkam setahun lalu. Masalah lain yang muncul, KTP lama sudah habis masa berlaku, sementara KTP elektronik tak tahu kapan bisa didapat. Masalah lain yang muncul, mereka yang sudah mendapatkan KTP elektronik ditolak saat melakukan transaksi perbankan di kota yang berbeda. Bukankah KTP elektronik dirancang sebagai KTP nasional?
Tetaplah menjadi pertanyaan, mengapa edaran Mendagri itu baru diterbitkan pada 13 April 2013 ketika warga sudah memperoleh KTP elektronik. Mengapa sosialisasi soal larangan memfotokopi tidak dilakukan sejak awal, berbarengan dengan program KTP elektronik, termasuk juga keharusan lembaga pemerintah untuk menyediakan mesin pembaca. Pertanyaan lain yang muncul adalah sejauh mana keandalan teknologi cip KTP elektronik yang digunakan yang bakal rusak ketika KTP itu difotokopi.
Program KTP elektronik telah memakan biaya Rp 5,6 triliun. Itu adalah uang rakyat yang diambil dari pajak. Lalu, siapa yang menanggung biaya pembelian mesin pembaca? Kisruh KTP elektronik menunjukkan kerja yang tidak profesional (termasuk di antaranya proses komunikasi). Kementerian hanya mengejar target tanpa berorientasi pada kualitas dan kepentingan masyarakat. Audit kinerja program KTP perlu dilakukan agar duduk persoalan menjadi terang dan uang rakyat tak sia-sia!
(Tajuk Rencana Kompas, 10 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger