Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 06 Mei 2013

Menggugat Kelembagaan Pangan (Khudori)

Oleh Khudori
Dibentuk pada 1993, enam tahun kemudian, tepatnya pada 1999, Kementerian Negara Urusan Pangan dibubarkan. Sejak itu hingga kini tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan.
Otonomi daerah membuat produksi pangan domestik diurus daerah. Padahal, elite daerah tidak menjadikan pertanian dan pangan sebagai motor pencitraan. Bahkan, peta jalan swasembada pangan dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah. Karena itu, mustahil berharap inovasi pembangunan pertanian-pangan lahir dari daerah. Ini memperparah produksi pangan domestik yang ujungujungnya memengaruhi kinerja pangan secara keseluruhan.
Menyadari tidak ada lagi lembaga penyambung pusat dengan daerah, untuk kepentingan koordinasi dibentuklah Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Di daerah dibentuk DKP daerah, baik provinsi maupun kabupaten, yang diketuai gubernur ataupun bupati. Di pusat, DKP diketuai presiden dan secara harian diketuai menteri pertanian.
Selain Bulog dan pemda (provinsi/kabupaten/kota), DKP melibatkan 14 kementerian yang terkait langsung soal pangan. Di Thailand, lembaga serupa bernama National Food Commision (NFC) yang membawahi 11 kementerian. Berkat kinerja NFC, pangan di Thailand maju luar biasa.
Lemah di kepemimpinan
Saat ini, DKP merupakan kelembagaan tertinggi di bidang pangan di Indonesia. Masalah terjadi karena gerak DKP sehari-hari hanya diserahkan kepada pejabat eselon I, yakni Ketua Badan Ketahanan Pangan (BKP) di Kementerian Pertanian yang powerless. Jangankan menggerakkan 14 kementerian terkait, mengoordinasikan sesama pejabat eselon I lintas kementerian saja BKP tidak berdaya.
Akhirnya terjadilah kontradiksi yang tidak masuk akal, yakni pangan yang amat strategis dan multisektoral hanya diurus seorang pejabat setingkat dirjen. Presiden sebagai Ketua DKP yang mestinya menjadi dirigen kelembagaan pangan justru mati suri. Presiden sepertinya tak menyadari posisinya yang strategis itu. Jadi, secara organisasi, masalahnya bukan pada kewenangan, tetapi soal kepemimpinan.
Pada level implementasi, karena tidak ada lembaga yang merumuskan kebijakan dan mengoordinasikan kegiatan pangan, pelbagai kontradiksi, komplikasi kebijakan, dan egosektoral selalu berulang. Tak ada evaluasi dan umpan balik. Masalah-masalah prinsip yang potensial membuat aneka kebijakan pangan lumpuh tidak tersentuh. Misalnya, di level hulu bagaimana Kementerian Pertanian seolah berjalan sendiri mencapai target surplus 10 juta ton beras, swasembada gula, jagung, kedelai, dan daging sapi pada 2014.
Untuk mencapai target itu, mutlak perlu tambahan lahan dan ketersediaan air. Namun, Kementerian Kehutanan justru mengobral lahan (hutan) untuk segelintir pengusaha tambang, hak pengusahaan hutan, hutan tanaman industri, ataupun perkebunan. Untuk target pembangunan dan perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan, pelabuhan, dan lain-lain), Kementerian Pekerjaan Umum juga tidak menyambung dengan target-target swasembada.
Terjadilah paradoks yang tidak masuk akal. Program peningkatan daya saing serta peningkatan produksi petani dan kesejahteraan petani selalu didengungkan, tetapi pada saat yang sama, degradasi sumber daya tanah, air, dan iklim akibat pembabatan hutan dan buruknya implementasi tata ruang akibat intervensi pemodal kuat atau pejabat dengan argumen sumber devisa terus berlangsung nir-intervensi. Daya tampung dan distribusi daerah aliran sungai kian memburuk karena infrastruktur irigasi tak pernah dibenahi. Hal itu tercermin dari 52 persen jaringan irigasi yang rusak.
Waduk-waduk besar di Jawa (Kedungombo, Gajah Mungkur, Jatiluhur, dan Bengawan Solo) airnya kritis. Mungkinkah menanam kalau air tak tersedia cukup? Pupuk, bibit unggul, dan semua input tak akan optimal tanpa air. Berlanjutnya konversi lahan produktif yang membuat investasi irigasi dan jalan menjadi mubazir.
Tubrukan kepentingan
Di tingkat hilir, kondisinya makin parah. Bukan saja tidak terkoordinasi, masing-masing kementerian justru bertubrukan kepentingan. Semua berpikir untuk kepentingan sektoral. Saat Kementerian Pertanian mati-matian menggenjot produksi, Kementerian Perdagangan mengobral izin impor. Nihilnya dukungan bank, pencabutan subsidi, tidak fokusnya perencanaan SDM pertanian, liberalisasi kebablasan, dan tak bersenyawanya lembaga pendidikan dan riset dengan petani akhirnya membuat berbagai upaya menjadi sia-sia.
Yang paling parah sejak otonomi daerah, Kementerian Pertanian seperti anak tiri karena tidak punya "tangan dan kaki" di daerah. Padahal, implementasi dan eksekusi program ada di daerah. Tanpa keterlibatan daerah, berbagai program (pusat) hanya berada di atas kertas.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menerbitkan asa baru. Dalam UU itu, kelembagaan pangan diatur di Bab XII dan terdiri 4 pasal (Pasal 126-129). Kelembagaan diatur lewat peraturan presiden (perpres), berada di bawah presiden, dan memiliki tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan, selain mengusulkan kepada presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada BUMN di bidang pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lain yang ditetapkan pemerintah. Lembaga pangan harus terbentuk paling lama tiga tahun setelah UU disahkan.
Dari rancangan perpres yang dibuat Kementerian Pertanian, dibentuk lembaga yang diberi nama Badan Otoritas Pangan Nasional (BOPN). Dipimpin seorang kepala badan eselon IA, BOPN bertugas menyusun kebijakan pangan; mengoordinasikan, mengintegrasikan, menyelaraskan, dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan pangan nasional dan daerah; serta melaksanakan tugas-tugas tertentu di bidang pangan secara nasional.
Seperti lembaga super body, cakupan fungsinya amat luas, mulai dari menjamin ketersediaan, distribusi, harga, konsumsi, keamanan, hingga penanganan kerawanan pangan dan gizi. BOPN berbentuk lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK), seperti tercermin dari tugasnya, yakni melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan. Karena LPNK, BOPN hanya berada di pusat.
Ditilik dari bentuknya, BOPN dan BKN hakikatnya tak berbeda. Sebagai LPNK, BOPN harus memiliki kementerian induk. Dari sisi kedekatan, amat mungkin BOPN menginduk ke Kementerian Pertanian, sama seperti BKN saat ini. Perubahan itu sama sekali tak menyentuh aspek powerless kelembagaan pangan yang menjadi jantung karut-marut pangan negeri ini.
Karena itu, terlalu berlebihan mengharapkan BOPN membawa negeri ini berdaulat di bidang pangan seperti tujuan UU Pangan. Kecuali, presiden dan DPR terpilih pada Pemilu 2014 mau mengamandemen UU Pangan dan menjadikan BOPN sebagai kementerian, atau bahkan mengubah BOPN menjadi Menteri Koordinator Pangan.
Khudori Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
(Kompas cetak 6 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger