Oleh A Prasetyantoko
Mungkin benar perekonomian Indonesia selalu diliputi banyak anomali.
Salah satunya, hari-hari ini potensi ekonomi kita sedang begitu bagusnya, begitu banyak investor berlomba masuk ke pasar domestik. Namun, kita terus saja bergumul dengan keraguan yang berujung pada kemandekan dalam reformasi kebijakan. Risikonya potensi pertumbuhan bisa hilang begitu saja. Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2013 sebesar 6,02 persen menurun dari 6,3 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Jika situasinya terus menurun, tak tertutup kemungkinan tahun ini kita hanya akan tumbuh di bawah 6 persen. Pencapaian minimalis di bawah kinerja seharusnya. Karena kelambanan kita melakukan perubahan, pertumbuhan berada dalam tekanan.
Lembaga pemeringkat Standard & Poor's (S&P) tadinya kita harapkan segera menaikkan peringkat utang kita menjadi level investasi (investment grade), tetapi sebaliknya justru mereka menurunkan proyeksi peringkat utang kita dari positif ke stabil. Masih beruntung kita tetap berada pada level peringkat utang yang sama (BB+). Hanya proyeksinya saja yang turun. Tak lama berselang, Moody's Investor Service juga menyatakan keprihatinan yang sama meski tetap mempertahankan penilaiannya. Jika tidak disikapi dengan cepat, bisa jadi penilaian berikutnya mereka benar-benar menurunkan peringkat utang kita.
Momentum pertumbuhan
Sebenarnya publik sudah merasakan kelambanan dalam melakukan reformasi struktural. Kelambanan merespons kenaikan harga BBM hanya simtom dari ketidakberdayaan yang lebih luas. Alasannya bisa apa saja, tetapi faktanya pemerintah lamban melakukan reformasi di berbagai sektor, padahal persis faktor itu yang tengah kita butuhkan.
Soal potensi ekonomi kita, apalagi dibandingkan negara lain yang tengah dilanda krisis, tak perlu diragukan lagi. Proyeksi IMF, Bank Dunia, dan lembaga swasta lain sangat meyakini bahwa secara global sedang terjadi pergeseran episentrum pertumbuhan. Pusat pertumbuhan ekonomi dan aktivitas investasi, bisnis, dan produksi tak lagi di negara maju, melainkan bergeser ke negara berkembang. Itulah fakta mengenai keseimbangan baru (the new equilibrium) dalam peta global, di mana negara maju memasuki fase pertumbuhan rendah, sementara negara berkembang terus tumbuh tinggi.
Dalam lima tahun ke depan, negara-negara maju (OECD) hanya akan tumbuh rata-rata sekitar 2 persen, sementara AS tak akan lebih dari 2,5 persen. Jepang dan zona euro tumbuh sekitar 1 persen atau kurang, selama beberapa tahun ke depan. Sementara, tiga negara terkuat pertumbuhan ekonominya (China, India, dan Indonesia) rata-rata akan tumbuh 6,5-7 persen selama beberapa tahun ke depan.
Sangat jelas, peta pertumbuhan global bergeser ke negara berkembang. Tentu saja peta ini diikuti dinamika bisnis dan industri. Secara sederhana, produksi barang-barang industri negara- negara maju, terutama zona euro, akan turun drastis, sementara negara berkembang seperti Indonesia terus meningkat. Begitu pula sentimen bisnis yang menandai keyakinan bisnis di masa depan kecenderungannya sama. Kecenderungan-kecenderungan tersebut mengonfirmasi realitas bahwa di masa depan negara berkembang akan memimpin perekonomian global.
Dalam kerangka global tersebut, sangat masuk akan jika McKinsey Global Institute (MGI) memproyeksikan perekonomian Indonesia akan menempati peringkat ketujuh dunia pada 2030 mengalahkan Inggris, Jerman, Jepang, dan negara-negara maju lainnya. Berbicara dalam perspektif menengah-panjang sangat menggairahkan. Bagaimana dengan proyeksi jangka pendek?
Konfirmasi dari kedua lembaga pemeringkat (S&P dan Moody's) memberikan gambaran betapa kita gagal memanfaatkan momentum jangka panjang. Jika kinerja perekonomian kita baik selama ini, jangan-jangan lebih karena efek eksternal. Sementara, hasil kerja kita sendiri tak begitu banyak. Itu dibuktikan dengan begitu lambannya melakukan reformasi di berbagai sektor yang dibutuhkan guna mendukung daya saing dan produktivitas domestik. Kebijakan terkait BBM hanya bagian kecil dari reformasi kebijakan. Jika tidak hati-hati, kita berpotensi kehilangan kesempatan melakukan transformasi menuju negara berbasis inovasi dan keluar dari negara berpenghasilan menengah. Dengan demikian, kita akan masuk skenario middle-income trap.
Reformasi kebijakan
Kata reformasi begitu mudah diucapkan, tetapi sangat sulit dilaksanakan. Masalahnya, tanpa reformasi, perekonomian akan terus didera persoalan intern yang benar-benar membelenggu. Kita tak akan keluar sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia. Kita hanya akan dikenal sebagai negara berpotensi sangat besar, tetapi gagal merealisasikannya. Seandainya hari-hari ini kita mengambil tindakan terhadap besaran subsidi BBM, tak berarti masalah selesai. Masalahnya bukan hanya pada besaran subsidi yang mengancam keberlanjutan fiskal, melainkan bagaimana mendorong perekonomian domestik lebih efisien, produktif, dan berdaya saing. Pengurangan subsidi mungkin akan membuat ancaman defisit fiskal yang melebihi 3 persen menjadi kendur. Konsumsi BBM akan menurun sehingga tekanan terhadap neraca transaksi berjalan mengecil.
Namun, persoalan sesungguhnya, bagaimana keluar dari tekanan-tekanan itu dan kemudian mempercepat transformasi ekonomi secara lebih progresif, mulai dari pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, hingga memperbaiki fasilitas sosial (pendidikan dan kesehatan). Jika ini tak dilakukan, dan hanya berpuas dengan memberikan bantuan langsung sementara, maka persoalan baru sedang dimulai. Mencabut sebagian subsidi tanpa mengembalikan lagi ke masyarakat dalam bentuk lain yang lebih produktif bisa menurunkan legitimasi pemerintah, terutama menjelang pemilu. Sementara itu, untuk memastikan pemerintah mengembalikan subsidi kepada rakyat bukan hal mudah.
Moody's meramalkan, jika pemerintah tak mengurangi subsidi BBM, defisit fiskal 2013 bisa mencapai 3,8 persen, lebih kurang Rp 440 triliun. Pertama, jumlah itu terlalu besar untuk subsidi yang cenderung tak produktif. Kedua, mengingat keseimbangan primer fiskal sudah negatif, penambahan subsidi harus ditopang dengan penerbitan surat utang baru. Jadi, subsidi yang tak produktif dibiayai dengan utang. Bebannya dua kali, memberikan efek antargenerasi (beban dipikul generasi mendatang).
Selain memberikan efek pada stabilitas makroekonomi, subsidi BBM juga telah menghilangkan kesempatan bagi pembangunan infrastruktur, baik fisik maupun non-fisik. Skenario paling baik adalah mengurangi subsidi BBM dan segera mengalihkannya pada alokasi pembangunan infrastruktur itu dalam pos belanja modal di APBN. Lebih penting lagi mengawasi penggunaannya agar selain terserap baik, juga digunakan sebagaimana mestinya. Tak boleh ada kebocoran yang lazim terjadi seperti saat ini. Jika pemerintah berani menjamin akan bekerja keras setelah mengurangi subsidi BBM, bisa diyakinkan rakyat dan semua pihak akan rela menerima peningkatan beban hidup akibat naiknya harga BBM. Namun, kalau setelah ini mereka akan pergi kampanye, itu persoalan sangat besar.
A Prasetyantoko Dekan Fakultas Ilmu Administrasi dan Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya, Jakarta
(Kompas cetak, 11 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar