Oleh Premita Fifi Widhiawati
Beberapa waktu lalu, Rumah Kebangsaan menyelenggarakan diskusi bertema "Dilematika Politisi Pesohor dalam Rekrutmen Partai Politik".
Keterlibatan pesohor dalam politik sesungguhnya bukan hal baru. Sejak Pemilu 1979, semua partai politik peserta pemilu pada saat itu—Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan—secara konsisten mengajak pesohor, terutama penyanyi, dalam setiap kampanye.
Selama kurun waktu sekitar 20 tahun, kiprah pesohor dalam politik tidak lebih dari sekadar pemikat massa dalam kampanye (mass getter). Kehadiran mereka diharapkan dapat menarik peminat untuk berduyun-duyun hadir di lokasi kampanye, tempat para petinggi dan politisi parpol menyuarakan visi dan misi partai di sela-sela ketidaksabaran massa menunggu penampilan pesohor berikutnya.
Bermetamorfosis
Menjelang Pemilu 2004, porsi kerja pesohor meningkat dari hanya pemikat massa menjadi pemikat suara (vote getter). Para pesohor diberi "sedikit" ruang untuk berbicara atas nama partai yang didukungnya dengan harapan penggemarnya terpikat untuk memilih parpol yang mendukung penampilan sang pesohor.
Salah satu pesohor yang sukses mendulang suara dalam posisi vote getter adalah bintang film Nurul Arifin yang didukung Partai Golkar. Namun, dengan sistem keterwakilan sesuai urut giliran di parpol, pada 2004 Nurul belum diberi kesempatan ke DPR.
Pemilu 2009 menjadi tonggak penting bagi keterwakilan pesohor dalam parlemen. Melalui sistem pemilihan proporsional langsung, para pesohor tidak lagi hanya menjadi pemikat massa ataupun pemikat suara. Mereka pun tampil langsung membawa diri mereka menjadi calon anggota legislatif. Sebuah fenomena baru yang terbukti ampuh dalam meraup kursi bagi parpol.
Tak kurang 15 pesohor masuk dan berkiprah di parlemen. Mereka tersebar hampir ke semua parpol. Bahkan, beberapa parpol terwakili lebih dari satu pesohor. Misalnya, di Partai Demokrat ada Vena Melinda dan Angelina Sondakh. Di Partai Amanat Nasional ada Primus Yustisio dan Eko Hendro Purnomo.
Proses panjang perubahan fungsi para pesohor bagi parpol dapat diibaratkan sebagai kuasi metamorfosis, dari fungsi sebagai pemikat massa secara perlahan sekali berubah menjadi pemikat suara. Kemudian, secara tiba-tiba para pesohor melakukan quantum leap menjadi wakil rakyat.
Perubahan fungsi para pesohor secara mendadak-serentak tak dapat dilepaskan dari ketakmatangan proses kaderisasi di tubuh parpol. Ketidaksiapan ini bergulir dari waktu ke waktu, dan tanpa disadari tiba giliran untuk mengisi daftar calon anggota legislatif (DCS). Parpol lantas mengalami "gugup demokrasi" saat tersadar, mereka tak punya stok kader yang cukup mumpuni untuk diajukan dalam DCS.
Banyak faktor yang menyebabkan parpol mengalami gugup demokrasi. Hal itu terkuak dalam Diskusi Rumah Kebangsaan pada Februari. Dari semua wakil parpol yang menjadi pembicara pada saat itu, semua bersuara sama, parpol tidak siap dengan sistem rekrutmen yang matang dan terstruktur untuk memunculkan kader-kader pilihan.
Salah satu faktor sangat penting dan belum mampu dilakukan secara maksimal oleh parpol adalah proses perekrutan yang adil, terbuka, terpadu, dan konsisten bagi para kader.
Alih-alih melakukan perekrutan secara proporsional dengan mengedepankan asas kapabilitas, kualitas, dan integritas, parpol cenderung sentralistis dan lebih mengedepankan faktor suka dan tidak suka dalam proses penentuan caleg.
Kondisi tersebut diperparah adanya kesenjangan antarpengurus parpol yang disibukkan dengan day to day politics (meminjam istilah Bima Arya dari PAN) sehingga nyaris tidak sempat melakukan pembaikan internal parpol, apalagi mendekatkan diri dengan para kader di daerah dan konstituen.
Akibatnya, ketika tiba giliran pengisian DCS—atas nama demokrasi dan pemerataan kesempatan berpolitik—parpol melakukan pola perekrutan terbuka. Sayang sekali, pola yang seharusnya membuka jalan bagi calon-calon potensial itu justru menjadi ajang mencari pekerjaan karena tidak dibarengi sistem saring caleg yang baik dari parpol.
Dari 560 anggota DPR saat ini, tak lebih dari 47 orang yang tidak berminat mencalonkan diri kembali. Artinya, lebih dari 90 persen anggota parlemen maju kembali. Dapat dikatakan, mereka ini sudah siap, antara lain secara finansial dan penggalangan terhadap konstituen.
Caleg bermasalah
Melihat hal ini, tak ayal timbul keprihatinan bagi kita semua jika kita mengingat "rapor buruk" yang dimiliki sebagian besar anggota DPR. Parpol pun seperti tak kapok mengusung caleg bermasalah. Berbagai alasan dapat saja dikemukakan parpol untuk membenarkan tindakan mereka, tetapi rakyat seharusnya lebih pandai memilah dan menentukan wakilnya.
Jika UU Pemilu masih memungkinkan caleg bermasalah maju dalam pemilu legislatif, rakyatlah yang harus menjadi pintu gerbang terakhir sebagai penentu siapa yang berhak menjadi anggota DPR mewakili rakyat. Catat dan ingat-ingat nama, daerah pemilihan, dan parpol yang mengusung caleg bermasalah. Jangan pilih mereka!
Premita Fifi Widhiawati Aktivis Rumah Kebangsaan; Pendiri Lembaga Edukasi, Bantuan, dan Advokasi Hukum Jurist Makara
(Kompas cetak, 10 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar