Oleh Endi Haryono
Rakyat pemilih Malaysia telah memberikan suara pada Pemilu 5 Mei 2013. Koalisi partai berkuasa, Barisan Nasional, sementara unggul dalam perolehan kursi di parlemen federal.
Isu-isu kampanye selama dua minggu hingga hari pencoblosan yang diadvokasikan para kandidat dan serangan-serangan terhadap moralitas pribadi pimpinan tertinggi kedua koalisi menunjukkan sengitnya pertarungan. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, kalangan analis, akademisi, dan intelektual organik parpol kedua kubu menghindarkan untuk membuat ramalan tegas dan meyakinkan tentang hasil pemilu ini. Selain diwarnai pertarungan sengit, pemilu kali ini paling tidak dapat diramalkan dalam politik Malaysia.
Malaysia menerapkan sistem politik demokrasi parlementer yang berbasis pada negara federal. Pemilu 5 Mei memilih 222 anggota parlemen atau Dewan Rakyat (DR) dalam sistem distrik. Setiap daerah pemilihan (dapil) diperebutkan untuk diwakili hanya oleh satu anggota parlemen yang menang. Sistem pemilihan yang sama berlaku juga untuk memilih anggota Dewan Undangan Negeri (DUN) atau parlemen di negara bagian.
Federasi Malaysia memiliki 13 negara bagian atau negeri, termasuk Sabah dan Sarawak yang berada di Kalimantan Utara. DR selanjutnya memilih perdana menteri (berkuasa atas pemerintahan federal di Putrajaya) dan DUN memilih menteri besar (berkuasa untuk tiap negeri di ibu kota negeri masing-masing).
Pemilu ini dalam politik Malaysia dikenal sebagai Pilihan Raya Umum (PRU) Ke-13, yang tak pelak merupakan batu ujian menentukan bagi PM Najib Razak dan pemimpin oposisi Ibrahim Anwar, dua figur utama dalam politik Malaysia. Najib—Ketua Partai Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu (United Malay National Organisation/UMNO) dan koalisi Barisan Nasional (BN)–menghabiskan energi politik dan perhatian selama empat tahun terakhir untuk reformasi sosial-ekonomi—Najib menyebutnya sebagai transformasi—untuk memastikan kelanjutan pemerintahan BN.
Anwar–penasihat Partai Keadilan Rakyat (PKR) dan ketua koalisi PR–telah tiga kali bertarung dalam pemilu sebagai pemimpin oposisi, dan dalam pemilu ini bertarung untuk keempat kalinya. Bagi Najib, hasil pemilu ini menjadi ujian bagi transformasi yang dijalankannya. Bagi Anwar, ini pertarungan politik paling menentukan, barangkali sekaligus ujian bagi popularitas dan kepemimpinan politiknya.
Korupsi dan isu lain
Banyak isu dikontestasikan dalam kampanye yang hampir seluruhnya beredar di publik sebelumnya. Sebagian bahkan dapat dikatakan sebagai isu lama yang dikontestasikan sejak Pemilu 1999 menyusul peristiwa Gerakan Reformasi Malaysia (GRM) 1998. Sebagian isu yang lebih baru juga muncul dalam perdebatan di media massa dan pada kampanye pemilu sela. Malaysia memberlakukan pemilu sela untuk memilih anggota parlemen pada dapil yang kosong karena anggota parlemen lama meninggal atau mengundurkan diri. Pemilu sela merupakan konsekuensi lain dari sistem distrik. Sejak Pemilu 2008, Malaysia telah menyelenggarakan 14 pemilu sela, baik untuk anggota DR maupun DUN, dengan kemenangan seimbang antara BN dan PR.
Isu kampanye yang banyak dan beragam dapat diringkas jadi tiga isu utama, yakni korupsi, hudud (syariah Islam), dan demokrasi. Isu korupsi sebagai isu lama dan permanen mencakup pembangunan ekonomi, daya saing pemerintah, dan kinerja birokrasi. Korupsi menjadi isu kampanye utama dan favorit dari oposisi, dan selalu muncul sebagai topik pada setiap kampanye. Oposisi menuduh pemerintah BN korup dan menyerukan penghapusan korupsi dengan mengganti pemerintah yang ada.
Di samping ketiga isu itu, pemilu tahun ini juga diwarnai isu moralitas kandidat, terutama menyangkut pemimpin tertinggi kedua koalisi, Najib (BN) dan Anwar (PR). Isu moral pemimpin sesungguhnya isu lama. Hadirnya isu moral–yang membawa ke tingkat publik dugaan cacat moral kedua pemimpin politik tertinggi Malaysia–muncul setidaknya tiga tahun terakhir. Dalam sistem demokrasi parlementer seperti di Malaysia, kedua pemimpin partai/koalisi partai harus bertarung memperebutkan kursi di parlemen untuk selanjutnya mendapatkan jabatan PM lewat pemilihan di parlemen dengan partai atau koalisi partai pemenang pemilu, sekaligus memenangkan jabatan PM.
Untuk menilai kekuatan politik di Malaysia saat ini, acuan yang dapat digunakan tentu hasil pemilu terakhir, Pemilu 8 Maret 2008 atau PRU Ke-12. Koalisi BN mempertahankan mayoritas di DR, paling tipis dalam sejarah BN, yakni 140 kursi pada Pemilu 2008. Sumbangan terbesar bagi kursi BN didapat dari UMNO. Adapun BN mengalami penurunan kontribusi kursi dari dua mitra utama koalisi, Malaysian Chinese Association dan Malaysian Indian Congress. Sebaliknya, koalisi oposisi PR meraih 82 kursi DR dengan alokasi PKR 31 kursi, Partai Islam Se-Malaysia 23 kursi, dan Partai Aksi Demokratik 28 kursi.
Selain tambahan kursi hampir empat kali dibandingkan Pemilu 2004 yang hanya 20 kursi, koalisi oposisi PR juga menang di lima negara bagian (Kelantan, Perak, Kedah, Selangor, dan Pulau Pinang). Ini prestasi terbaik oposisi dalam penguasaan negara bagian, sekaligus prestasi terburuk BN, meski PR akhirnya kehilangan Negeri Perak akibat tiga DUN PR menyatakan diri independen. Perkembangan paling fenomenal pasca-Pemilu 2008 adalah kemenangan Anwar pada pemilu sela di dapil Permatang Pauh pada 26 Agustus 2008. Setelah membawa oposisi membuat debut politik penting dalam Pemilu 8 Maret 2008, Anwar kembali ke parlemen dan kemudian memimpin oposisi di parlemen.
Dengan kemenangan ini, oposisi berkesempatan mewujudkan proyek Malaysia yang demokratis dan berkeadilan sosial (sesuai manifesto utamanya) di negara bagian yang dikuasai. Keberhasilan proyek showcase ini, tak bisa dimungkiri, memberikan dampak politik besar, terutama pada pengalihan dukungan ke oposisi dari pemilih di negara bagian yang dikuasai BN. Kehilangan lima negara bagian ini (atau bisa dibaca empat) harus dicatat sebagai kekalahan BN meski masih menguasai kursi di DR dan kursi PM di tingkat federal.
Baru vs transformasi
Pemilu 5 Mei berlangsung dalam setting pematangan politik baru (new politics) dan liberalisasi politik, kecenderungan politik yang telah berjalan di Malaysia dua dekade terakhir. Terminologi politik baru merujuk lahirnya orientasi politik di kalangan warga dan pemilih yang sebelumnya bertumpu pada etnisitas dan pembangunan ekonomi berbasis etnis menuju nilai-nilai politik baru, yakni kebebasan individu, demokrasi, pluralisme, dan penghargaan pada HAM. Ini juga pemilu pertama dalam liberalisasi politik di bawah Najib—ditandai antara lain penghapusan sensor atas media, pencabutan UU Keamanan Dalam Negeri, dan reformasi sistem pemilu sepanjang tahun 2011.
Politik baru ini lahir bersamaan dengan GRM. Meski demikian, politik baru ini bukan lahir karena GRM, tetapi akarnya sebetulnya terletak pada perluasan kelas menengah berpendidikan tinggi sebagai buah dari kemakmuran ekonomi. Dengan kata lain, politik baru lahir berkat keberhasilan pembangunan ekonomi dan modernisasi. GRM hanya pemicu atau ekspresi politik baru. Faktor lain penyumbang kelahiran politik baru adalah globalisasi dan persentuhan kelas menengah yang besar dengan nilai-nilai yang diadvokasikan oleh individu dan organisasi internasional sejalan dengan demokratisasi global. Kemakmuran ekonomi dan kelahiran politik baru ini memberikan darah baru bagi revitalisasi demokrasi yang mencakup kebebasan individu, penghargaan HAM, dan tuntutan akan pemerintahan bersih.
Kelahiran dan pematangan politik baru bukan tidak diantisipasi Najib dan BN. Program transformasi Najib digagas untuk merespons tantangan yang dihadapi UMNO dan BN. Program transformasi terdiri dari empat agenda kebijakan yang memberikan implikasi transformatif pada kondisi sosial-ekonomi dan politik. Dengan keempat agenda—konsep Satu Malaysia, Model Ekonomi Baru (MEB), Program Transformasi Pemerintahan, dan Program Transformasi Politik—ini, Najib sesungguhnya menghadirkan sistem politik demokrasi di Malaysia yang lebih maju dan liberal dibandingkan dengan satu dekade lalu.
Najib memang mewarisi Malaysia dengan lanskap politik yang baru sehingga ia harus juga menampilkan pemerintahan BN yang baru seperti tata kelola pemerintahan baik, bersih, melayani, adil, dan adaptif terhadap perubahan. Najib melangkah lebih maju dengan program tranformasi seperti disebutkan sebelumnya. Inti dari keseluruhan program tranformasi atau reformasi ini sesungguhnya secara politis adalah menjaga pemerintahan BN tetap relevan dalam politik Malaysia. Sungguh, sebuah transformasi sosial-politik-ekonomi yang tidak mudah. Apakah transformasi ini dianggap memadai dan berhasil oleh pemilih?
Endi Haryono Mengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Politik UGM
(Kompas cetak, 7 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar