Oleh Jakob Sumardjo
Wibawa negara semakin merosot. Warga tidak takut lagi menentang dan mengancam lembaga-lembaga negara dengan senjata hukum. Bunyi pasal demi pasal bergaung di udara setiap hari. Pasal-pasal bikinan manusia yang tidak sempurna ini menjelma sebagai ayat-ayat sakral.
Lembaga-lembaga negara menjadi sasaran permainan otak-otak cerdas atau otak pokrol bambu sehingga kriminal diubah menjadi pahlawan, bintang-bintang panggung dan televisi diubah menjadi politikus, atau maling pisang dihukum setara dengan koruptor miliaran rupiah milik negara. Inilah zaman emas para pengacara yang kian menjamur di seluruh Indonesia sejak Reformasi.
Belum memiliki struktur permanen
Reformasi yang mengedepankan hukum di atas segalanya dan kebebasan individu di bawah hukum itu telah berkembang tanpa kontrol tegas atas nama wibawa negara. Wibawa negara menjadi lemah karena aparat negara sendiri sering mempermainkan hukum negara. Sejak Reformasi, berapa banyak aparat negara yang terseret tindak kriminal korupsi, skandal, dan pelanggaran moral lainnya.
Negara dengan pemerintahannya yang taat asas, bersih dari pelanggaran moral, akan menjadi sosok yang punya wibawa sehingga dapat bertindak tegas tanpa takut disalahkan dan sulit menjadi obyek permainan. Mengapa kita sampai tersesat dalam kondisi yang gawat ini?
Setelah hampir 75 tahun merdeka, kita belum pernah memiliki struktur negara permanen. Dalam kurun itu, senantiasa terjadi bongkar-pasang negara. Berbagai sistem pemerintahan di segala sektornya tidak memiliki struktur permanen yang mentradisi. Sialnya, setiap kegagalan satu sistem senantiasa diganti dengan sikap kontradiktif.
Kegagalan demokrasi liberal 1950-an segera diganti dengan sistem sebaliknya, yakni demokrasi terpimpin yang membesarkan otoritas tunggal presiden. Kebebasan individu itu buruk sebab menimbulkan berbagai pertentangan primordialisme partai politik dan gerakan-gerakan separatis. Negara terancam perpecahan dan obatnya banting setir ke arah kediktatoran sipil.
Ternyata, bentuk otoriter juga gagal karena rakyat harus antre beras. Gerakan 66 yang dipimpin golongan intelektual, seperti gerakan Reformasi, menginginkan kembali pada liberalisme. Melihat timbulnya gejala kebisingan liberalisme, bandul negara bergerak kembali pada penindasan kebebasan dengan diktator militer yang bersembunyi di balik demokrasi (Pancasila).
Akhirnya, tibalah Reformasi sampai saat ini yang prinsipnya mengembalikan bandul kembali ke liberalisme.
Tampak jelas hubungan antara wibawa negara dan kebebasan individu. Ketika pemerintahan otoriter menindas kebebasan, wibawa negara menjadi kukuh, bahkan ditakuti. Ketika kebebasan individu dijalankan, negara menjadi permainan karena kehilangan wibawa.
Menyimak dialektika yang amat disederhanakan ini, struktur dan sistem negara yang bagaimana yang cocok untuk bangsa ini? Ketika lembaga negara kuat, kebebasan yang dinginkan. Ketika kebebasan diberikan, selalu ada kecenderungan unsur bangsa yang ingin menguasai Indonesia untuk diperintah secara otoriter dengan kebenaran tunggalnya.
Ketika negara kuat dan berwibawa, rakyat takut dan tertekan. Ketika rakyat diberi kekuatan dengan kebebasan yang diinginkannya, negara menjadi barang mainan. Setiap orang yang mengaku dirinya pakar hukum sekarang ini tidak segan-segan berani mengancam negara dengan dalih kebebasan individunya.
Ketika Indonesia ini merdeka, yang terjadi adalah "mendadak Indonesia", seperti halnya para artis sekarang ini yang "mendadak politikus". Struktur dan sistem negara kolonial yang memerintah Indonesia dalam suasana Pax Nederlandica segera ditinggalkan dan diganti dengan UUD 1945 yang digarap tergesa-gesa kurang dari tiga bulan. UUD ini belum pernah dilaksanakan konsisten dan konsekuen dan melahirkan dialektika bongkar pasang negara yang tak kunjung mapan ini. Pinjam sana pinjam sini, kutip sana kutip sini. Negara dalam struktur tambal sulam dan kumparan benang yang semakin ruwet.
Puncaknya terjadi sekarang ini. Siapa pun Anda yang tersohor melalui layar televisi akan dikenal rakyat sampai ke pelosok desa. Tidak peduli lagi apakah tersohornya Anda karena bakat Anda menghibur rakyat dengan lawak atau gaya menyanyi Anda, atau Anda terkenal akibat terlibat kasus kriminal yang disorot televisi hampir setiap jam. Sekarang malah ditambah dengan bintang olahraga.
Mendadak merdeka
Semua ini menunjukkan penyakit kaget kita atau "mendadak merdeka" sejak 1945. Kita masih mengidap penyakit bingung bernegara dan meraba-raba dalam gelap. Lantas kita mencoba-coba main dadu dengan mengangkat para selebritas (baik atau buruk) menjadi pemimpin negara ini. Jika kita punya tokoh selebritas setingkat almarhum Michael Jackson, barangkali dia calon kuat presiden tahun depan.
Bobot kenegarawanan semakin tidak dikenal sekarang ini. Jabatan negara berubah menjadi semacam "cari kerja" dengan iming-iming gaji tinggi. Ditambah dengan banjirnya kaum pesohor dalam jabatan negara, kerja mendadak ini mau tidak mau amatiran alias negarawan gadungan. Nasib kita ada di tangan mereka.
Kita belum pernah mengenal baik siapa diri kita, Indonesia ini, bangsa ini, rakyat ini, tanah air kepulauan ini. Bagaimana akan memimpin bangsa ini kalau tidak mengenalnya? Cuma mengenal secara meraba-raba? Realitas bangsa yang masih merupakan bayangan kabur para pemimpinnya inilah yang bikin sejarah eksperimen negara kita ini tak kunjung selesai.
Jakob Sumardjo Budayawan
(Kompas cetak, 10 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar