Oleh Bambang Hidayat
Perkenankan saya mengajak Anda semua menyimak secuil narasi ini: "...sekira 1.000 tahun sebelum era Kristus mereka mendirikan pedesaan di lereng perbukitan, di lembah dan di ngarainya."
Jenis dan tatanan rumah itu masih di empunya hingga sekarang, di daerah Mesoamerika sebelah timur (sekarang Venezuela, Ekuador). Begitulah cuplikan dari buku The Code of Kings (Linda Schele dan Peter Mathews, Scribner Publ. 1999).
Tempat di atas jauh sekali dari Jawa, tempat kebanyakan situs purbakala di Indonesia. Di Mesoamerika itu pula ditemui observatorium tertua orang Maya. Di Yogya pada 29-04-2013, sekelompok cendekiawan mendirikan perhimpunan ilmiah untuk mengungkapkan keberadaan historis kerajaan Medang, tanpa bias etnik dan geografik.
Keinginan menyingkap masa lalu Medang bukanlah mimpi yang "ngoyoworo" untuk memperlihatkan lukisan realistik kerajaan kuno itu. Tentu saja tidak hanya kurun waktu yang berselisih dengan dunia Mesoamerika yang sudah tergambar di atas, tetapi juga pengaruh cuaca dan iklim tropika, budaya, dan adab yang telah meletakkan sidik jari pada pembentukan masyarakat Medang. Pengungkapan itu diharapkan menghasilkan kesejarahan dengan fondasi lebih kokoh daripada sekadar legenda.
Penulis mengagumi, dari situasi tersebut, kekaguman tangan halus, alur pikir cerdas para arkeolog, dan tidak kurang pentingnya para antropolog, yang mampu merekonstruksi peristiwa, yang walau tersaput kabut waktu, seolah film sinematografi kejadian hari kemarin. Begitulah kepercayaan dan harapan penulis kepada rekan arkeolog yang mengejawantah data masa lalu untuk menghimpun kebijakan sebagai cermin bagi kepentingan anak dan cucu masa depan.
Agar gambar yang terbentuk merupakan perspektif yang inklusif, menggendong perjalanan kemanusiaan pada zamannya, ajakan untuk mengikat beberapa disiplin keilmuan merupakan "sawer selendang" tanggung jawab panitia pendiri "Medang Heritage Society" yang simpatik. Kejamakan budaya hendaknya dapat menggali kenyataan tanpa pilih kasih dan praduga.
Kerajaan Medang
Panitia menulis kerajaan Medang berjaya antara tahun 929 dan 1042 Masehi. Patok kronologis itu merupakan pancang-kala karena prolog menuju kebangkitan kerajaan tentunya berjalan beberapa tahun sebelum titik awal tersebut.
Epilog masa keluruhannya juga bukan sebuah titik dalam sumbu waktu. Episode itu, menurut hemat penulis, penting untuk dikaji secara sosio-ekonomis. Tentu saja ini bukan tugas mudah karena hieroglif kuno, kalaupun ada sangat langka, dan mungkin menyamarkan aspek sosial ke dalam metafora yang dapat diterima budaya saat itu.
Ajakan panitia kepada beberapa disiplin ilmiah merupakan sikap budaya untuk menimang masalah klasik di luar sosial-ekonomi, tetapi juga masalah demografi yang berkembang itu. Kerajaan tidak hanya merupakan himpunan kekuatan dan kekuasaan para raja, tetapi juga dianyam oleh tali-temali "kawula-gusti". Status "kawula" pun semestinya memperoleh tempat dalam historiografi.
Di luar contoh, sebuah lembaga di Universitas Copenhagen (Lembaga Antropologi-Biologika-Life Science Wealth, 3 April 2012) menganggap Jawa sebagai pumpunan perhatian. Terkait dengan itu berkembang juga "antropologi medika" masa lalu. Mereka berpendapat, arkeologi, yang merupakan tinggalan wadag masa lalu, juga harus mencakup sikap dan hakikat pelakunya. Tampak bahwa pengertian makna arkeologis dan ungkapan antropologis pada suatu titik waktu saling mendukung. Edy Sedyawati melukiskan "Warisan Budaya tak benda", yang mengulas peninggalan bahasa dan aspek kebudayaan lain, dapat mencerahkan pengeja kehidupan masa lampau.
Searah dengan itu mungkin perlu digali lebih dalam lagi, mencari kepingan ideogram dari wilayah Medang agar bisa memberi informasi unik budaya Medang. Penulis mohon maaf kalau keliru, tetapi upaya penulis mencari titik ini gagal.
Ajip Rosidi, dalam antologi mengenai Kearifan Lokal (2011), dengan lantang mendengungkan keinginan agar pengungkapan kebudayaan lokal tidak boleh terpisah dari bingkai kesatuan bangsa, apalagi merupakan pemisah etnisitas. Suatu peringatan intelektual yang perlu kita sambut karena kesatuan bangsa adalah pencerminan keikatan unggulan budaya. Tinjauan Ajip jauh ke belakang, melalui filologi dan kesusastraan, menyimpulkan bahwa dalam mengemukakan kebesaran masa lalu mitos harus tertepis dari sejarah.
Ir Hadiwaratama, javanolog, mengemukakan bahwa sejarah kerajaan di Jawa tidak lepas dari kebesaran kerajaan Galuh pada masa lalu. Memang, berbeda dengan toponimi yang dibuat oleh administrasi pemerintahan Belanda, Galuh sekarang terletak di Jawa Barat. Namun, pada zamannya, pengertian Jawa Barat, tengah, dan timur belum ada. Saat itu hanya ada hegemoni ekonomi, kekuasaan dan kekuatan, serta pangan dan kebahasaan.
Hadiwaratama menandai sejarah berjalan dari "barat sampai ke timur, berjajar akal dan intrik", menarik walau masih harus dibuktikan menurut asas zaman, berbasis evidence-based.
Semoga pemrakarsa pendiri "Pewaris Kebudayaan Medang" menemui kebijakan masa lalu untuk bekal ke depan tanpa prasangka. Semoga langkah awal ini bukan merupakan injakan kaki di atas pasir yang sewaktu-waktu terhapus oleh angin arogansi.
Bambang Hidayat Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
(Kompas cetak, 7 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar