Oleh AGNES ARISTIARINI
Since man cannot live without miracles, he will provide himself with miracles of his own making. He will believe in witchcraft and sorcery, even though he may otherwise be a heretic, an atheist, and a rebel (Karena manusia tidak bisa hidup tanpa keajaiban, ia akan menciptakan keajaiban untuk dirinya. Ia akan percaya segala ilmu gaib dan ramalan, meskipun kalau tidak, ia bisa jadi seorang penista agama, ateis, atau pemberontak).
Fyodor Dostoyevsky, Sastrawan Rusia (1821-1881)
Begitulah kisah dukun, penyihir, peramal, atau apa pun namanya, berawal. Kebencian sekaligus kerinduan manusia pada kegaiban memang telah berlangsung panjang. Dipercaya mulai tumbuh pada Zaman Batu, mereka yang menguasai ilmu gaib mendapat tempat istimewa dalam komunitasnya. Mereka dihormati, menjadi sumber segala kebijakan, serta mengatasi penyakit dan masalah.
Ilmu sihir umumnya didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan gaib untuk memengaruhi orang, masyarakat, atau suatu peristiwa. Namun, ketika peradaban mulai bersentuhan dengan agama, mereka yang terkait dengan ilmu sihir memasuki masa suram.
Masa paling kelam itu—bahkan dalam sejarah hak asasi umat manusia—berlangsung di Eropa pada abad ke-6-8. Paganisme, lengkap dengan kegaiban di dalamnya, dianggap sebagai kekuatan jahat. Maka, mereka yang dituduh sebagai tukang sihir ditangkap dan dihukum mati. Perburuan dan pembunuhan terus berlangsung pada abad ke-13, 15, dan 17, juga di negara-negara koloni Amerika.
Tonggak pengetahuan
Namun, di belahan dunia lain, ilmu gaib masih mendapat tempat. Suku-suku di Afrika menempatkan para dukun sebagai narasumber untuk menjawab segala hal, mulai dari ketidakberuntungan hingga kematian.
Budaya yang sudah berlangsung ratusan tahun itu muncul ke permukaan ketika Sir Edward Evans-Pritchard—yang kemudian menjadi Guru Besar Antropologi Sosial di Universitas Oxford, Inggris—melakukan studi etnografi terhadap suku Azande di kawasan Sudan Selatan, tahun 1920-an.
Berjudul Witchcraft Oracle, and Magic among the Azande, penelitian itu mengungkap kearifan lokal suku Azande sekaligus menjadi tonggak pemahaman terhadap ilmu gaib. Buku Evans-Pritchard jadi bacaan wajib antropologi di sejumlah universitas terkemuka Eropa, bahkan hingga sekarang.
Suku Azande tinggal di padang savana. Mereka hidup dari berladang, berburu, memancing, dan mengumpulkan hasil hutan. Masyarakat Azande menyukai rayap dan selalu memelihara unggas. Dua hal yang berperan penting dalam kehidupan mereka: rayap sebagai makanan lezat dan unggas sebagai medium segala persoalan pelik: mulai dari perselingkuhan hingga kematian.
Jawaban seorang dukun bergantung pada reaksi ayam yang dipaksa menelan racun: bubuk merah yang diekstrak dari tumbuhan menjalar di hutan. Dosis yang diberikan biasanya cukup untuk membuat unggas domestik kejang-kejang lalu mati. Namun, tak jarang ayam itu bertahan dan sehat lagi.
Evans-Pritchard membawa bubuk racun itu ke Inggris untuk diuji di laboratorium. Hasilnya: racun mengandung analog strychnine, senyawa kimia yang bisa menimbulkan kematian, bahkan pada manusia.
Dukun di Indonesia
Berbagai penelitian tentang dukun juga pernah dilakukan di Indonesia. Salah satunya adalah etnografi klasik karya Clifford Geertz, The Religion Of Java (1960). Geertz mengelompokkan dukun di Jawa menjadi dukun penyembuh, dukun tiban, dukun santet, dan dukun adat.
Dalam buku The Javanese Dukun (1991) yang ditulis Parsudi Suparlan disebutkan, dukun yang memiliki kuasa atas kekuatan baik dan jahat bisa jadi penghubung antara makrokosmos dan mikrokosmos. Inilah yang kemudian didefinisikan antropolog Koentjaraningrat sebagai kepercayaan terhadap kekuatan supernatural dalam hubungan yang timbal balik. Ilmu gaib ini juga berkait dengan berbagai fenomena alam, benda pusaka, ataupun jimat. Maka, setiap kali mencari kejelasan atas suatu peristiwa—bencana, kelahiran, perkawinan, masa depan—orang akan meminta bantuan seorang dukun sebagai penghubung makrokosmos dan mikrokosmos.
Namun, berbeda dengan dukun penyembuh dan dukun adat yang masih mendapat tempat terhormat di beberapa tempat, dukun santet dianggap sebagai musuh masyarakat dan musuh agama yang terus diperangi.
Dukun santet
Sejarah Indonesia juga mencatat peristiwa hitam, bahkan pada zaman modern ini, ketika ratusan orang tewas dibantai dengan tuduhan dukun santet. Peristiwa itu terjadi sepanjang tahun 1998 di desa-desa di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Jember, Pasuruan, Pamekasan, dan Sampang, Jawa Timur. Ironisnya, daerah itu merupakan kantong-kantong masyarakat Nahdlatul Ulama.
Fakta ini harus menjadi pertimbangan penting, mengingat pemerintah memasukkan isu santet (Pasal 293) dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Dalam artikelnya, "Santet: Budaya dan Kejahatan" (Kompas, 12/4/2013), antropolog Amich Alhumami menjelaskan, santet harus dipahami dalam tiga kategori perbuatan: santet yang menyebabkan orang lain menderita, anarki akibat syak wasangka terhadap seseorang yang dituduh dukun santet, ataupun tindakan main hakim sendiri terhadap seseorang yang dituduh dukun santet.
Tanpa kehati-hatian, apalagi mengingat sejarah panjang bangsa Indonesia, pasal santet bisa menjadi sumber fitnah dan konflik. Tanpa isu santet pun, anarki dan tindakan main hakim sendiri sudah berulang kali terjadi. Sebutlah kasus-kasus penyerbuan Ahmadiyah, atau yang lebih ke belakang: pembunuhan ratusan ribu anak bangsa yang dituduh sebagai anggota PKI.
Masih akan kita ulangkah tragedi ini? Masih kurangkah darah dan air mata yang tertumpah?
(Kompas cetak, 8 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar