Oleh Chan Basaruddin
Dalam tulisan berjudul "Ujian Nasional" (Kompas, 2/5), Jusuf Kalla menyampaikan beberapa argumentasi yang melatarbelakangi dan tujuan Ujian Nasional.
Sebagai penggagas UN, Pak JK tentu saja sangat menguasai filosofi dan konsepsi UN sehingga sampai pada kesimpulan bahwa karut-marut UN 2013 hanya masalah teknis belaka dan dapat dengan mudah diperbaiki. Saya ingin menanggapi tulisan tersebut dalam tiga hal.
Pertama, tentang tujuan UN yang diadakan untuk mengukur standar mutu pendidikan di Indonesia. Meskipun secara konsepsi dan logika sederhana UN dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur mutu pendidikan, baik dengan cara membandingkannya dengan masa lalu maupun negara lain, UN bukanlah satu-satunya ukuran.
Secara berkala, Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengukur mutu pendidikan di suatu negara melalui Programme for International Students Assessment (PISA) yang mengukur tiga kemampuan pokok, yaitu membaca, matematika, dan sains. Bagaimana posisi Indonesia?
Hasil PISA dalam empat tes terakhir (2000, 2003, 2004, dan 2009) secara konsisten menunjukkan, mutu pendidikan di Indonesia jauh di bawah rata-rata OECD. Bahkan, hasil tes tahun 2009 menunjukkan, Indonesia berada di bawah Kamboja.
Pengukuran lain adalah Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Progress in International Reading and Literacy Study (PIRLS) yang dilakukan oleh International Study Center-Boston College USA. Sama dengan PISA, TIMSS dan PIRLS juga menguji kemampuan membaca, matematika, dan sains. Hasil uji tahun 2011 menunjukkan, Indonesia jauh di bawah rata-rata dunia.
Rata-rata nilai untuk siswa Indonesia (dan rata-rata dunia) untuk membaca, matematika, dan sains berturut-turut adalah: 33 (55), 24 (41), dan 28 (42). Lagi-lagi Indonesia berada di bawah Kamboja dan Palestina. Apakah hasil ini tidak cukup sebagai tolok ukur pemerintah?
Penyimpangan tujuan
Kedua, disampaikan bahwa sejak dimulainya UN tahun 2002 hingga saat ini sudah terjadi peningkatan mutu, dilihat dari peningkatan batas kelulusan (passing grade) dari tahun ke tahun. Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah apakah hasil UN tersebut sudah cukup tepercaya?
Di samping santernya informasi tentang kebocoran dan perjokian, sudah menjadi rahasia umum tingkat kelulusan UN dijadikan salah satu indikator kinerja pimpinan daerah. Gubernur, bupati/wali kota, kepala dinas, kepala sekolah, hingga guru akan berusaha sekuat tenaga agar hasil UN di wilayahnya terlihat tinggi. Hal ini memicu terjadinya penyimpangan tujuan, yang berimplikasi pada praktik penyelenggaraan UN yang manipulatif.
Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, segenap pihak yang terkait dengan "kesuksesan" UN menghalalkan semua cara untuk mendongkrak nilai UN. Dengan demikian, UN bukan lagi ujian bagi siswa, melainkan berubah menjadi tujuan politik, terutama bagi para pejabat daerah, kepala sekolah, dan perwakilan birokrasi pendidikan di daerah.
Ketiga, jika hasil UN dijadikan sebagai instrumen kebijakan untuk pembangunan sektor pendidikan, apakah sudah ada bukti bahwa sekolah yang memiliki rata-rata nilai lebih rendah dari sekolah lain akan mendapat tambahan sumber daya dari pemerintah?
Intervensi dan bantuan pemerintah seperti apa yang diagendakan untuk mendorong peningkatan mutu sekolah yang dipandang tertinggal?
Sudah 10 tahun UN berjalan, tetapi tetap saja profil mutu sekolah tidak mengalami perubahan. Sekolah yang terbelakang tetap terbelakang dan sekolah yang bagus tetap bertahan sebagai sekolah bagus.
Data hasil Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2000 sampai 2008 menunjukkan bahwa tidak ada perubahan profil sebaran asal sekolah calon-calon mahasiswa yang lolos di ujian SPMB tersebut.
Bagaimana sekolah merespons UN? Materi kurikulum yang seharusnya diajarkan dalam waktu tiga tahun ternyata dipadatkan menjadi dua tahun tiga bulan. Praktis, sembilan bulan terakhir semua kegiatan di sekolah hanya dialokasikan untuk mempersiapkan UN. Bahkan, ada sekolah yang hanya mempersiapkan siswanya untuk menghadapi UN.
Sekolah disulap menjadi tempat bimbingan belajar (cram school), yang tidak lagi mengedukasi/mendidik siswa dan mengajarkan pengetahuan, melainkan hanya mengindoktrinasi siswa dengan berbagai tricks dan tips tentang bagaimana menyiasati soal ujian. Apakah ini yang kita sebut pendidikan?
Persoalan yang sangat gamblang di depan mata kita adalah disparitas sumber daya pembelajaran, baik menyangkut mutu dan ketersediaan guru maupun sarana dan prasarana pendidikan yang terasa sangat kentara antara perkotaan dan pedesaan, antara barat dan timur, dan seterusnya.
Harapan kita semua adalah pemerintah lebih serius dan sistematis dalam membangun sektor pendidikan. Semoga!
Chan Basaruddin Guru Besar Ilmu Komputer, Universitas Indonesia
(Kompas cetak, 8 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar