Keprihatinan mewarnai pengumuman pertumbuhan kuartal I-2013 sebesar 6,02 persen oleh BPS yang menyinyalkan terjadinya pelambatan ekonomi.
Pertumbuhan itu turun dibandingkan periode sama pada 2012 yang 6,3 persen dan 6,11 persen kuartal IV-2012. Angka ini lebih rendah daripada prediksi pemerintah, 6,2-6,3 persen, dan perkiraan Bank Indonesia, 6,2-6,6 persen. BI mengingatkan, kemungkinan kuartal II masih stagnan.
Setelah mengalami pertumbuhan cukup kuat dibandingkan perekonomian ASEAN lain tahun lalu (6,23 persen), perekonomian Indonesia mendadak dikepung sejumlah persoalan yang dapat mengancam laju pertumbuhan.
Selain perkembangan ekonomi global yang bisa berdampak pada ekspor dan penurunan peringkat utang oleh S&P, ancaman juga muncul dari melemahnya konsumsi domestik sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi.
Melemahnya konsumsi rumah tangga dipicu oleh meningkatnya inflasi, sedangkan melemahnya konsumsi pemerintah karena lambannya pencairan dan penyerapan anggaran belanja negara, khususnya belanja modal. Kenaikan upah minimum buruh pun belum berdampak pada konsumsi.
Penurunan konsumsi antara lain tecermin dari angka penjualan ritel dan penjualan otomotif yang sedikit melambat. Sinyal pelemahan juga terlihat pada manufaktur.
Tekanan inflasi lebih besar terhadap konsumsi rumah tangga harus lebih diantisipasi terkait dengan rencana naiknya harga BBM. Analis memperkirakan inflasi bisa di atas 7,5 persen akhir 2013, dengan kenaikan harga BBM. Kenaikan inflasi menyebabkan kian mahalnya pembiayaan investasi dan defisit APBN karena investor menuntut imbal hasil lebih tinggi untuk obligasi swasta dan pemerintah.
Kekhawatiran juga tertuju pada prospek investasi, baik karena penurunan peringkat utang maupun kelesuan ekonomi global. Meski BKPM yakin investasi tak terpengaruh, peringkat utang sempat memicu sentimen negatif pasar modal dan tekanan jual di pasar obligasi.
Data BKPM menunjukkan, realisasi investasi mulai mengalami pelambatan meski angka persetujuan investasi secara keseluruhan masih naik 30 persen. Sinyal pelambatan investasi antara lain tecermin dari menurunnya impor barang modal dan permintaan akan semen.
Kalangan ekonomi mengaitkan melemahnya momentum pertumbuhan dengan ketidakpastian menyangkut harga BBM. Keragu-raguan pemerintah terbukti sangat negatif bagi perekonomian. Selain berdampak ke neraca perdagangan, neraca pembayaran, dan kesehatan fiskal, ketidakpastian menjadi salah satu alasan S&P menurunkan peringkat.
Di tengah ancaman pelambatan, semestinya pemerintah melalui kebijakan fiskal mampu menawarkan stimulus dan bukannya menjadi penghambat. Perlu koordinasi fiskal-moneter-riil lebih solid serta menghilangkan distorsi/ketakpastian untuk menekan inflasi yang menggerogoti daya beli dan dorong investasi. Stimulus fiskal dengan meningkatkan efektivitas/penyerapan anggaran juga mendesak dilakukan.
(Tajuk Rencana Kompas, 7 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar